Limbah Industri

Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU PPLH) menyatakan bahwa limbah merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa limbah industri merupakan sisa-sisa bahan dari pengolahan suatu usaha dibidang industri. Pasal 22 UU PPLH menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UKL-UPL) bagi usaha yang tidak wajib Amdal sebagaimana ketentuan dalam Pasal 34 ayat (1) UU PPLH. Amdal merupakan kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 UU PPLH. Sedangkan UKL-UPL merupakan pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 12 UU PPLH.
Salah satu hal yang wajib dimuat dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL yaitu rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana ketentuan dalam Pasal 25 UU PPLH yang diantaranya terkait pula dengan limbah sisa usaha industri. Pembuangan limbah industri tidak dapat langsung dibuang ke lingkungan sekitar, melainkan harus melalui proses pengelolaan sebagaimana ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 20 ayat (3) UU PPLH menyatakan bahwa setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke media lingkungan hidup setelah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
- Memenuhi baku mutu lingkungan hidup yang meliputi hal-hal sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU PPLH, yaitu:
- baku mutu air;
- baku mutu air limbah;
- baku mutu air laut;
- baku mutu udara ambien;
- baku mutu emisi;
- baku mutu gangguan; dan
- baku mutu lain sesuai dengan perkembang;
- mendapat izin dari Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Selain itu, Pasal 47 ayat (1) UU PPLH juga menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup, ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan analisis resiko lingkungan hidup berupa pengkajian resiko, pengelolaan resiko dan/atau komunikasi resiko sebagaimana ketentuan dalam Pasal 47 ayat (2) UU PPLH. Sedangkan apabila suatu usaha menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan hidup, maka wajib melakukan penanggulangan dan pemulihan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 53 dan Pasal 54 UU PPLH.
Kemudian, terhadap usaha yang menggunakan bahan berbaya dan beracun dan/atau menimbulkan limbah berbahaya dan beracun diatur dalam bab tersendiri mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun dalam Bab VII UU PPLH. Pasal 1 angka 21 UU PPLH menyebutkan bahwa bahan berbahaya dan beracun (selanjutnya disebut B3) merupakan zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Sedangkan limbah B3 merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 22 UU PPLH. Pasal 59 ayat (1) UU PPLH menyatakan bahwa setiap orang yang mengahasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Setiap orang yang dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) UU PPLH dapat diartikan sebagai orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Berdasarkan ketentuan dalam penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU PPLH dinyatakan bahwa Pengelolaan limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan limbah B3. Hal tersebut diatur lebih spesifik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (selanjutnya disebut PP 101/2014). Limbah B3 dalam pengelolaannya dibedakan menjadi beberapa kategori sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 PP 101/2014 yang menyatakan sebagai berikut :
- Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah B3 yang
- Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kategori bahayanya terdiri atas:
- Limbah B3 kategori 1; dan
- Limbah B3 kategori 2
- Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan sumbernya terdiri atas:
- Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
- Limbah B3 dari B3 kedaluwarsa, B3 yang tumpah, B3 yang tidak memenuhi spesifikasi produk yang akan dibuang, dan bekas kemasan B3; dan
- Limbah B3 dari sumber spesifik
- Limbah B3 dari sumber spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c meliputi:
- Limbah B3 dari sumber spesifik umum; dan
- Limbah B3 dari sumber spesifik khusus.
Hal tersebut lebih spesifik diuraikan dalam lampiran 1 PP 101/2014 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 PP 101/2014. Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) UU PPLH. Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri pengelolaan limbah B3, maka pengelolaannya diserahkan kepada pihak lain. Pihak lain yang dimaksud dalam hal ini adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan limbah B3 dan telah mendapatkan izin sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 59 ayat (4) UU PPLH. Kemudian, apabila terjadi pelanggaran terhadap kegiatan pengelolaan limbah B3, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 102 dan Pasal 103 UU PPLH yang menyatakan sebagai berikut :
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.