Letter Of Credit
Letter of Credit (selanjutnya disebut LC) merupakan salah satu sistem pembayaran dalam transaksi ekspor impor. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2018 tentang Ketentuan Penggunaan Letter Of Credit Untuk Ekspor Barang Tertentu (selanjutnya disebut Permendagri tentang LC) LC adalah suatu kredit atau pemberitahuan kredit yang dikeluarkan oleh suatu bank devisa (opening bank/issuing bank) atas dasar permintaan importir yang menjadi nasabahnya dan ditujukan kepada eksportir sebagai beneficiary melalui korespondennya (advising bank) diluar negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan bank devisa menurut Pasal 1 angka 3 Pemendagri tentang LC adalah bank yang memperoleh persetujuan dari otoritas yang berwenang untuk dapat melakukan kegiatan usaha perbankan dalam valuta asing, termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia, namun tidak termasuk kantor cabang luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia. Dalam Pasal 2 Permendagri tentang LC dinyatakan bahwa pembayaran terhadap barang ekspor tertentu yang disebutkan dalam lampiran 1 Permendagri tentang LC dalam pembayarannya wajib menggunakan LC. Beberapa contoh barang tertentu yang disebutkan dalam Lampiran 1 Permendagri tentang LC adalah Ekspor Batur Bara, Ekspor Kelapa Sawit, Ekspor Minyak Bumi dan Gas Bumi.
Fungsi dari LC yaitu memberikan jaminan kelancaran pembayaran dan pengiriman barang sesuai dengan kesepakatan ekportir dan importir, dimana dalam pembayarannya dapat dilakukan secara lunas maupun kredit dengan masa tenggang tertentu. Pembayaran melalui LC memudahkan eksportir dan importir dalam bertransaksi sebab telah dijamin oleh bank. Pembayaran melalui LC relatif aman karena berada dalam otorisasi pihak perbankan, dimana pembayaran dapat dilakukan apabila pihak penjual dan pembeli telah sepakat melakukan transaksi jual beli. Selain itu, pembayaran melalui LC untuk ekspor barang tertentu diawasi oleh Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan, serta Menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait yang sesuai dengan kewenangannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Permendagri tentang LC sehingga keamanan transaksi pembayaran melalui LC lebih terjamin.
Mekanisme dengan LC yaitu dengan cara sebagai berikut :
- Importir (opener) meminta bank devisa (opening) untuk membuka LC untuk dan atas nama pihak eksportir, kemudian LC akan dibuat ketika para pihak telah memenuhi ketentuan yang berlaku untuk ekspor impor. Pembukaan dilakukan melalui koresponden bank di luar negeri yang bertindak sebagai perantara (advising bank) yang kemudian memberitahukan eksportir atas pembukaan LC tersebut;
- Eksportir menyerahkan barang kepada carrier dan eksportir mendapatkan bill of lading. Bill of lading atau yang juga disebut dengan konosemen yaitu surat tanda terima barang yang telah dimuat dalam kapal laut, sekaligus tanda bukti kepemilikan suatu barang serta bukti adanya kontrak atau perjanjian pengangkutan barang;
- Bill of lading akan diserahkan kepada bank agar mendapatkan pembayaran. Paying bank selanjutnya akan menyerahkan sejumlah uang agar mendapatkan bill of lading dari eksportir dan diberikan kepada importir;
- Importir akan menyerahkan bill of lading kepada carrier agar bisa ditukarkan dengan barang yang telah dikirimkan eksportir.
Dalam prakteknya menggunakan LC tentu saja dapat dimungkinkan terjadinya pelanggaran oleh salah satu dan/atau para pihak. Perlu kita ketahui bahwa hubungan hukum yang terjadi antara eksportir, importir dan bank devisa merupakan hubungan hukum yang berdasarkan atas perjanjian, dimana sebelum diterbitkannya LC harus berdasarkan permohonan yang ditandatangani oleh para pihak, sehingga penerbitan LC mengikat para pihak. Apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi oleh para pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat menuntut ganti rugi. Sebagai contoh yaitu apabila penjual tidak mengirimkan barang, maka penjual juga tidak berhak menerima pembayaran dari bank. Selain itu, setelah adanya persetujuan LC, apabila dikemudian hari setelah barang sampai ke importir ternyata terdapat kerusakan, maka sesuai dengan ketentuan dalam artikel 5 Uniform Customs and Practice for Documentary Credit (UCP) International Chamber of Commerce (ICC) Publication Nomor 600 (selanjutnya disebut UCP) ditegaskan bahwa Bank dalam melaksanakan LC hanya berurusan dengan dokumen-dokumen saja.
“UCP 600 – Article 5
Banks deal with documents and not with goods, services or performance to which the documents may relate”
Berdasarkan hal tersebut, maka bank tidak dapat dibebankan tanggung jawab atas kerusakan barang yang dikirim, karena bank hanya berurusan dengan dokumen-dokumen saja. Namun, apabila ada ketidaksesuaian dokumen, maka bank harus segera memutuskan untuk menyatakan ketidaksesuaian itu. Sejauh ini, belum ditemukan aturan yang mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran LC, namun jika digeneralisir persoalan pelanggaran LC dapat dikategorikan sebagai wanprestasi sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Apabila persoalan tidak dapat diselesaikan dengan baik diantara para pihak, maka pihak yang dirugikan dapat melakukan gugatan sebagai upaya hukum penyelesaian sengketa.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanParate Eksekusi Dalam Fidusia
Resensi Buku: Hukum Acara Perdata (Gugatan, Persidangan, Penyitaan, pembuktian,...
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.