KRIMINALISASI

Istilah ’kriminalisasi’ yang populer dimasyarakat memiliki makna yang berbeda dengan istilah ’kriminalisasi’ yang ada dalam ilmu kriminologi maupun ilmu hukum pidana tersebut. Jika dalam kriminologi dan ilmu hukum pidana terminologi ’kriminologi’ merupakan istilah biasa, maka ’kriminalisasi’ dalam pengertian populer memiliki makna yang negatif. Dalam perkembangan penegakan hukum pidana, kriminalisasi perlu dlihat secara mendalam guna mengetahui dan memahami esensi dari kriminalisasi itu sendiri.
Secara etimologi kriminalisasi berasal dari kata kriminal yang berarti jahat atau kejahatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘kriminalisasi’ diartikan sebagai proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Dalam kamus hukum Black’s Law Dictionary mendefinisikan kriminalisasi sebagai The act or an instance of making a previously lawful act criminal, usually by passing a statute.[1] Kamus hukum lainnya Webster’s New World Law Dictionary mendefinisikan kriminalisasi sebagai To make a particular conduct or omission a crime and to establish penal sanctions for it.[2]
Mengenai hal ini, menurut Soerjono Soekanto kriminalisasi merupakan tindakan atau penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat diangap sebagai perbuatan yang dapat dipidana menjadi perbuatan pidana atau membuat suatu perbuatan menjadi perbuatan kriminal dan karena itu dapat dipidana oleh pemerintah dengan cara kerja atas namanya.[3] Kriminalisasi dapat juga diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana.[4]
Karakteristik Kriminalisasi
Batasan terhadap arti dari kata ’kriminalisasi’, yaitu dengan adanya unsur “penetapan suatu kebijakan terhadap suatu tindakan yang sebelumnya tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana, kemudian dengan adanya rumusan atau proses penetapan suatu kebijakan maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai suatu perbuatan tindak pidana”. Adanya unsur pembatas tersebut, menunjukkan kriminalisasi tidak dapat diartikan sebagaimana pengertian yang umumnya dipahami oleh masyarakat saat ini untuk menggambarkan adanya suatu perbuatan pidana.
Tentu tak ada yang membantah bahwa hukum haruslah ditegakkan, setiap kejahatan harus diberikan sanksi, setiap terjadi dugaan tindak pidana harus dapat diusut oleh aparat penegak hukum. Oleh karena itu, penegak hukum harus diberikan wewenang yang cukup untuk mampu mengusut hal tersebut. Dengan adanya konsep kriminalisasi dalam penegakan hukum pidana hal ini memberikan pengaruh terhadap pembentukan suatu rumusan tindak pidana bagi jalannya penegakkan hukum.
Hal ini juga tidak dapat dipungkiri adanya perluasan makna terhadap pemahaman ‘kriminalisasi’ yang ada dimasyarakat, dengan anggapan bahwa aparat penegak hukum memproses suatu hal yang seharusnya tidak dapat dihukum. Nyatanya ’kriminalisasi’ terdapat dalam proses perumusan suatu kebijakan hukum pidana, yang mana perbuatan yang awalnya belum terdapat pengaturan hukumnya, kemudian dirumuskan dan ditetapkan menjadi suatu perbuatan pidana.
Dalam proses kriminalisasi, terdapat asas-asas yang perlu diperhatikan dalam menetapkan suatu perbuatan suatu tindak pidana dan ancaman dari perbuatan tersebut yakni asas legalitas, asas subsidairitas dan asas persamaan/kesamaan. Asas-asas ini dapat dijadikan ukuran untuk menilai mengenai adilnya hukum pidana dan mempunyai fungsi mengatur terhadap kebijaksanaan pemerintah dalam bidang hukum pidana.[5] Kriminalisasi harus mempertimbangkan secara mendalam mengenai perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, syarat yang berkaitan dengan hal-hal yang harus dipenuhi untuk mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu. Dalam menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal perlu memperhatikan kriteria umum yakni sebagai berikut:
- Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
- Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
- Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai.
- Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.[6]
Kriminalisasi Yang Pernah Terjadi Di Indonesia
Terdapat data praktik kriminalisasi di Indonesia pada tahun 1998-2014, dari 563 undang-undang yang disahkan dalam periode ini, 154 di antaranya memiliki ketentuan pidana yang mengatur 1.601 tindak pidana di dalamnya. Dari 1.601 tindak pidana yang ditemukan dalam perundang-undangan Indonesia dari 1998-2014, 885 di antaranya merupakan tindak pidana yang telah ada sebelumnya sedangkan 716 sisanya merupakan tindak pidana baru yang ditemukan di 112 undang-undang.[7] Jika dilihat dari jenis tindak pidana yang baru diciptakan tersebut, digunakan untuk menciptakan tindak pidana pelanggaran. Jenis tindak pidana pelanggaran ini ditemukan sebanyak 442 dibandingkan dengan 274 tindak pidana kejahatan yang juga ditemukan pada periode yang sama. Dari 716 tindak pidana baru tersebut, hanya 54 perbuatan yang dikriminalisasi.[8]
Sebagian besar dari praktik kriminalisasi di Indonesia digunakan untuk menciptakan tindak pidana pelanggaran, dapat dikatakan bahwa tujuan untuk menggunakan mekanisme hukum pidana sebagai strategi kontrol sosial Indonesia, paling tidak di level legislasi, adalah untuk memastikan masyarakat Indonesia patuh terhadap aturan yang telah diundangkan dan bukan untuk menyelesaikan masalah kriminalitas. Merujuk pendapat Ana Aliverti yang menyebutkan bahwa pada akhirnya begitu meledaknya jumlah tindak pidana pelanggaran di perundang-undangan tersebut hanya digunakan sebagai ‘tuas atau alat cadangan’ untuk memastikan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang berlaku.[9]
Demikian uraian mengenai kriminalisasi, yang ternyata memiliki perbedaan makna dalam ilmu hukum pidana ataupun ilmu kriminologi dengan yang populer di masyarakat itu sendiri. Dalam praktik penegakan hukum, kriminalisasi identik dengan rumusan mengenai suatu perbuatan pidana yang sebelumnya tidak diatur dan kemudian karena perbuatan tersebut melanggar suatu nilai yang hidup dimasyarakat maka perbuatan itu kemudian dirumuskan sebagai tindak pidana.
[1] A.Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary Eeighth Edition. USA: West Publishing Co. 2004, hlm. 402
[2] Susan Ellis Wild, Webstern New World Law Dictionary, 2006, hlm. 114
[3] Soerjono Soekanto, Kriminologi: Suatu Pengantar Cet: Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm.2.
[4] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm.31
[5] Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm.256
[6] Ibid.
[7] Anugerah Rizki Akbari, Potret Kriminalisasi Pasca Reformasi Dan Urgensi Reklasifikasi Tindak Pidana Di Indonesia, https://reformasikuhp.org/potret-kriminalisasi-pasca-reformasi-dan-urgensi-reklasifikasi-tindak-pidana-di-indonesia/
[8] Ibid.
[9] Ana Aliverti, “Making people criminal: The role of criminal law in immigration enforcement” dalam Theoretical Criminology, 16(4), 417-434.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPembubaran Sholat Jum’at di Aceh
Penyelenggaraan Klub Belajar Bersama Persiapan UPA Batch 2

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.