Kredit Dalam Hukum Syariah

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), Kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam hukum Islam, kredit disebut dengan pembiayaan.[1]Pasal 1 angka 12 UU Perbankan menyebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Sedangkan prinsip syariah menurut ketentuan dalam Pasal 1 angka 13, yaitu :

“Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina)”

Hal ini serupa dengan ketentuan dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menyatakan sebagai berikut :

“Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

    1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
    2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
    3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
    4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
    5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.”

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui mengenai macam-macam transaksi dalam kredit syariah sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 angka 25 UU Perbankan Syariah.

Dalam melakukan transaksi kredit perbankan, diperlukan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak. Transaksi kredit yang dilakukan secara konvensional biasanya melahirkan perjanjian kredit diantara kedua belah pihak, yang hal ini dalam hukum syariah disebut dengan akad. Pasal 1 angka 13 UU Perbankan Syariah menyatakan bahwa akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Dalam hal pembiayaan untuk usaha dengan prinsip syariah, salah satunya yaitu dengan cara mudharabah atau musyarakah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 25 huruf a UU Perbankan Syariah. Dasar hukum yang mengatur mengenai pembiayaan mudharabah dan musyarakah dinyatakan dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) huruf b dan c UU Perbankan Syariah yang menyatakan sebagai berikut :

19. Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi :

b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

c. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

Perbedaan antara akad mudharabah dengan akad musyarakah dijelaskan ketentuan penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b dan c UU Perbankan Syariah yang menyatakan sebagai berikut :

Huruf b

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam menghimpun dana adalah Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.

 

Huruf c

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam Pembiayaan adalah Akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

Yang dimaksud dengan “Akad musyarakah” adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.

            Dalam UU Perbankan Syariah tidak mengatur secara eksplisit mengenai syarat sahnya akad yang dilakukan antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dengan pihak lain. Oleh karena itu, terkait syarat sahnya akad mengacu pada ketentuan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) yang mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian. Walaupun tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, syarat sah akad mudharabah menurut jumhur ulama’ dinyatakan sebagai berikut :

    1. Ijab dan qabul yaitu persetujuan kedua belah pihak;
    2. Al-‘Aqidain yaitu dua orang yang melakukan kerjasama yaitu shahib al-mal (pemilik modal) dan mudharib atau ‘Amil (pelaksana usaha);
    3. Adanya modal;
    4. Adanya usaha.[2]

Kemudian klausa akad dalam hal dibuat dalam Akta Notaris, maka bentuk dan sifat akta harus dibuat berdasarkan ketentuan dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU Jabatan Notaris), sehingga walaupun akta tersebut merupakan akta syariah tidak perlu mencantumkan kalimat “bismillahirrahmanirrahim” pada awal akta dan/atau “alhamdulillahirabbilalamin” dalam penutup akta. Hal tersebut dikarenakan dianggap melanggar ketentuan UU Jabatan Notaris, sehingga akta tersebut kehilang keotentikannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 40 UU Jabatan Notaris.[3]

Dengan lahirnya akad mudharabah atau akad musyarakah, maka ketentuan didalam akad tersebut mengikat kedua belah pihak layaknya perjanjian pada umumnya. Apabila dikemudian hari terjadi wanprestasi atau sengketa berkaitan dengan akad tersebut, maka upaya hukum yang dapat dilakukan yaitu mengajukan gugatan penyelesaian sengketa melalui Peradilan Agama sebagaimana ketentuan dalam Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah. Apabila sebelumnya para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa dalam isi akad, maka para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut sebagaimana yang telah diperjanjikan dengan syarat penyelesaian sengketa yang diperjanjian tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 55 ayat (2) dan (3) UU Perbankan Syariah.

[1] Ahmad Abdullah, Pinjaman Kredit dalam Perspektif Pendidikan Islam, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 3, No. 1, 2019, Makassar : Universitas Muhammadiyah Makassar.

[2] Mahmudatus Sa’diyah dan Meuthiya Athifa Arifin, Mudharabah Dalam Fiqih Dan Perbankan Syari’ah, Jurnal Equilibrium, Vol. 1, No. 1, Jepara, 2013, hal. 309-400.

[3] Pandam Nurwulan, Akad Perbankan Syariah dan Penerapannya Dalam Akta Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan Notaris, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 25 No. 3, Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia, hal. 636

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.