Korupsi Satelit Kementerian Pertahanan Republik Indonesia

Kronologi Kasus

Beberapa waktu belakangan ini beredar informasi bahwa adanya dugaan tindak pidana korupsi satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan). Hal ini didukung dari pernyataan Tim Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) yang membenarkan dugaan tersebut. Dari hasil materi paparan tersebut, terdapat 2 (dua) unsur tindak pidana korupsi yang diduga ada keterlibatan unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan unsur sipil.[1] Permasalahan ini bermula saat Kemhan melakukan kontrak dengan perusahaan penyedia satelit yaitu Avanti Communication Limited (Avanti) pada 6 Desember 2015. Hal ini dilakukan untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT. Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut, yang kemudian baru tersedia pada tahun 2016, namun dilakukan selfblocking (penghematan anggaran dengan tidak mencairkan anggaran) oleh Kemhan.[2] Kemhan juga melakukan penandatanganan kontrak dengan beberapa perusahaan penyedia satelit untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomham) salah satunya adalah Navayo. Namun, pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.

Lalu, pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun ternyata, PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan. Kemudian, Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.Selain itu, pemerintah juga menerima putusan dari Arbitrase Singapura (International Chambers of Commerce Singapore (ICC Singapore) terkait gugatan Navayo. Putusan itu menyatakan pemerintah diharuskan membayar USD 20,9 juta. Diduga bahwa kejadian tersebut memberikan kerugian terhadap negara hampir 1 Triliun Rupiah.[3][4] Namun, dalam perkembangannya Tim Penyidik Kejagung masih belum menetapkan Tersangka atas kejadian tersebut, dimana Tim Penyidik Kejagung masih fokus dalam pencarian data melalui saksi.[5]

Dugaan Tindak Pidana Korupsi

Robert Klitgaard menjelaskan korupsi berhubungan dengan perbuatan yang merugikan kepentingan negara atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi, kelompok, atau keluarga tertentu.[6] Dalam konteks yuridis di Indonesia, korupsi sebagai tindak pidana (delict) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Beberapa ketentuan dalam KUHP ini kemudian diubah, ditambah dan diperbaiki oleh beberapa peraturan perundang-undangan nasional dan yang terakhir sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor).

Berdasarkan dari uraian kronologi dugaan korupsi di Kemhan, terdapat indikasi adanya penyalahgunaan anggaran oleh oknum pejabat negara yang berwenang akan hal tersebut. Hal ini terlihat dari adanya gugatan kepada Kemhan terkait dengan pembayaran uang sewa pengadaan satelit, dimana disisi lain pemerintah telah mengeluarkan anggaran akan hal tersebut. Namun pembayaran uang sewa, tidak kunjung diselesaikan.

Perumusan tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor, dirancang untuk menjangkau  berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, sehingga meliputi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil.  Dalam ketentuan tersebut tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil, yang sangat penting untuk pembuktian, karena dengan rumusan secara formil yang dianut oleh Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.

Dalam hal ini, dugaan korupsi satelit di Kemhan yang melibatkan unsur TNI dan kalangan Sipil pada dasarnya dapat dikenakan Pasal 3 UU Tipikor yang menyebutkan bahwa:

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam hal ini, Kemhan merupakan pejabat publik yang memiliki kewenangan dalam hal pengalokasian anggaran negara. Unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” adalah terlanggarnya atau disalahgunakannya wewenang yang dimiliki oleh pelaku tindak pidana. Formulasi “wewenang” dapat terlihat dari berbagai peraturan formil yang mengatur kewenangan seorang pemangku jabatan tertentu. Namun, dalam hal ini tentu menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut oleh Tim Penyidik yang bertugas hingga kemudian menemukan titik terang siapa dalang atas kejadian yang menyebabkan kerugian negara tersebut.

Peradilan Koneksitas

Apabila dalam penyidikan ditemukan bukti yang menunjukkan adanya dugaan korupsi yang melibatkan unsur TNI dan kalangan sipul dalam kasus korupsi satelit ini, maka perkara tersebut dapat diproses dengan peradilan koneksitas. Peradilan Koneksitas merupakan proses peradilan terhadap pelaku pembuat delik penyertaan antara orang dari kalangan sipil dan orang dari kalangan militer. Perkara koneksitas ditentukan terhadap kerugian yang dialami yang manakah lebih banyak mengalami kerugian peradilan itu yang akan dijadikan tempat untuk mengadili pelaku tindak pidana korupsi.

Berdasarkan penyelesaian kasus tersebut, Hakim pada peradilan militer dalam menjatuhkan hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota militer harus sama penjatuhan hukumannya dengan pelaku dari warga sipil. Hal ini sesuai dengan asas equality before the law adalah asas persamaan semua orang dihadapan hukum tanpa membeda-bedakan perlakuan dari setiap orang tersebut. Walaupun mereka yang melakukan tindak pidana korupsi berasal dari militer sekalipun, perlakuannya harus sama dengan warga sipil, tidak ada perlakuan khusus terhadap keanggotaan militer. Hukum harus ditegakkan sesuai dengan fungsi dan tujuannya di Negara ini, sehingga tidak timbul kecurigaan dari masyarakat terhadap proses hukum dimanapun.[7]

Terdapat sejumlah keuntungan jika suatu kasus korupsi yang melibatkan anggota TNI dan kalangan sipil ditangani secara koneksitas. Pertama, lebih memudahkan koordinasi dan percepatan penuntasan kasus korupsi. Sebab, jika proses penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh tim koneksitas, tidak akan muncul istilah “bolak-balik” perkara antara penyidik dan penuntut. Kedua, proses penanganan perkara korupsi yang ditangani oleh penegak hukum, bisa lebih transparan dan akuntabel.[8]

 

[1] Sholahuddin Al Ayubbi dan Setyo Aji Hahanto, Korupsi Satelit Kemhan: Peran Oknum TNI, Negara Rugi Rp515 Miliar, https://kabar24.bisnis.com/read/20220216/16/1500953/korupsi-satelit-kemhan-peran-oknum-tni-negara-rugi-rp515-miliar

[2]Kompas TV, Kronologi Kasus Satelit Kemhan yang Mengancam Denda Ratusan Miliar, https://www.kompas.tv/article/261595/kronologi-kasus-satelit-kemhan-yang-mengancam-denda-ratusan-miliar

[3] Liputan 6, Menko Polhukam, Mahfud MD Ungkap Negara Rugi Nyaris Rp1 T Dalam Proyek Satelit, https://www.vidio.com/watch/2420989?utm_source=embed&utm_medium=ContentTitle

[4] Sholahuddin Al Ayubbi dan Setyo Aji Hahanto, Op.Cit.

[5] Mevi Linawati,Kasus Korupsi Satelit Kemhan, Kejagung Cekal 3 Orang, https://www.liputan6.com/news/read/4889905/kasus-korupsi-satelit-kemhan-kejagung-cekal-3-orang

[6] Jeremy Pope, 2008 “Strategi Memberantas Korupsi”, Transparency International, hal. 2, ISBN 979-9381-37-1.

[7] Kadek Wijana, I Made Sepud dan Anak Agung Sagung Laksmi Dewi, Peradilan Tindak Pidana Korupsi Bagi Anggota Militer, Jurnal Analogi Hukum, Volume 2, Nomor 3, 2020.

[8] Indonesian Coruption Watch, Peradilan Koneksitas Kasus Korupsi, https://antikorupsi.org/id/article/peradilan-koneksitas-kasus-korupsi

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.