Kontroversi Film Kiblat: Pelaku Perfilman yang Menggunakan Unsur Agama dan Ancaman Hukumannya

Kontroversi Film Kiblat dan Pelaku Perfilman yang Menggunakan Unsur Agama

Pada tahun 2022, Lembaga Sensor Film (LSF) telah melakukan sensor film sebanyak 179 judul film impor dan 99 judul film nasional, atau total 64% film impor dan 36% film nasional.[1] Jumlah tersebut lebih banyak dibanding tahun 2021 yakni sebanyak 72 judul film. Data tersebut      menunjukkan bahwa produksi film Indonesia mengalami kenaikan. Bahkan pada tahun 2023, tercatat 20 film Indonesia masing-masing mencapai 1 juta penonton.[2] Jumlah tersebut membuktikan bahwa tidak hanya dalam produksi film saja, melainkan antusiasme masyarakat terhadap film juga semakin meningkat.

Di samping data-data tersebut, adapula film-film tertentu yang tidak diloloskan oleh LSF sehingga tidak dapat ditayangkan maupun dikomersialkan. Film-film tersebut yaitu Jagal tahun 2014, Pocong tahun 2006, Prison and Paradise tahun 2011 dan Senyap tahun 2016.

 

Syarat Film Lolos LSF

Syarat agar film dapat lolos dari LSF adalah film yang memenuhi ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman (UU Perfilman) yang berbunyi bahwa:

Pasal 6 UU Perfilman:

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:

  1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
  2. menonjolkan pornografi;
  3. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
  4. menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama;
  5. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
  6. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Pasal 7 UU Perfilman:

Film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman disertai pencantuman penggolongan usia penonton film yang meliputi film:

  1. untuk penonton semua umur;
  2. untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih;
  3. untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih; dan
  4. untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih.

Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. K     egiatan dan usaha perfilman dilakukan berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, dan berkarya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Film-film yang tidak lulus sensor di LSF adalah film yang mengandung unsur ketentuan Pasal 6 UU Perfilman. Sehingga film-film tersebut dikembalikan kepada pemilik film untuk diperbaiki.

 

Unsur Agama yang Dilarang Dalam Film

Salah satu unsur yang sensitif dalam Pasal 6 UU Perfilman adalah larangan mengandung isi yang menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai-nilai agama. Di Indonesia sendiri, banyak industri perfilman yang sering memproduksi film dengan unsur atau bergenre agama. Film bergenre Agama menjadi fungsi pendidikan bagi para penonton film karena di dalam film bergenre agama terdapat nilai-nilai religius      keislaman yang kuat guna membangun kembali nalar beragama upaya membangun pola beragama yang mencerahkan umat manusia bukan hanya menjadi tontonan melainkan menjadi tuntunan.[3]

Frank Caso menyebutkan ada tiga alasan mengapa perlu adanya kegiatan sensor. Ketiga alasan itu berkaitan dengan, politik, agama dan budaya. Alasan yang berkaitan dengan politik disebutnya Retention of political power, alasan agama disebutnya Upholding of the Theological Dogma dan alasan nilai budaya disebutnya Maintaining Community Standards. Ketiganya tidak berdiri sendiri secara mandiri kadang-kadang berlangsung tumpang tindih.[4] Dalam hal ini aspek yang disensor dari segi agama, sensor berkaitan dengan upaya menunjang dogma agama (Upholding of the Theological Dogma).

Di Indonesia, penilaian film dari sisi keagamaan merupakan hal yang sangat penting. Indonesia sebagai bangsa religious yang multietnik, multi agama, dan multimental, masalah agama menjadi pertimbangan utama dalam melakukan penyensoran, karena perbedaan agama memiliki potensi terjadinya gesekan hingga terjadinya konflik. Oleh karena itu apabila ada film yang masuk ke dalam kategori yang memberikan kesan ‘anti Tuhan’ dan ‘anti agama’ dalam segala bentuk dan manifestasinya akan ditolak atau dipotong. Sementara itu dalam kaitan keanekaragaman agama juga dilarang produk film yang cenderung dapat merusak kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Apalagi bila produk film itu masuk dalam kategori yang mengandung penghinaan atau pendiskreditan salah satu agama, maka tentu bagian itu akan dipotong atau dihapus.

 

Kontrovensi Film Kiblat

Baru-baru ini Film Kiblat yang dirilis tahun 2024, sudah banyak menuai kontroversi di kalangan para tokoh agamawan. Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Cholil Nafis, secara terang-terangan untuk memohon agar film tersebut tidak ditayangkan. Ia menilai bahwa poster film Kiblat tampak tak sesuai dengan judul filmnya. Lebih lanjut, meskipun belum menonton film tersebut, dilihat dari poster dan makna dari kata “Kiblat” sendiri bertentangan. Sebab, arti kata “Kiblat” berhubungan dengan arah yang dituju umat Islam dalam saat shalat yakni ka’bah.[5]

Menurut LSF sendiri, Film Kiblat belum lulus sensor sejak Februari 2024, dikarenakan terdapat beberapa catatan yang perlu diperbaiki. Film tersebut merupakan salah satu film horror yang menggunakan konsep religi dalam penceritaannya. Sehingga diperlukan kehati-hatian dalam proses penyensoran film tersebut.

 

Ancaman Hukuman Pelaku Perfilman

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam UU Perfilman sebenarnya sudah mengatur ancaman hukuman yang diberikan kepada pemilik film yang memproduksi film bertentangan atau memuat unsur-unsur yang disebut dalam Pasal 6 UU Perfilman. Ancaman hukuman tersebut dapat berupa sanksi administratif dan hukuman pidana. Adapun sanksi administratif tersebut diatur Pasal 78 UU Perfilman yang berbunyi:

Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 31, Pasal 33 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 43, dan Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

Adapun sanksi administratif yang dapat dikenakan berupa teguran tertulis, denda administratif, penutupan sementara; dan/atau pembubaran atau pencabutan izin. Selain itu, apabila film yang dinyatakan tidak lulus sensor oleh LSF, namun masih tetap diedarkan dan/atau dipertunjukkan maka dapat dikenakan ketentuan pidana sebagaimana dinyatakan Pasal 80 UU Perfilman yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja mengedarkan, menjual, menyewakan, atau mempertunjukkan kepada khalayak umum, film tanpa lulus sensor padahal diketahui atau patut diduga isinya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Dilihat dari budaya dan agama yang berkembang di Indonesia, film bergenre agama memang seringkali menarik perhatian publik, apalagi dikaitkan dengan horor. Namun di samping itu, pembuatan film yang bergenre atau memuat unsur agama harus dibuat secara hati-hati agar tidak terkesan menistakan agama. Dengan demikian dapat diketahui bahwa ancaman hukuman terhadap bagi film yang memuat unsur penisataan agama dapat berupa sanksi administratif dan pidana.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Mirna R. S.H., M.H., C.C.D & Robi Putri J, S.H., M.H., C.T.L., C.L.A

 

[1] Laporan Kinerja dari Lembaga Sensor Film Republik Indonesia pada Tahun 2022

[2] Bloomberg Technoz, 20 Film Nasional Raih Lebih dari 1 Juta Penonton di 2023, https://www.bloombergtechnoz.com/detail-infografis/263/20-film-nasional-raih-lebih-dari-1-juta-penonton-di-2023

[3] Nurhayati Nufus, Sensor Film Bergenre Agama (Studi Fenomenologi pada Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia), AdZikra: Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam Vol. 11 No. 2 Juli-Desember 2020, halaman 194.

[4] Frank Caso, Issue Global: Censhorship, nfobase Publishing, New York, 2008, halaman 11

[5] Linda Hasibuan, MUI Minta Film Kiblat Tak Tayang di Bioskop, Ini Alasannya, https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20240325111209-33-525090/mui-minta-film-kiblat-tak-tayang-di-bioskop-ini-alasannya

 

Baca Juga:

5 Rekomendasi Film Tentang Pencucian Uang

5 Rekomendasi Film Hukum Lucu Bikin Ngakak Buat Nemenin Ngabuburit

Film Ice Cold, Kontroversi dan Ketentuan Autopsi

 

Tonton juga:

Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat| Kontroversi film kiblat|

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.