Komisi Yudisial dan 5 Tugas Terkait Pengawasan Terhadap Hakim
Komisi Yudisial
Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga yang diatur oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (salanjutnya disebut “UUD 1945”) dalam amandemen ke-3. Pasal 24B UUD 1945 menyatakan:
“Komisi Yudisian bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.”
Berdasar ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisial adalah suatu lembaga yang terpisah dari lembaga-lembaga lainnya, namun masih tercakup dalam kekuasaan kehakiman/yudikatif di Indonesia. Adapun fungsinya berbeda dengan fungsi Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi yang memberikan putusan, Komisi Yudisial justru melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman oleh hakim-hakim yang menjabat.
Sebagai pelaksana dan peraturan lebih lanjut dari ketentuan tersebut, terbit dan berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut “UU 22/2004”). Pasal 1 angka 1 UU 22/2004 menyatakan:
“Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
Sebagai pelaksana lembaga, Anggota Komisi Yudisial yang terdiri dari 7 (tujuh) orang anggota dengan seroang ketua dan wakil ketua terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum dan anggota masyarakat. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU 22/2004. Selanjutnya, terdapat perwakilan-perwakian Komisi Yudisial di setiap daerah.
Anggota-anggota tersebut kemudian menjalankan wewenang lembaga sebagaimana telah disampaikan dalam Pasal 24B UUD 1945 di atas, salah satunya yaitu menjaga kehormatan dan martabat hakim. Baik dalam UUD 1945 maupun dalam UU 22/2004, tidak disebutkan pengertian dan batasan tentang kehormatan, keluruhan dan martabat hakim.
Kewenangan dan Tugas Komisi Yudisial Dalam Pemeriksaan Dugaan Pelanggaran Oleh Hakim
Fokus pada kewenangan untuk menjaga kehormatan dan martabat hakim, Pasal 20 UU 22/2004 memberikan tugas kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Adapun tugas-tugas lebih rinci terhadap pengawasan tersebut diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UU 22/2004 yang mengatur:
“Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Komisi Yudisial:
- Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
- Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
- Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
- Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
- Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.”
Batasan tugas dan kewenangan tersebut lebih lanjut diatur dalam Pasal 22 ayat (3) UU 22/2004 yaitu:
“Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.”
Artinya, meski ada pengawasan terhadap hakim, namun independensi hakim harus tetap dihormati.
Lalu bagaimana ketika putusan hakim tersebut diduga atau diindikasi dapat merusak kehormatan dan martabat hakim, sebagai contoh putusan bebas dalam perkara register nomor 454/Pid.B/2024/PN Sby dengan Terdakwa atas nama Gregorius Ronald Tannur yang cukup menghebohkan masyarakat beberapa waktu lalu. Kembali kepada kewenangan Komisi Yudisial untuk menegakkan kehormatan dan keluruhan martabat hakim, pengertian dari kehormatan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah, “Kemuliaan, kebesaran, nama baik.”[1] Sedangkan martabat adalah tingkat harkat manusia,[2] dimana harkat sendiri berarti kemuliaan, taraf, mutu, atau nilai.[3]
Komisi Yudisial memang tidak dapat masuk atau bahkan menguji pertimbangan atau isi putusan yang dibuat oleh Hakim, yang sesungguhnya tidak hanya berkaitan dengan independensi tetapi kompetensi atau mutu Hakim dimaksud. Namun demikian, jika ternyata dalam membuat atau memutuskan suatu perkara tersebut ternyata terdapat perilaku Hakim yang tidak menunjukkan atau tidak menjunjung kehormatan dan martabat Hakim, maka Komisi Yudisial dapat memberikan rekomendasi sanksi bagi hakim dimaksud.
Rekomendasi sanksi yang dapat diberikan oleh Komisi Yudisial adalah berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian, sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UU 22/2004. Usul tersebut diajukan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Manakala Hakim dimaksud akan dijatuhi hukuman, maka Hakim tersebut diberikan kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim.
Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.
[1] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kehormatan
[2] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/martabat
[3] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/harkat
Baca juga:
Putusan Pengesahan Perkawinan Beda Agama Disorot Komisi III DPR dan KY, Batas-Batas Kebebasan Kekuasaan Kehakiman
Asas Hukum Hakim Wajib Mendengar Keterangan Kedua Belah Pihak
Mafia Kasus
Trias Politica Checks and Balances
Tonton juga:
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanPerbedaan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
Badan Pengawas Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.