Komentar Vanuatu Terhadap Indonesia dalam Rapat Sidang Majelis Umum PBB

Pada hari Minggu, tanggal 21-27 September 2021 yang lalu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggelar Sidang Majelis Umum PBB di New York. Dalam kesempatan tersebut, Indonesia kembali diserang oleh Republik Vanuatu yang mengungkit masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua. Republik Vanuatu rupanya rutin menyerang Indonesia mengenai HAM masyarakat Papua dalama Sidang Majelis Umum PBB setiap tahunnya.[1] Berikut ringkasan kronologi atas kritikan Vanuatu terhadap Indonesia dalam Sidang Majelis Umum PBB setiap tahunnya:[2]

  1. Pada tahun 2016, Vanuatu bersama dengan negara kepulauan pasifik lainnya mengkritik catatan HAM Indonesia di Papua dan Papua Barat. Dalam Sidang Majelis Umum PBB Vanuatu mendesak Indonesia supaya memberikan kebebasan Papua untuk menentukan nasib mereka. Hal tersebut mendapat respon keras dari delegasi Indonesia Nara Masista Rakhmatia sebagai pejabat di misi tetap Indonesia untuk PBB;
  2. Pada tahun 2017, Vanuatu kembali membawa isu yang sama pada Sidang Umum PBB ke-72. Hal tersebut kemudian didebat oleh Perwakilan Indonesia Ainan Nuran;
  3. Pada tahun 2018, serangan Vanuatu mengenai HAM di Papua dijawab langsung oleh Jusuf Kalla yang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia saat itu;
  4. Pada tahun 2019, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai Tabimasmas kembali menyebutkan bahwa adanya dugaan pelanggaran HAM di Papua dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum ke-74 PBB;
  5. Pada tahun 2020, Bob Loughman yang merupakan Perdana Menteri Vanuatu kembali mengungkit masalah yang sama. Hal tersebut dibantah oleh Diplomat perwakilan Indonesia Silvany Austin Pasaribu yang mengatakan bahwa Vanuatu terlalu ikut campur dengan urusan Indonesia dan mengingatkan bahwa Vanuatu bukan representasi rakyat Papua, namun terus terobsesi berlebihan tentang bagaimana seharusnya Indonesia bertindak;
  6. Pada tahun 2021, Perdana Menteri Vanuatu, Bob Loughman Weibur juga kembali mengungkit masalah yang sama.Bahkan meminta PBB untuk mengunjungi Papua untuk melakukan penilaian secara independen. Pidato Bob dibantah oleh Diplomat Indonesia Sindy Nur Fitry. Bahkan mempertanyakan pemahaman Vanuatu tentang hak asasi manusia (HAM) dan ditegaskan bahwa Vanuatu melakukan pemelintiran fakta. Berikut jawaban Sindy dalam hak jawab

“Vanuatu mencoba membuat dunia terkesan dengan apa yang di sebut kepedulian terhadap HAM, tapi kenyataanya versi HAM mereka dipelintir dan tidak menyebut tindakan teror yang tidak manusiawi dan keji yang dilakukan kelompok separtasi bersenjata”

Fakta-fakta tersebut menurut Sindy Nur Fitry selaku delegasi Indonesia dalam Sidang Majelis Umum PBB pada tahun 2021 telah melanggar tujuan dan prinsip dalam Piagam PBB dan bertentangan dengan Deklarasi Prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antar negara.[3]

Vanuatu sendiri merupakan salah satu negara kepulauan yang terletak di Samudra Pasifik bagian selatan, tepatnya disebelah timur Australia, Timur Laut Kaledonia, Barat Fiji dan selatan Kepulauan Salomon.[4] Republik Vanuatu menjadi negara terkecil di dunia dengan total penduduk sebanyak 307 ribu jiwa, dimana sebagian besar penduduk setempat berbicara bahasa Inggris.[5] Vanuatu dihuni oleh bangsa Melanesia seperti orang Papua. Secara wilayah, Vanuatu pada tahun 2015 ditetapkan sebagai salah satu negara paling berbahaya menurut World Risk Report Tahun 2015 yang dibuat oleh Universitas PBB untuk Lingkungan dan Keamanan Manusia (UNU-EHS) dikarenakan negaranya yang kepulauan dan banyak gunung berapi dimungkinkan mengalami gempa bumi, badai, banjir, dan kekeringan.[6] Vanuatu memiliki pasukan bersenjata. Mereka adalah Angkatan Ke polisian Vanuatu (VPF) dan sayap paramiliter, Angkatan Bergerak Vanuatu (VMF). Secara keseluruhan ada 547 petugas kepolisian yang menjadi dua komando utama.[7] Presiden Vanuatu saat ini yaitu Tallis Obed Moses. Vanuatu berdiri pada tahun 1980 yang kemudian menjadi anggota PBB, Persemakmuran Inggris, Franchophine (organisasi negara berbahasa Prancis) dan Forum Kepulauan Pasifik.[8]

Vanuatu sebagai negara yang selalu membahas tentang Papua dalam Sidang Majelis Umum PBB, oleh Rayyanul sebagai Diplomat Negara Indonesia dianggap sebagai langkah provokatif dan menunjukkan dengan terang bahwa aksi separatis di Papua tidak lagi bersifat lokal karena telah didukung oleh Vanuatu (state-sponsored sparatism). Menurutnya, Vanuatu tidak sadar bahwa aksinya memberikan harapan kosong dan memicu konflik yang tidak bertanggung jawab.[9] Berkaitan dengan hal tersebut, perlu diketahui bahwa dalam Pasal 1 Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional disebutkan bahwa tujuan PBB yaitu:

  1. Memelihara perdamaian dan keamanan Internasional dan untuk tujuan itu : melakukan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari penyelesaian terhadap pertikaian-pertikaian Internasional atau keadaan-keadaan yang dapat mengganggu perdamaian;
  2. Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian universal;
  3. Mengadakan kerjasama Internasional guna memecahkan persoalan-persoalan Internasional dibidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha menunjukkan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama; dan
  4. Menjadi pusat bagi penyelarasan segala tindakan-tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama tersebut.

Kemudian untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, PBB bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 Piagam PBB yaitu:

  1. Organisasi bersendikan pada prinsip-prinsip persamaan kedaulatan dari semua Anggota;
  2. Seluruh anggota, untuk menjamin hak-hak keanggotaannya, harus dengan setia memenuhi kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Piagam ini;
  3. Seluruh anggota harus menyelesaikan persengketaan Internasioanl dengan jalan damai dan menggunakan cara-cara sedemikian rupa sehingga perdamaian dan keamanan Internasional serta keadilan tidak terancam;
  4. Seluruh anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik sesuatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB;
  5. Semua anggota harus memberikan segala bantuan kepada PBB dalam suatu tindakannya yang diambil sesuai dengan Piagam inim dan tidak akan memberikan bantuan kepada sesuatu negara yang oleh PBB dikenakan tindakan-tindakan pencegahan atau larangan;
  6. Organisasi ini menjamin agar negara-negara bukan anggota PBB bertindakan dengan prinsip-prinsip ini apabila dianggap perlu demi perdamaian dan keamanan Internasional;
  7. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Piagam ini yang memberi kuasa kepada PBB untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara atau mewajibkan anggota-anggotanya untuk menyelesaikan urusan-urusan demikian menurut ketentuan-ketentuan Piagam ini: akan tetapi prinsip ini tidak mengurangi ketentuan mengenai penggunaan tindakan-tindakan pemaksaan seperti tercantum dalam Bab VII.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Piagam PBB tersebut, maka dapat diketahui bahwa tindakan Vanuatu yang secara rutin setiap tahun dalam Sidang Majelis Umum PBB mengangkat isu yang menyangkut Papua adalah suatu hal yang berlebihan, dimana Vanuatu tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan negara Indonesia di Papua sebab urusan tersebut adalah urusan dalam negeri Pemerintah Indonesia, serta tindakan Vanuatu mengancam kedaulatan negara sehingga tidak sesuai dengan Prinsip dalam Pasal 1 dan Pasal 2 PBB. Terlebih lagi, hal yang dikatakan oleh Vanuatu tidak terbukti kebenarannya dan berpotensi mendukung sparatisme berkedok kepedulian atas pelanggaran HAM. Vanuatu yang meminta PBB meyelidiki secara langsung juga tidak selaras dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang menyatakan bahwa PBB tidak berkuasa untuk mencampuri urusan-urusan yang pada hakekatnya termasuk urusan dalam negeri suatu negara.

[1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20200928122734-4-189939/fakta-vanuatu-bikin-geram-5-kali-serang-ri-soal-papua-di-pbb

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] https://www.tribunnews.com/internasional/2020/09/28/8-fakta-soal-vanuatu-negara-kecil-pemakan-manusia-yang-setiap-tahun-usik-ri-soal-papua-di-pbb

[5] https://www.batamnews.co.id/berita-44346-mengenal-vanuatu-negara-kecil-sering-ikut-campur-urusan-indonesia.html

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Vanuatu

[9] https://www.liputan6.com/global/read/4075249/konstitusi-hingga-benny-wenda-ini-alasan-vanuatu-kerap-usik-ri-soal-papua

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.