Kode Etik Advokat Terkait Iklan

Advokat berasal dari kata Belanda yakni Advocaat yaitu seseorang yang resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Lebih jauh lagi, kata itu berasal dari kata latin yaitu Advocatus. Oleh karena itu, tidak heran hampir disetiap bahasa di dunia istilah itu dikenali.[1] Yang terdapat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Advokat adalah ahli hukum yang memberi bantuan hukum dengan nasehat ataupun langsung memberikan pembelaan kepada orang yang tersangkut perkara di dalam persidangan.[2]

Keberadaan Advokat diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (UU Advokat). Pasal 1 Angka 1 UU Advokat, memberikan definisi tentang advokat yakni

Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memberikan pengertian Advokat adalah seseorang yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.[3] Di dalam UU Advokat, disimpulkan bahwasannya advokat itu dapat bergerak dalam pengadilan, maupun bertindak sebagai konsultan dalam permasalahan hukum, baik pidana maupun perdata.

Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan yang dapat kita lihat di dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat, karena Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Kemudian dilengkapi dengan wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia seperti yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (2).

Dalam menjalankan profesinya, Advokat terikat dengan Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI), Advokat wajib berpegang berdasarkan kode etik advokat dikarenakan salah upaya agar seorang advokat dapat mengontrol perilaku yang sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku di negara Indonesia ini. Maka dalam mempromosikan atau menarik perhatian klien, perlu memperhatikan kode etik yang mengatur hal demikian. Dalam Pasal 8 huruf b dan f KEAI menyebutkan bahwa:

  1. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan.
  2. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat

Ketentuan tersebut mengatur mengenai publisitas seorang Advokat dalam menjalankan profesinya sebagai bagian dari penegak hukum di Indonesia. Dalam 2 (dua) ketentuan tersebut, selama ini masih sulit untuk me­ngar­tikan yang dimaksudkan oleh ke­tentuan pasal tersebut. Dalam Pasal 8 huruf b KEAI, menitikberatkan pada pemasangan iklan yang berlebih-lebihan, frasa ini menunjukkan bahwa pembatasan pulisitas seorang Advokat dilihat dari pemasangan iklan sehingga menimbulkan ketidakjelasan maksud dari ketentuan ini.

Dalam Pasal 8 huruf f KEAI, ketentuan pasal ini me­ngan­dung makna yang artinya seorang advokat bah­kan dilarang mencari publisitas ke me­dia massa. Hal ini juga berkaitan dengan larangan bagi ad­vokat untuk memberikan ketera­ngan me­ngenai tindakan-tinda­kan­nya se­ba­gai advokat atas perkara yang per­nah atau sedang ditanga­ninya, sehingga tidak diketahui ukuran penyampaian tersebut memiliki maksud atau motif tersendiri.

Apabila terjadi pelanggaran atas larangan yang diatur dalam KEAI itu sendiri, terdapat beberapa sanksi yang akan diberikan yaitu peringatan biasa, peringatan keras, pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.[4] Lebih lanjut dalam Pasal 16 Ayat (2) KEAI, menyebutkan bahwa:

(2) Dengan pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran Kode Etik Advokat dapat dikenakan sanksi:

  1. Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
  2. Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
  3. Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
  4. Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.

Dengan demikian mengenai ketentuan iklan yang berkaitan dengan profesi Advokat, ketentuan Pasal 8 huruf b dan f KEAI masih belum memiliki ukuran yang jelas mengenai unsur-unsur pemasangan iklan yang berkaitan dengan publisitas seorang Advokat itu sendiri. Untuk mengetahui apakah seorang Advokat itu melanggar ketentuan tersebut sejauh ini belum dapat diukur secara jelas, sehingga salah satu untuk dapat mengetahui hal tersebut melalui sidang Majelis Dewan Kehormatan Advokat. Terkait hal tersebut, melalui sidang Dewan Kehormatan sanksi dapat dikenakan terhadap Advokat yang melanggar kode etik.

 

[1] Sartono dan Bhekti Suryani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Advokat, Dunia Cerdas, Jakarta Timur, 2013.

[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia

[3] Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

[4] Pasal 16 Ayat (1) Kode Etik Advokat Indonesia

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.