Apa Itu Klausula Baku dan Pengaturan Hukumnya

Perjanjian merupakan aspek yang sangat penting dalam kegiatan bisnis baik yang dilakukan antar individu dalam satu negara maupun hubungan antar perusahaan yang bersifat lintas batas negara. Dalam sebuah perjanjian harus ada kesepakatan, yang mana kesepakatan tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak para pihak yang terkait. Kebebasan berkontrak diartikan sebagai kebebasan para masyarakat untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian, kebebasan untuk menentukan dengan siapa mengadakan perjanjian dan kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk perjanjian. Asas kebebasan berkontrak ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:[1]
(1) membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
(3) menentukan isi perjanjan, pelaksanaan dan persyaratannya;
(4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Dari kebebasan yang diberikan kepada anggota masyarakat akan membuat perjanjian berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka kebebasan yang erat hubungannya dan sering kali terpengaruh dengan pencantuman suatu syarat tertentu dalam suatu perjanjian, adalah adanya kebebasan untuk menentukan isi dari perjanjian yang akan mereka buat. [2] Dalam hal ini akan berpengaruh pula pada adanya kebebasan untuk membuat perjanjian yang sepihak atau sering disebut dengan perjanjian baku (klausul baku). Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksud dengan Perjanjian baku adalah:
“Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.” [3]
Dari ketentuan pasal 1 angka 10 UUPK tersebut, dapat ditentukan jenis-jenis klausula baku, adalah sebagai berikut:
- Ditetapkan secara sepihak maksudnya adalah isi persyaratan dan ketentuan memposisikan pelaku usaha sebagai posisi yang lebih dominan dan memiliki kuasa untuk tidak bertanggung jawab atas kerugian atau keluhan konsumen.
- Ditetapkan oleh pemerintah maksudnya adalah persyaratan atas ketentuan pemerintah biasanya berisi mengenai hak-hak atas kepemilikian tanah.
- Ditetapkan oleh pejabat berwenang maksudnya adalah klasula baku yang semula disediakan untuk kepentingan masyarakat dengan bantuan notaries atau advokat.
Kelahiran UUPK merupakan angin segar yang membawa kepastian hukum baik bagi pelaku usaha ataupun bagi konsumen. Dalam kegiatan perdagangan terdapat hubungan saling membutuhkan antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen membutuhkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha sedangkan pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk dapat membeli barang dan jasa yang diperdagangkan oleh pelaku usaha. Pengaturan mengenai klausula baku terdapat dibeberapa subtansi hukum, seperti UUPK, Peraturan Otoritas jasa keuangan (POJK) nomor 1/POJK.07/2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/1/PBI/2014 tentang perlindungan konsumen jasa sistem pembayaran, dan Peraturan Bank Indonesia nomor 22/20/PBI/2020 tentang perlindungan konsumen bank Indonesia. Subtansi-subtansi tersebut mengatur tentang penggunaan klausula baku yang memberikan batasan kepada pelaku usaha dalam menerapkan klausula baku pada sebuah dokumen perjanjian.
Pada UUPK pasal 1 angka 10, mengacu pada ketentuan pasal tersebut menunjukan bahwa UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku pada dokumen perjanjian, selama isi dari klausula baku tersebut tidak mencantumkan larangan penggunaan yang telah ditetapkan pada sebuah dokumen perjanjian, asalkan ketentuan tersebut tidak melanggar larangan penggunaan klausula baku yang diatur pada ketentuan pasal 18 ayat 1 dan 2 UUPK. Pada pasal 18 ayat 1 UUPK menyebutkan larangan atau batasan penggunaan klausula baku sebagai berikut:
- Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
- Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
- Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
- Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
- Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
- Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
- Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
- Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Sedangkan Pada pasal 18 ayat 2 UUPK enyebutkan “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.”
Klausula (Perjanjian) baku biasanya dibuat oleh orang yang posisinya mempunyai kekuasaan atau posisi tawar lebih tinggi, yang tentunya dalam hal ini yaitu pengusaha Jasa Kurir. Isi pada perjanjian baku seringkali merugikan pihak konsumen karena perjanjiannya sendiri dibuat secara sepihak. Dan apabila konsumen menolak dengan adanya perjanjian baku tersebut maka konsumen tidak akan mendapat barang atau jasa yang diinginkan, karena perjanjian tersebut akan dijumpai dalam tempat lain. Biasanya isi dari klasula baku pada sebuah perjanjian berisikan poin-poin yang bertujuan untuk meminimalisir kerugian pihak usaha. Sering terjadi pelanggan tidak mempunyai waktu untuk membacanya, namun jika sempat membacanya ada kemungkinan untuk sulit memahaminya, dan apabila jika dia mengetahui dan menyatakan keberatan terhadap salah satunya, biasanya dikatakan bahwa dia dapat menerimanya atau meninggalkannya. Di dalam suatu perjanjian sehubungan dengan adanya keinginan dari salah satu pihak agar tidak mengalami kerugian terlalu besar apabila timbul suatu peristiwa, maka pengusaha berusaha menekan kerugian itu dengan jalan mencantumkan syarat-syarat yang bermaksud mengurangi, meringankan atau bahkan menghapuskan sama sekali tanggung jawabnya terhadap kerugian tersebut, syarat itu dinamakan dengan klausul eksonerasi.
Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan klausul eksonerasi adalah: ”Syarat dalam suatu perjanjian yang berupa pengecualian tanggung jawab atau kewajiban terhadap akibat dari suatu peristiwa yang menurut hukum yang berlaku seharusnya di tanggung resikonya oleh pihak yang telah mencantumkan klausul tersebut”[4]. Pada dasarnya disertakannya klausula eksonerasi ini adalah karena antara resiko kewajiban atau tanggung jawab yang ada diantara para pihak tidak seimbang. Sehingga tujuan dimuatnya klausul eksonerasi ini tidak lain adalah untuk mengurangi kewajiban atau tanggung jawab dari salah satu pihak, guna mengurangi risiko yang terlalu besar karena kemungkinan timbulnya banyak kesalahan, dengan kata lain tujuannya adalah untuk pembagian beban resiko secara layak.
Syarat-syarat perjanjian yang mereka buat dan dihadapkan kepada konsumen umumnya kurang mencerminkan rasa keadilan karena konsumen tidak berhak menawar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh pengusaha. Menawar berarti menolak syarat-syarat yang ditentukan,[5] sehingga dengan berlakunya UUPK, maka terdapat pembatasan yang relatif tegas terhadap pencantuman klausul baku dan klausul eksonerasi, karena sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 (4) UUPK yang menyebutkan “Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertetntangan dengan Undang-Undang ini.” Jika pelaku usaha melanggar ketentuan pencantuman klausula baku yang sudah ditetapkan maka akan dinyatakan batal demi hukum. Sesuai dengan isi pasal 18 ayat UUPK yang menyatakan: ”Setiap klausula baku yang sudah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum”.
[1] Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2001, Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, hal. 16
[2] Kelik Wardiono, Op.Cit, hal.7
[3] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
[4] Kelik Wardiono, Op.Cit, hal. 12
[5] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2006 ), h.119
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanKetentuan Hukum Mengenai Robot Investasi
Diskon Dari Pertamina, Bukan Sponsor Formula E

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.