Klaim 15 Triliun Oleh Eks Pengacara Bharada E
Beberapa hari ini, dunia hukum dihebohkan dengan kasus penembakan yang dilakukan sesama aparat hukum kepolisian yang diduga dilakukan oleh Bharada E kepada Brigadir J.[1] Kasus tersebut diketahui melibatkan banyak pihak, salah satunya adalah Bharada E atau yang dikenal Bharada Richard Eliezer. Keterlibatan Bharada E sebagai orang yang diduga menembak Brigadir J atas perintah dari Irjen Ferdy Sambo.[2] Menjadikan Bharada E terancam dikenakan Pasal 338, Juncto Pasal 55 dan 56 KUHP dengan acaman penjara 15 tahun, yang membuatnya harus didampingi oleh Penasehat Hukum. Sebelumnya, Bharada E didampingi oleh Andreas Nahot Silitonga namun mengundurkan diri dan digantikan oleh Deolipa Yumara dan Muh. Burhanuddin. Namun, belum sepekan berjalan, Bharada E kemudian mencabut kuasa hukumnya yang menunjuk Deolipa Yumara dan Muh. Burhanuddin.
Hal tersebut sontak membuat Deolipa Yumara dan Muh. Burhanuddin (Eks Pengacara) curiga terhadap pencabutan kuasa yang dilakukan oleh Bharada E. Eks Pengacara Bharada E tersebut menjelaskan bahwa terdapat kejanggalan atas pencabutan kuasa terhadapnya, karena Bharada E sementara dalam tahanan dan tidak mungkin bisa mengetik.[3] Berkaitan dengan hal tersebut, Eks Pengacara Bharada E, meminta fee 15 triliun rupiah kepada negara, atas pencabutan surat kuasa secara sepihak. Permintaan tersebut, diberikan tidak hanya kepada Bareskrim Polri melainkan juga kepada Presiden Jokowi, sebab penunjukkannya sebagai pengacara Bharada E merupakan tugas negara dan sebagai bayaran atas 5 (lima) hari kerja sebagai Pengacara Bharada E.[4]
Perlu diketahui bahwa advokat dan hak-hak Advokat diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (UU Advokat). Disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1 UU Advokat, bahwa:
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”
Jasa hukum yang dimaksud ialah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien. Dari pengertian tersebut, diketahui setiap orang yang menjalankan jasa hukum untuk kepentingan klien dan memenuhi persyaratan yang terdapat berdasarkan ketentuan UU Advokat, disebut sebagai Advokat. Atas jasa hukum yang dijalankan oleh seorang Advokat, maka seorang Advokat berhak menerima bayaran (fee). Pembayaran fee ini dalam UU Advokat, dikenal dengan istilah honorarium. Istilah ini terdapat dalam Pasal 1 Angka 7 UU Advokat yang menyebutkan bahwa:
“Honorarium adalah imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat berdasarkan kesepakatan dengan Klien.”
Merujuk ketentuan Pasal 21 UU Advokat, honorarium merupakan hak yang diterima oleh seorang Advokat atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya. Besaran honorarium tersebut, secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak sendiri.[5] Dengan demikian, oleh karena pembayaran honorarium ini merupakan hak yang melekat pada diri advokat sebagai imbalan atas jasa hukum yang diberikan kepada kliennya (hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban), maka pembayaran tersebut merupakan pembayaran yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
Berbeda halnya dengan penunjukkan kuasa hukum yang dilakukan oleh pejabat negara dalam hal ini Penyidik Kepolisian. Merujuk ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan bahwa:
“Guna kepemtingan pembelaan, tersangkat atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini.”
Artinya, ketentuan Pasal 54 KUHAP ini mewajibkan adanya bantuan hukum (Advokat atau Pengacara atau Penasehat Hukum) untuk mendampingi tersangka atau terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan. Tersangka atau terdakwa dapat menunjuk atau memilih sendiri penasehat hukumnya sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 55 KUHAP. Sementara itu, apabila tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas lima tahun, lima belas tahun atau ancaman pidana mati yang tidak menunjuk sendiri penasehat hukumnya, maka pejabat kepolisian berhak menyediakan bantuan hukum tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 56 KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka,
(2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
Dalam ketentuan tersebut, pejabat yang bersangkutan dalam hal ini Penyidik, atas perintah undang-undang mengharuskan memberi tahu dan menyediakan jasa bantuan hukum kepada tersangka, guna kepentingannya dalam hal pembelaan dan pemeriksaan. Penunjukkan tersebut, dilakukan ketika tersangka ada dalam proses penyidikan dan demi hukum batas kewenangan yang dimiliki surat penunjukan penasihat hukum tersebut dengan sendirinya berakhir jika penyidikan tidak diperlukan lagi terhadap diri tersangka. Begitupun pada tingkat kejaksaan, jika diperlukan pemeriksaan tambahan maka penyidik kejaksaan harus menujuk penasehat hukum untuk mendampingi tersangka, hal ini juga berlaku pada tingkat pengadilan dan juga jika terdakwa masih melakukan upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri berupa banding dan kasasi.[6]
Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHAP, bagi setiap Penasehat Hukum dalam memberikan bantuan hukumnya dilakukan secara cuma-cuma atau tanpa pungutan biaya. Hal ini berhubungan dengan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh Advokat dan dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar atau penyangga dari pelaksanaan sistem peradilan yang adil dan berimbang (fair trial). Advokat memiliki peran bukan hanya sebagai pembela konstitusi namun juga sebagai pembela hak asasi manusia. Oleh karena itu, advokat memiliki fungsi sosial, salah satunya adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh undang-undang.
Sementara itu, berkaitan dengan permintaan honorarium (fee) sebesar 15 triliun oleh Eks Pengacara Bharada E kepada negara, merupakan tindakan yang tidak memiliki dasar hukum. Jika motif permintaan tersebut didasari atas kinerjanya sebagai kuasa hukum Bharada E selama 5 (lima) hari, merupakan motif yang tidak dapat diterima. Sebab, Pasal 56 KUHAP telah menyatakan bahwa tindakan bantuan hukum yang dilakukan oleh Penasehat Hukum yang ditunjuk oleh Pejabat Kepolisian dilakukan secara cuma-cuma atau tanpa pungutan biaya. Adapun Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, pada dasarnya hanya mengatur anggaran yang diberikan kepada Lembaga-Lembaga Bantuan Hukum yang memenuhi persyaratan tertentu.
Mengenai pencabutan kuasa secara sepihak, merujuk ketentuan dalam Pasal 1813 KUHPerdata menyebutkan bahwa:
“Pemberian kuasa berakhir: dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa; dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa; dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”
Ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata, memperbolehkan berakhirnya suatu perjanjian kuasa secara sepihak, yang diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan tertentu untuk itu. Jadi pencabutan tersebut dilakukan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa maupun secara diam-diam dengan cara pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melanjutkan kuasa atau urusan yang sama.
Lain halnya, jika Eks Pengacara Bharada E dengan Bharada E, terdapat kesepakatan atau perjanjian penggunaan jasa hukum atau sejenisnya antara kedua belah pihak. Maka, apabila salah satu pihak melanggar perjanjian penggunaan jasa hukum, maka perjanjian tersebut dapat menjadi dasar diajukannya gugatan atau menuntut ganti rugi atas tindakan pihak yang menyebabkan kerugian tersebut. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan yang telah dijelaskan di atas, permintaan 15 Triliun yang dimohonkan oleh Eks Pengacara Bharada E tidaklah berdasar hukum.
[1] Wildan Noviansah, Jadi Tersangka Kasus Brigadir J, Irjen Ferdy Sambo Siap Patuhi Proses Hukum, https://news.detik.com/berita/d-6229979/jadi-tersangka-kasus-brigadir-j-irjen-ferdy-sambo-siap-patuhi-proses-hukum.
[2] Tim detikNews, Ferdy Sambo Minta Bharada E Tembak Brigadir J Setelah Ricky Menolak, https://www.detik.com/bali/berita/d-6234212/ferdy-sambo-minta-bharada-e-tembak-brigadir-j-setelah-ricky-menolak.
[3] Tim TvOne, Tegas! Deolipa Yumara Beberkan Beberapa Kejanggalan Pencabutan Paksa Dirinya Selaku Pengacara Bharada E, https://www.tvonenews.com/berita/nasional/60445-tegas-deolipa-yumara-beberkan-beberapa-kejanggalan-pencabutan-paksa-dirinya-selaku-pengacara-bharada-e
[4] Silvia, Alasan Deolipa Tagih Fee Rp 15 T Usai Tak Lagi Jadi Pengacara Bharada E, https://news.detik.com/berita/d-6233456/alasan-deolipa-tagih-fee-rp-15-t-usai-tak-lagi-jadi-pengacara-bharada-e.
[5] Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat
[6] Junaidi S. Abdullah, Kajian Pasal 56 Kuhap Tentang Penunjukan Penasehat Hukum Adalah Hak Asasi Tersangka/Terdakwa, Jurnal Lex Crimen Vol. IV, No. 7 September 2015.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanResensi Buku: Hukum Merek (Trademark Law), Dalam Era Global...
Sistem Hukum Pidana di Indonesia
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.