Kewenangan Ultra Petita Hakim yang Menjatuhkan Putusan Ferdy Sambo dan Putri Candrawati Jauh Di Atas Tuntutan
Putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso pada Senin 13 Februari 2023 lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap Ferdy Sambo cukup menyita perhatian publik dan tak sedikit yang mengapresiasi putusan majelis hakim tersebut. Pasalnya putusan yang diberikan oleh majelis hakim lebih tinggi ketimbang tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawati atau sering juga disebut ultra petita. Dalam tuntutannya, Ferdy Sambo dituntut penjara seumur hidup karena diyakini melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tentang pembunuhan berencana, dan dalam perkara perintangan penyidikan pembunuhan itu jaksa menilai bahwa Ferdy Sambo melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Sedangkan dalam putusan hakim Ferdy Sambo divonis hukuman mati.[1] Sementara tuntutan jaksa kepada Putri Candrawati yaitu 8 tahun penjara karena diyakini melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, namun majelis hakim memvonis 20 tahun penjara.[2]
Sekarang mari kita bahas apa itu tuntutan dan putusan. Tuntutan dalam sidang merupakan wewenang Jaksa Penuntut Umum yang dituangkan dalam surat tuntutan untuk dibacakan dalam persidangan setelah dilakukannya sidang pemeriksaan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan:
- “Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
Sedangkan putusan pengadilan diatur dalam Pasal 11 KUHAP yang menyatakan:
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diketahui putusan merupakan kewenangan hakim sepenuhnya dalam mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara dalam persidangan yang dituangkan dalam surat putusan pengadilan. Kewenangan hakim dalam melaksanakan putusan pengadilan, diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU KK) atau biasa dikenal dengan Kebebasan Kekuasaan Kehakiman. Kebebasan hakim harus dalam prinsip kebebasan lembaga peradilan, sebab hakim sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman haruslah berada di dalam koridor kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman[3] sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 3 ayat (1) UU KK, yang menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.”
Kekuasaan Kehakiman sendiri diartikan dalam Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”
Kebebasan atau Independensi diartikan bebas dari pengaruh dan paksaan eksekutif dari segala kekuasaan negara lainnya kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang. Dengan demikian para hakim dalam menjalankan perannya memikul tanggung jawab yang besar dan harus menyadari tanggung jawabnya tersebut. Landasan yuridis dan filosofis kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yang mandiri dan bebas dari segala bentuk campur tangan dari luar, sebagaimana amanat konstitusi dalam Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Selain ketentuan dalam kebebasan kekuasaan kehakiman, terdapat pula ketentuan lain mengenai kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara. Berbeda dengan hukum acara perdata dimana hakim harus bersifat pasif atau menunggu dari para pihak, dalam hukum acara pidana hakim harus bersifat aktif. Hal tersebut dikarenakan dalam hukum acara pidana, yang dicari adalah kebenaran materiil, sehingga hakim tidak hanya menerima apa yang diberikan oleh para pihak, melainkan juga harus mencari kebenaran yang ada. Seperti yang terjadi pada kasus Sambo ini, sikap mejalis hakim yang menjatuhkan putusan pidana melebihi apa yang dituntut oleh JPU kepada Ferdy Sambo dan Putri Candrawati merupakan manifestasi dari kebebasan kekuasaan kehakiman itu sendiri, seperti yang dikatakan oleh M. Yahya Harahap “hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana (strafmaat) yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas”.[4] Selain hal tersebut, tidak ada peraturan dalam KUHP maupun KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan kepada terdakwa sesuai dalam surat tuntutan JPU. Dengan demikian, dalam suatu perkara pidana, hakim memiliki kewenangan untuk memberikan putusan ultra petita (melebihi apa yang dituntut).
Dengan demikian dalam memutus suatu perkara, hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari pihak manapun yang dikenal dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang dimiliki oleh lembaga peradilan demi terciptanya suatu putusan yang bersifat obyektif dan tidak memihak kepada salah satu pihak berperkara.
Penulis: Adelya H.M.
Editor: R. Putri J. & Mirna R.
[1] Amirullah, Jokowi Angkat Bicara soal Vonis Mati Ferdy Sambo, https://nasional.tempo.co/read/1692212/jokowi-angkat-bicara-soal-vonis-mati-ferdy-sambo
[2] Jay Akbar, Jaksa Tuntut Putri Candrawati Delapan Tahun Penjara, https://narasi.tv/read/narasi-daily/jaksa-tuntut-putri-candrawati-delapan-tahun-penjara
[3] Briean Imanuel Kaeng, Ruddy Watulingas, dan Harly Stanly Muaja, Kebebasan Dan Pedoman Hakim Dalam Penerapan Putusan Pengadilan, e-journal UNSRAT.
[4] M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Edisi kedua. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 333.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.