Kewenangan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana Korupsi

Istilah tindak pidana merupakan istilah teknis yuridis dari kata bahasa Belanda “strafbar feit” atau “Delict” dengan pengertian perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan dapat dikenai sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggarnya. Berkaitan dengan pendapat Moeljatno, yang dimaksud dengan ”tindak pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dalam suatu tindak pidana, yang terpenting terdapat hal-hal berupa perbuatan pidana, larangan yang ditujukan kepada perbuatan, serta antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat.
Secara arti kata, korupsi berasal dari bahasa latin corruptio atau corruptus, selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere yang berarti suatu kata latin yang lebih tua. Dari Bahasa latin itulah kemudian menyebar ke dalam bahasa Eropa seperti Inggris corruption, corrupt; dalam bahasa Prancis corruption; dan bahasa Belanda corruptie. Dari bahasa Belanda inilah kemudian, diadopsi menjadi korupsi dalam bahasa Indonesia, yang didefinisikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa korupsi sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dsb) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.[1]
Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenormena yang tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction), dan nepotisme (nepotism).[2] Dalam Black’s Law Dictionary, diartikan bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dengan hak-hak dari pihak lain. Perbuatan dari seorang pejabat atau kepercayan yang melanggar hukum dan secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain.[3]
Berdasarkan pengertian yang diuraikan diatas, menunjukkan bahwa korupsi merupakan bagian dari kejahatan. Jika dianalisis dari beberapa pengertian kata korupsi sendiri, termuat didalamnya suatu usaha untuk menggerakkan orang lain agar supaya melakukan sesuatu dan/atau tidak melakukan sesuatu perbuatan (serta akibat yang berupa sesuatu kejadian). Secara konstitusional, pengertian korupsi dapat ditemukan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor beserta perubahannya) yang menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dilihat dari ketentuan Pasal 2 UU Tipikor, korupsi adalah suatu tindakan pidana yang memperkaya diri sendiri dengan secara langung atau tidak merugikan keuangan dan perekonomian negara. Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian, baik sekarang maupun yang akan datang.[4] Pengembalian dilakukan apabila terjadi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh pejabat yang tujuannya untuk memperkaya diri sendiri atau korporasi dan mengakibatkan kerugian kepada keuangan negara.
Berkaitan dengan penanganan tindak pidana korupsi, terdapat perbedaan kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dilihat dari kewenangan Polri dalam menangani setiap tindak pidana yang diatur dalam Pasal 4 jo. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang pada intinya bahwa Penyelidik maupun Penyidik adalah Pejabat Kepolisian Republik Indonesia. Sehingga dalam hal ini, tindak pidana korupsi juga dapat ditangani oleh Penyidik Polri itu sendiri tanpa melihat nominal besaran terkait korupsi yang dilakukan tersebut.
Berbeda halnya dengan KPK, dalam Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK beserta perubahannya), memberikan kewenangan terhadap KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan kewenangan tersebut, dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK memberikan batasan terhadap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang menyebutkan bahwa:
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi yang:
- melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara; dan/atau
- menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Maka, apabila tindak pidana korupsi tersebut memenuhi syarat yang dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK tersebut, maka KPK dalam hal ini memiliki kewenangan dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat yang dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) UU KPK tersebut, maka KPK wajib menyerahkan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tersebut kepada Penyidik Polri atau Kejaksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (2) UU KPK.
Dalam Pasal 10A Ayat (1) UU KPK, terdapat kewenangan KPK untuk mengambil alih penyidikan dan/atau penuntutan terhadap Pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh Penyidik Polri atau Penyidik Kejaksaan. Namun pengambilalihan tersebut, harus memiliki alasan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10A Ayat (2) UU KPK sebagai berikut:
- Laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;
- proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
- penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;
- penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;
- hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
- keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Apabila KPK mengambilalih suatu perkara yang sedang dilakukan proses penyidikan dan/atau penuntutan ditingkat Polri atau Kejaksaan haruslah sesuai dengan alasan yang diatur dalam Pasal 10A Ayat (2) tersebut. Berbeda halnya apabila laporan tersebut berada di tingkat Kepolisian, dalam menjalankan tugasnya Penyidik Polri mengacu pada Pasal 106 KUHAP yang menjelaskan mengenai Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan. Sehingga untuk mengetahui bahwa adanya tindak lanjut atas laporan mengenai dugaan tindak pidana dapat dilihat dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP).
Dengan demikian, dilihat dari kewenangan dalam menangani suatu perkara tindak pidana korupsi dari tahap penyelidikan dan penyidikan, Polri dan KPK diberikan kewenangan sesuai dengan ketentuan yang mengatur dua Lembaga tersebut. Mengenai batasan nominal kerugian negara, untuk Polri tidak terdapat batasan hal ini disebabkan Penyidik Polri wajib menindaklanjuti suatu laporan atas adanya dugaan tindak pidana. Sementara untuk KPK, penyelidikan dan penyidikan dapat dijalankan apabila tindak pidana korupsi tersebut menyangkut pejabat publik, aparat penegak hukum dan yang berkaitan dengan yang melakukan korupsi tersebut serta kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
[1] Dwi Supriyadi, Ensikopledia Anti Korupsi, Borobudur Inspira Nusantara, Surakarta, 2017.
[2] Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta, 1983.
[3] Amin Sunaryadi, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014.
[4] Jawade Hafidz Arsyad, Korupsi dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika, Jakarta, 2017.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanWawancara dengan Pengacaranya Para Crazy Rich Surabaya Dr. Sudiman...
Penjaminan Sertifikat Hak Atas Tanah tanpa Pembebanan Hak...

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.