Kawin Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Indonesia

Perkawinan merupakan sesuatu hal yang sakral dalam kehidupan manusia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah mengalami perubahan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir  bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuka keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Kemudian berkaitan dengan pembahasan artikel kali ini, seiring dengan perkembangan zaman atau modernisasi, ikatan perkawinan bukan hanya digunakan sebagai sarana bagi seorang wanita dan pria untuk menjalin hubungan yang bahagia serta untuk melanjutkan keturunannya, namun juga digunakan sebagai salah satu alasan dalam sarana bisnis seperti kawin kontrak. Bukan hanya alasan bisnis, kawin kontrak juga dapat disebabkan karena alasan biologis maupun sosiologis dan alasan-alasan lain yang memicu terjadinya suatu hubungan perkawinan sementara.

Berbeda dengan perkawinan pada umumnya, kawin kontrak merupakan perkawinan yang dilakukan untuk sementara waktu sesuai dengan kontrak atau kesepakatan masing-masing pihak. Kawin kontrak pada dasarnya merupakan suatu hal yang bertentang dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Hingga saat ini, tidak ada aturan yang mengatur secara eksplisit mengenai larangan kawin kontrak, namun sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa sah atau tidaknya suatu perkawinan juga bergantung pada kepercayaan dan agamanya, maka kawin kontrak adalah suatu hal yang dilarang oleh agama, terlebih lagi dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam kawin kontrak dikenal dengan istilah nikah mut’ah yaitu perkawinan yang dilakukan dengan menetapkan batasan waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara calon suami dan calon istri, apabila habis masa (waktu) yang ditentukan, maka keduanya dapat memperpanjang atau mengakhiri pernikahan tersebut sesuai kesepakatan semula.[1] Di Indonesia nikah mut’ah dilarang karena beberapa alasan yaitu dengan tujuan pembatasan agar warga negara mempunyai pedoman hidup yang teratur dan tidak merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. Dampak negatif dari adanya kawin kontrak yaitu:

  1. Ketidakjelasan hubungan dalam harta waris sehingga membawa dampak negatif terhadap keturunannya;
  2. Pernikahan dianggap zina karena bertentangan dengan tujuan luhur perkawinan;
  3. Pencampuran garis keturunan menyebabkan ketidakjelasan.

Berdasarkan dampak negatif tersebut, tidak dibenarkan dilakukannya kawin kontrak. Menurut Yuli Purnomosidi, S.H, M.H apabila suatu perkawinan didasarkan atas suatu perjanjian mengenai jangka waktu dari perkawinan tersebut atau yang biasa disebut dengan istilah kawin kontrak itu secara legalistik formal tidak diperbolehkan dan memang tidak dapat dibenarkan, karena berpacu kepada fakta bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga harus berpegangan pada formalitas.[2] Oleh karena itu, sepanjang kawin kontrak tidak diatur dalam undang-undang, dalam hal ini adalah UU Perkawinan, Peraturan Menteri dan peraturan lainnya maka dapat dikatakan tidak terjadi perkawinan atau kawin kontrak yang dilakukan oleh kedua orang tersebut tidak sah.[3]

Contoh kasus kawin kontrak yaitu yang terjadi pada seorang wanita berusia 29 tahun di Jepara yang melakukan kawin kontrak dengan pria berkebangsaan Belanda yang merupakan karyawan di PLTU Jepara. Singkat cerita kedua belah pihak menyetujui untuk melakukan perkawinan tersebut sampai si Pria selesai bekerja di PLTU Jepara. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dengan perjanjian si Pria selama dalam perkawinan akan memberi uang kepada wanita tersebut sebesar Rp.3.000.000 (tiga juta rupiah) dan untuk orang tua si wanita sebesar Rp.1.000.000 (satu juta rupiah) per bulan.[4] Pada dasarnya praktek perkawinan yang demikian tidak diperbolehkan atau dilarang karena dianggap tidak sah, namun atas kejadian tersebut tidak ditemukan sanksi yang dapat menjerat para pihak yang melakukan kawin kontrak.

[1] https://www.pa-cianjur.go.id/artikel/882-tinjauan-yuridis-kawin-kontrak-dan-akibat-hukumnya.html

[2] Muhyidin dan Navanya Gabriel Cuaca, Nikah Muth’ah (Kawin Kontrak) Dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia Serta Akibat Hukum Atas Harta Perkawinan dan Harta Waris, Diponegoro Private Law Review, Vol. 7, No. 1, Semarang: Universitas Diponegoro, hal. 738.

[3] Ibid.

[4] Ibid, hal. 737.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.