Kades Kampanyekan Istri dan Dihukum 3 Bulan Penjara, Bagaimana Aturan Kampanye bagi Pejabat Pemerintah?

Kades Kampanyekan Istri dan Dihukum 3 Bulan Penjara

Mawardi, Kepala Desa Langko di Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, divonis tiga bulan penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mataram. Mawardi dinyatakan bersalah melakukan Tindak Pidana Pemilu (Tipilu) pada tahun 2024 dengan mengkampanyekan istrinya yang merupakan calon legislatif (Caleg). Selain hukuman penjara selama tiga bulan, terdakwa juga dikenakan hukuman denda sebesar satu juta rupiah yang apabila tidak dibayar akan dikenakan tambahan hukuman penjara selama satu bulan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) awalnya menuntut hukuman lima bulan penjara bagi Mawardi yang berkampanye untuk istrinya, calon DPRD Lombok Barat. Dalam dakwaan JPU secara jelas dan meyakinkan membuktikan kesalahan terdakwa melakukan pelanggaran pemilu.[1]

Perbuatan tersebut berkaitan dengan unggahan gambar Suster Namiratul Fajriah yang merupakan calon legislatif nomor urut 2 dari PKB Dapil 5 Narmada Lingsar di Kabupaten Lombok Barat. Gambar tersebut disertai pesan himbauan dukungan kepada para calon dari Desa Langko agar berkontribusi terhadap kemajuan masyarakat setempat. Dalam persidangan, JPU menjelaskan secara rinci perbuatan terdakwa, dengan menyatakan bahwa pada tanggal 5 Desember 2023, terdakwa membagikan foto istrinya, Namiratul Fajriah, beserta konten tertulis di grup WhatsApp bernama “Diskusi Lintas Generasi”, yang beranggotakan 112 orang. Selama masa kampanye mulai tanggal 28 November 2023 sampai dengan 10 Februari 2024.[2]

Larangan Kampanye Dalam PKPU

Kegiatan pada masa kampanye merupakan tahapan krusial karena terdapat kepentingan. Dari kacamata para pihak yang berkepentingan kampanye ingin menampilkan satu hal yaitu apa dan bagaimana para peserta pemilu menawarkan program atau pandangan dalam melihat berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, dan budaya di daerah pemilihannya. Para pemilih juga merasa punya hak mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang tawaran yang ingin disampaikan, dan peserta pemilu juga berkewajiban menjual program serta gagasan yang dimilikinya.

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2023 Tentang Kampanye Pemilihan Umum (PKPU 15/2023) memberikan larangan-larangan pada proses kampanye berlangsung, larangan diberlakukan pula dalam kegiatan kampanye yang mengikutsertakan:

  1. Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
  2. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  3. Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
  4. Direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
  5. Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
  6. Aparatur Sipil Negara;
  7. Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  8. Kepala desa;
  9. Perangkat desa;
  10. Anggota badan permusyawaratan desa; dan
  11. Warga negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.[3]

Selanjutnya untuk pejabat negara, pejabat daerah, aparatur sipil negara pejabat struktural dan pejabat fungsional, serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan dimaksud meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.[4]

Pasal 490 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menyebutkan bahwa “Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,”.

Sebagaimana diketahui keharusan pejabat negara hingga kepala desa menjaga netralitas dalam pemilu diatur dalam Pasal 282 UU Pemilu yang menyebutkan, “Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu selama masa Kampanye”.

Sehingga benar dalam surat dakwaannya Jaksa Penuntut Umum menyatakan Mawardi yang notabene pejabat pemerintahan yang tidak menjaga netralitasnya. Karenanya, penuntut umum menjerat Mawardi dengan Pasal 490 UU Pemilu.

 

Pada dasarnya kepala desa merupakan pejabat juga, sehingga kades kampanyekan istrinya yang sedang menjadi calon legislatif tentunya telah melanggar netralitas pejabat. Oleh karenanya, para pejabat, siapapun itu, seharusnya tetap menjaga netralitas dalam pemilu.

 

Penulis: Hasna M. Asshofri

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H.,CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] https://www.instagram.com/p/C29QoecSbRj/?igsh=cWd2M3Y5YXhodDRw

[2]https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240205152029-617-1058865/terbukti-kampanyekan-istri-di-pileg-kades-di-ntb-divonis-3-bulan-bui

[3] Pasal 72 ayat (4) PKPU Nomor 15 Tahun 2023

[4] Pasal 74 PKPU Nomor 15 Tahun 2023

 

Baca juga:

Kampanye di Kantor Pemerintah Sebagai Pelanggaran Ketentuan Pemilu

Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri; Kades kampanyekan istri;

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.