Jual Beli Hewan Langka

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki kekayaan satwa liar tertinggi di dunia, akan tetapi Indonesia juga memiliki daftar terpanjang tentang satwa liar yang terancam punah.[1] Satwa liar yang terancam punah sering disebut juga dengan satwa langka, hewan lindung, atau hewan langka. Hewan langka menjadi sulit ditemui dihabitat aslinya karena populasinya yang semakin kecil dan hampir punah. Melihat fenomena tersebut, pemerintah Indonesia menerbitkan peraturan perundang-undangan untuk melindungi dan mencegah hewan langka dari kepunahan. Salah satu peraturan perundang-undangan yang menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk melestarikan satwa-satwa tersebut yaitu diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU 5/1990). Pasal 1 angka 1 UU 5/1990 menyatakan bahwa sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Sedangkan konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UU 5/1990. Pasal 20 UU 5/1990 membedakan hewan dan tumbuhan menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:

  1. Tumbuhan dan satwa digolongkan dalam jenis:
    1. tumbuhan dan satwa yang dilindungi;
    2. tumbuhan dan satwa yang tidak dilindungi.
  2. Jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan dalam:
    1. tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan;
    2. tumbuhan dan satwa yang populasinya jarang.

Ketentuan lebih lanjut mengenai hewan yang digolongkan sebagai hewan langka diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (selanjutnya disebut Permenlhk 20/2018).

Sesuai dengan pembahasan dalam artikel ini yaitu mengenai jual beli hewan langka pada dasarnya secara implisit tidak diperkenankan dalam Pasal 21 ayat (2) UU 5/1990 yang menyatakan sebagai berikut:

Setiap orang dilarang untuk:

    1. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup;
    2. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
    3. Mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
    4. Memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
    5. Mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi.”

Dalam Pasal 40 ayat (2) dan (4) juga dinyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 21 ayat (2) dapat dikenakan ancaman pidana sebagai berikut:

Pasal 40 ayat (2)

Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

            Pasal 40 ayat (4)

Barang siapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Namun, hal tersebut hanya berlaku terhadap hewan lindung yang berasal dari habitatnya, sedangkan terhadap anak hewan lindung yang berasal dari penangkaran dapat diperdagangkan berdasarkan ketentuan perizinan yang berlaku. Masyarakat umum dapat memelihara atau membeli hewan langka dengan cara membuat surat izin memelihara hewan langka dengan cara sebagai berikut:[2]

  1. Mengajukan proposal izin menangkaran atau memelihara hewan yang diajukan ke Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA);
  2. Salinan Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk individu atau perseorangan serta akta notaris untuk badan usaha.
  3. Surat Bebas Gangguan Usaha dari kecamatan setempat. Surat ini berisi keterangan bahwa aktifitas penangkaran dan pemeliharaan hewan tidak mengganggu lingkungan sekitar.
  4. Bukti tertulis asal usul indukan.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar (selanjutnya disebut Permenhut 19/2005) menyatakan bahwa penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

Pemanfaatan hasil perkembangbiakan diatur dalam ketentuan Pasal 17 sampai dengan Pasal 21 Permenhut 19/2005. Istilah-istilah keturunan dalam pengembangbiakan hewan langka diatur dalam Pasal 17 Permenhut 19/2005 yang menyatakan sebagai berikut:

  1. Pengembangbiakan satwa menghasilkan keturunan-keturunan (generasi) hasil pengembangbiakan yaitu generasi pertama (F1) dan generasi-generasi seterusnya.
  2. Spesimen generasi pertama (F1) merupakan anakan yang dihasilkan di dalam lingkungan terkontrol dari induk yang salah satu atau keduanya merupakan hasil tangkapan dari alam (W);
  3. Spesimen generasi kedua (F2) merupakan anakan yang dihasilkan di dalam lingkungan yang terkontrol dari induk yang keduanya merupakan generasi pertama (F1), atau generasi pertama (F1) dengan bukan hasil tangkapan dari alam (W);
  4. Spesimen generasi ketiga (F3) merupakan anakan yang dihasilkan di dalam lingkungan yang terkontrol dari induk yang keduanya merupakan generasi kedua (F2) atau generasi kedua (F2) dengan bukan generasi pertama (F1) atau dengan bukan hasil tangkapan dari alam (W);
  5. Induk dari generasi kedua (F2) atau generasi berikutnya yang dikembangbiakkan dengan induk lain dari hasil tangkapan dari alam (W) akan kembali menghasilkan generasi pertama (F1).

Terhadap pengembangbiakan generasi pertama (F1) jenis-jenis hewan yang dilindungi dan/atau termasuk dalam Appendiks 1 CITES tidak dapat diperjualbelikan dan/atau diekspor sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) Permenhut 19/2005. Pada dasarnya dalam Permenhut 19/2005 tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan Appendiks 1 CITES, namun berdasarkan penulusuran yang kami lakukan Appendiks 1 CITES (Convertion On International Trade In Endangered Spesies Of Wild Fauna and Flora) merupakan daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang diperdagangkan secara Internasional.  Pengecualian dari ketentuan Pasal 18 ayat (1) hanya dapat dilakukan bagi spesimen generasi pertama (F1) dari jenis-jenis tertentu yang dilindungi dan tidak termasuk dalam Appendiks I CITES, yang karena sifat biologisnya dan kondisi populasinya memungkinkan, dapat dimanfaatkan untuk diperdagangkan setelah terlebih dahulu dinyatakan sebagai satwa buru oleh Menteri atas dasar rekomendasi dari Otoritas Keilmuan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat (2) Permenhut 19/2005. Sifat biologis dan kondisi populasi yang memungkinkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2) yaitu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Permenhut 19/2005, diantaranya:

  1. Kemampuan reproduksi atau fekunditas yang tinggi, yaitu dalam sekali memijah, bertelur atau beranak, mampu menghasilkan anakan yang banyak yang mampu bertahan hidup sampai ukuran komersial dalam persentasi yang cukup tinggi;
  2. Umur dewasa kelamin cukup panjang sehingga tidak ekonomis untuk menunggu sampai generasi keduanya dapat menghasilkan keturunan.

Kemudian selain generasi pertama (F1) yang tidak termasuk dalam Appendiks 1 CITES, spesimen hewan langka yang dapat diperjualbelikan yaitu spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar generasi kedua (F2) dan generasi berikutnya dari jenis yang dilindungi dapat dimanfaatkan untuk keperluan perdagangan dengan izin sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) Permenhut 19/2005.

 

[1] Yesika Liuw, Perlindungan Hukum Terhadap Hewan Lindung Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, Jurnal Lex Crimen, Vo. IV, No. 3, Manado : Universitas Sam Ratulangi, Mei 2015, hal. 24

[2] https://www.indonesia.go.id/layanan/kependudukan/sosial/izin-memelihara-hewan-langka

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.