Jangka Waktu Fiktif Positif dan Fiktif Negatif dalam Peradilan Tata Usaha Negara

Berbicara mengenai fiktif positif dan fiktif negatif dalam Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) maka erat kaitannya dengan Keputusan Tata Usaha Negara sebagai objek dalam PERATUN. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mengalami 2 (dua) kali perubahan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN) menyatakan bahwa KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Definisi mengenai KTUN juga diuraikan dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah mengalami perubahan dalam Pasal 175 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU AP) menyatakan bahwa KTUN adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Istilah fiktif negatif dan fiktif positif pada dasarnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Fiktif positif dapat diartikan sebagai sikap diam pemerintah yang berarti mengabulkan permohonan KTUN, sedangkan fiktif negatif yaitu sikap diam pemerintah yang berarti menolak mengeluarkan KTUN.[1] Kedua istilah tersebut merupakan fiksi hukum yang digunakan untuk mempermudah konstruksi hukum dalam Pasal 3 UU PTUN dan Pasal 53 UU AP yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 3 UU PTUN

    1. Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
    2. Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
    3. Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Pasal 53 UU AP

    1. Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/ atau Pejabat Pemerintahan.
    3. Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
    4. Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.
    5. Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Fiktif negatif tercermin dalam Pasal 3 UU PTUN, sedangkan fiktif positif tercermin dalam Pasal 53 UU AP. Namun, saat ini dengan diterbitkannya UU AP yang didalamnya mengatur mengenai hal yang sama tentang permohonan (fiktif), maka menyikapi keberlakuan dua peraturan perundang-undangan tersebut yaitu dengan diberlakukannya asas lex posterior derogat legi priori, dimana Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan yang menganut konsep fiktif positif harus mengesampingkan ketentuan dalam Pasal 3 UU PTUN yang menganut konsep fiktif negatif.[2]  Hal tersebut juga dipertegas dalam Rumusan Hukum Kamar Tata Usaha Negara Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menyatakan bahwa salah satu objek gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu KTUN dan/atau tindakan fiktif positif. Selanjutnya, fiktif positif timbul manakala Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak memberikan penetapan paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diajukan. Adapun fiktif positif tersebut harus dimohonkan penetapan pada PTUN. Pada dasarnya tidak ada batasan waktu permohonan penetapan, namun permohonan penetapan tersebut harus diajukan setelah 5 (lima) hari kerja tersebut terlewati.

[1] Azza Azka Norra, Pertentangan Norma Fiktif Negatif dan Fiktif Positif Serta Konstektualisasinya Menurut Undang-Undang Administrasinya Pemerintahan, Jurnal Hukum Peratun, Vol. 3, No. 2, Jakarta : Ditjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, 2 Agustus 2020, hal. 145

[2] Ibid, hal. 148

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.