Jaminan Perorangan

Jaminan perorangan adalah jaminan yang diberikan oleh pihak ketiga berupa kesanggupan untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada kreditor. Jaminan perorangan dikenal dengan istilah borgtocht. Dasar hukum mengenai jaminan perorangan yaitu termuat dalam ketentuan Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer). Dalam KUHPer jaminan perorangan dikenal dengan istilah penanggungan dalam Pasal 1820 KUHPer yang menyatakan:

“Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya”

Tujuan dalam jaminan perorangan sama halnya dengan jaminan pada umumnya yaitu memberikan jaminan kepada kreditor untuk dipenuhinya suatu prestasi atau utang oleh debitor yang melibatkan pihak ketiga sebagai penanggung (personal guarantor). Syarat untuk dapat menjadi seorang penanggung (personal guarantor) yaitu harus cakap hukum untuk mengikatkan diri dalam perjanjian maupun memenuhi perjanjian sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1827 KUHPer. Jaminan perorangan tidak dapat dilakukan tanpa adanya perjanjian yang sah menurut undang-undang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1821 KUHPer, sehingga adanya jaminan perorangan harus didasari adanya perjanjian pokok antara debitor dan kreditor.

Pasal 1836 KUHPer menyatakan bahwa jika orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung (personal guarantor) untuk seorang debitor, maka penanggung (personal guarantor) terikat untuk seluruh utang itu. Berdasarkan hal tersebut, maka penanggung (personal guarantor) juga bertanggung jawab atas utang debitor, sehingga apabila debitor lalai dalam pelunasan utang (wanprestasi), maka penanggung (personal guarantor) wajib membayarkan utang debitor terhadap kreditor sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1831 KUHPer yang menyatakan :

“Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1831 KUHPer, maka apabila debitor lalai membayar utangnya, maka barang milik debitor harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya sebelum meminta pertanggungjawaban dari penanggung (personal guarantor). Untuk menyita dan menjual barang milik debitor dapat dilakukan atas permohonan penanggung (personal guarantor) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1833 KUHPer. Namun, dalam hal ini juga dapat dimungkinkan penanggung (personal guarantor) juga lalai dalam memenuhi prestasinya membayarkan utang debitor. Apabila terjadi demikian, maka kreditor berhak mengajukan gugatan ke debitor dan penjamin disertai dengan permohonan sita terhadap barang jaminan debitor. Namun, terdapat beberapa hal yang menjadikan penanggung (personal guarantor) tidak dapat menuntut supaya barang milik debitor lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utang. Hal tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 1832 KUHPer yang diantaranya yaitu :

 

    1. bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual; 
    2. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung menanggung, dalam hal itu, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung; 
    3. jika debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi; 
    4. jika debitur berada dalam keadaan pailit;
    5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim.

 

 

Apabila terjadi demikian, maka penanggung (personal guarantor) bertanggung jawab untuk melunasi utang debitor, sebagai gantinya penanggung (personal guarantor) dapat menuntut debitor untuk membayar utang tersebut kepada dirinya menggantikan posisi kreditor sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1840 KUHPer. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1839 KUHPer, penanggung (personal guarantor) berhak menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga bila alasan untuk itu memang ada. Hal-hal tersebut seharusnya tercantum dalam perjanjian penjaminan, serta dalam perjanjian juga disarankan memuat mengenai klausa apabila utang debitor telah terlunasi, maka harus memberitahu atau menghubungi penanggung (personal guarantor) agar penanggung (personal guarantor) mengetahui bahwa sudah tidak ada lagi ikatan penjaminan dirinya dengan debitor dan kreditor.

Penanggung (personal guarantor) dapat dikenakan konsekuensi hukum lebih dari sekedar gugatan apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya, yaitu dapat dinyatakan pailit berdasarkan ketentuan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) juncto Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPer. Pasal 24 UU Kepailitan menyatakan bahwa dengan adanya pernyataan pailit, maka debitor pailit kehilangan hak untuk menguasai kekayaannya yang dimasukkan dalam bagian harta pailit. Apabila debitor dinyatakan pailit dimana hutang tersebut dijamin oleh jaminan perorangan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata yaitu segala harta kekayaan penanggung baik yang berupa benda bergerak maupun benda benda tidak bergerak baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi jaminan atau agunan bagi perikatan yang dibuat dengan kreditor sehingga harta penanggung juga masuk dalam harta pailit sebab jika tidak maka perjanjian yang dibuat antara kreditor dan penjamin itu tidak ada artinya sama sekali.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.