Hutang Negara Kepada Jusuf Hamka

Hutang negara kepada Jusuf Hamka menjadi berita yang cukup menyita perhatian masyarakat belakangan ini. Jusuf Hamka yang merupakan pemilik perusahaan jalan tol PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. (CMNP), diberitakan menagih hutang ratusan miliar kepada pemerintah. Asal muasal hutang tersebut disebutkan dari kesepakatan CMNP dengan pemerintah atas deposito dan giro yang ditempatkan perusahaan di Bank Yama yang telah dilikuidasi pada krisis moneter 1998. Karena hutang tersebut belum juga dibayarkan hingga belasan tahun lamanya, akhirnya pada tahun 2012 Jusuf Hamka melayangkan gugatan ke pengadilan agar mendapatkan ganti atas deposito yang belum dibayarkan itu.[1]
Atas gugatannya itu pihak CMNP menang dan pengadilan mewajibkan pemerintah mengembalikan hutang pokok beserta bunganya kepada CMNP, sebab pada putusan MA tertanggal 15 Januari 2010 juga telah tertulis dalam surat perjanjian antara CMNP dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berjudul Amandemen Berita Acara Kesepakatan Jumlah Pembayaran Pelaksanaan Putusan Hukum, tergugat diwajibkan membayar denda 2% (dua persen) setiap bulan dari seluruh dana terhitung sejak Bank Yama dibekukan.[2]
Meski demikian, sampai 2015 belum adanya pembayaran dari pemerintah terhadap perusahaan, dan Jusuf Hamka menyebut hutang tersebut telah membengkak beserta bunganya menjadi Rp 400 miliar. Dari situ terjadilah negosiasi antara Jusuf Hamka dengan Kemenkeu dan mencapai kesepakatan, bahwa hutang dan denda yang wajib dibayarkan pemerintah senilai Rp 179,5 miliar dan akan dibayarkan pada 2016 dan 2017.[3]
Nyatanya hingga saat ini, meskipun Jusuf Hamka telah menempuh masalah ini melalui berbagai pihak, piutang CMNP belum juga dibayarkan. Di sisi lain, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan, bahwa ada hubungan afiliasi antara Bank Yama dengan CMNP, sehingga ketentuan penjaminan atas deposito CMNP tidak mendapatkan penjaminan pemerintah. Namun menurutnya, gugatan dari CMNP dikabulkan sebab negara punya kewajiban kontraktual kepada perusahaan itu dan negara bertanggung jawab atas gagalnya Bank Yama mengembalikan deposito perusahaan milik Jusuf Hamka, dengan demikian negara dihukum membayar dari APBN untuk mengembalikan deposito CMNP yang disimpan di bank yang juga dimiliki pemilik CMNP.[4]
Hutang piutang pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dalam Pasal 1754 yang menyebutkan bahwa:
“Pinjam pakai habis adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama menyerahkan sejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”
Aturan tersebut mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan atau pribadi yang dianggap sah secara hukum. Dalam perjanjian yang bertimbal balik seperti perjanjian utang piutang, timbul hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, yaitu antara pihak kreditur dan debitur. Berdasarkan dasar hukum di atas, dapat diketahui bahwa hak kreditur adalah berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi sebagai pihak yang memiliki piutang kepada pihak debitur. Dengan demikian kewajiban debitur adalah melunasi hutangnya dalam jumlah yang sama disertai dengan pembayaran bunga yang telah diperjanjikan, dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1763 KUHPerdata.
Dalam hal ini, negara melalui pemerintah atau administrasi negara dapat melakukan perikatan perdata[5]. Umumnya, tidak jarang pembayaran dilakukan dengan penyitaan asset debitur, namun apabila negara melakukan pembayaran utang melalui penyitaan aset negara, maka hal tersebut tidak dapat dilakukan, sebab dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU 17/2003) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004) terdapat ketentuan bagi negara atau pemerintah untuk melakukan pembayaran terhadap tagihan pihak ketiga, meskipun tata cara kewajiban membayar tidak diatur dalam kedua undang-undang tersebut.
Berdasarkan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa negara diwajibkan membayar deposito perusahaan milik Jusuf Hamka melalui APBN. Diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 yang menyatakan bahwa:
“APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Atas hal tersebut di dalam APBN dicantumkan bahwa pembangunan nasional membutuhkan dana yang besar, dan sumber penerimaan untuk mendanai pengeluaran APBN berasal dari Pendapatan Negara dan Penerimaan Pembiayaan. Pendapatan Negara berasal dari Perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Hibah. Sementara Penerimaan Pembiayaan antara lain berasal dari penerimaan utang. Dengan demikian manajemen keuangan pemerintah akan tercermin dalam manajemen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Penulis: Adelya Hiqmatul M., S.H.
Editor: Mirna R., S.H., M.H., & R. Putri J., S.H., M.H.
[1] Zefanya Aprilia. Kronologi Jusuf Hamka Tagih Utang Rp 179 Miliar ke Negara. https://www.cnbcindonesia.com/market/20230608124900-17-444188/kronologi-jusuf-hamka-tagih-utang-rp-179-miliar-ke-negara
[2] Moh. Fajri. Jusuf Hamka Tagih Utang Pemerintah: 25 Tahun Tak Dibayar, Minta Bantuan Mahfud. https://kumparan.com/kumparanbisnis/jusuf-hamka-tagih-utang-pemerintah-25-tahun-tak-dibayar-minta-bantuan-mahfud-20Z7SM4SXgZ/full.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Edisi Revisi. Jakarta: Rajawali Press, 2011. hlm.114.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaan
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.