Hukuman Penjara Sebagai Efek Jera Tindak Pidana

Hukuman penjara atau yang dikenal dengan Pidana Penjara, diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebutkan bahwa pidana penjara sebagai salah satu pidana pokok. Dalam Pasal 12 Ayat (1) KUHP disebutkan bahwa pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu. Berkaitan dengan bunyi Pasal 12 ayat (1) KUHP dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pidana penjara seumur hidup adalah penjara selama terpidana masih hidup hingga terpidana meninggal dunia.

Untuk jenis atau variasi pidana penjara yang kedua dapat dilihat pada Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut. Lebih lanjut pengaturan mengenai pidana penjara selama waktu tertentu dapat dilihat dalam Pasal 12 ayat (3) dan ayat (4) KUHP yang menyatakan bahwa:

  • Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya Hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (recidivie) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a;
  • Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

Terdapat pendapat yang disampaikan oleh Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa pidana penjara adalah pidana utama diantara pidana kehilangan kemerdekaan. Pidana penjara boleh dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk sementara waktu tertentu.[1] Artinya, pidana penjara terdapat 2 (dua) jenis yang dibedakan menurut waktu didalam KUHP. Merujuk ketentuan dalam Pasal 12 ayat (4) KUHP tersebut, batas dua puluh tahun harus dipandang sebagai batas absolut, argumen ini muncul dari MvT (Memorie van Toelichting) yang merupakan penjelasan dari Pasal 10 ayat (4) WvS (Wetboek van Strafrecht) Belanda bahwa orangorang berapapun umurnya yang menjalani pidana penjara dua puluh tahun tanpa terputus-putus kemungkinan besar akan kehilangan kemampuan dan kesiapan untuk kembali menjalani kehidupan yang bebas.

Oleh sebab itu ditetapkan bahwa dengan alasan apapun juga tidak diperkenankan menjatuhkan pidana penjara lebih dari apa yang ditetapkan ketentuan Pasal 10 ayat (4) (KUHP Indonesia Pasal 12 ayat (4)). Ketentuan lebih lanjut dalam Pasal 12 ayat (1) KUHP dikenal pidana penjara dengan sistem minimum umum (paling singkat satu hari) dan maksimum umum (paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut). Sedangkan ketentuan pada Pasal 12 KUHP Ayat (3) dan Ayat (4), mengenal pidana penjara dengan sistem maksimum khusus (boleh dijatuhkan untuk 20 (dua puluh) tahun berturut-turut).

Berkaitan dengan pidana penjara terdapat pendapat yang dikemukakan oleh P.A.F Lamintang yang mengemukakan bahwa

Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dan seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan. Dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.[2]

Pada prinsipnya, pidana penjara hanya dapat dilaksanakan dengan didahului adanya putusan hakim dalam bentuk hukuman pidana berupa kehilangan kemerdekaan terhadap seorang terpidana untuk mendapatkan pembinaan di suatu lembaga pemasyarakatan. Dahulu kala, penjara dipercayai dapat mencapai 4 (empat) tujuan pemidanaan yakni pembalasan atau retribusi, rehabilitasi, perlindungan masyarakat dan jera terhadap tindakannya. Tujuan dari pidana penjara ini yang kemudian dapat dikaitkan dengan kondisi saat ini, yang mana tujuan penjara tidak lagi sebagai bentuk pembenahan kehidupan.

Pertama, tujuan pembalasan tidak sepenuhnya terwujud karena pelaku tidak “bertanggung jawab” membayar kerugian sosial. Pemenjaraan membuat pelaku tidak memulihkan kerugian atau membayar kompensasi kepada korban. Ironisnya, korban dan publik membayar biaya untuk penjara tersebut melalui pajak. Kedua, penjara kerap kali gagal melakukan rehabilitasi pelaku kejahatan dan mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat. Seringkali juga terdapat perbuatan pidana baru yang dilakukan oleh orang yang sama setelah dibebaskan (residivis). Ketiga, tujuan pemidanaan yang terwujud dari penjara ialah sekedar perlindungan masyarakat. Pengekangan seseorang yang berbahaya dapat melindungi dan menciptakan rasa aman masyarakat. Namun, penjara hanya bermanfaat untuk crime of passion seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau penganiayaan. Sedangkan manfaat penjara pada kejahatan ekonomi masih belum terbukti.

Dilihat dari data yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik mengenai jumlah kejahatan pada tahun 2019 sebanyak 269.324 dan di tahun 2020 sebanyak 247.218. Data ini menunjukkan adanya penurunan jumlah kejahatan dari tahun 2019 hingga 2020. Jumlah kejahatan yang diselesaikan pada tahun 2019 sebanyak 183.605 sementara pada tahun 2020 sebanyak 176.726 kejahatan. Dilihat dari jumlah kejahatan yang diselesaikan, adanya penurunan penyelesaian kejahatan di tingkat nasional. Sehingga, dilihat dari persentase penyelesaian kejahatan pada tahun 2019 sebesar 68,17% sementara pada tahun 2020 sebesar 71,00%.[3]

Berdasarkan data yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik (BPS), diketahui adanya penurunan jumlah kejahatan dalam tingkat nasional. Hal tersebut merupakan suatu kemajuan bagi penegakan hukum untuk menyelesaikan permasalahan seputar kejahatan. Meskipun adanya penurunan tingkat kejahatan, angka-angka tersebut masih menunjukkan adanya kejahatan di Indonesia. Pasalnya, BPS juga mencatat beberapa jenis kejahatan yang terbilang masih tinggi sekitaran tahun 2019-2020 yakni kejahatan terkait penipuan/perbuatan curang sebanyak 3.303 kejadian, kejahatan berkaitan dengan penggelapan sebanyak 2.545 kejadian, kejahatan terhadap ketertiban umum sebanyak 827 kejadian., dan kejahatan berkaitan dengan korupsi sebanyak 47 kejadian.[4]

Artinya, data-data tersebut menunjukkan bahwa tingkat kejahatan disekitar kita masih sering terjadi. BPS mencatat bahwa 94,32% korban kejahatan berusia dewasa dan 6,58% korban kejahatan berusia anak.[5] Sehingga berdasarkan hal tersebut, angka kejahatan masih terbilang relatif tinggi. Sehingga dalam hal ini, penegakan hukum haruslah menyesuaikan terhadap perkembangan saat ini. Fakta menunjukkan bahwa hukuman penjara juga tidak pernah memberikan efek jera dan justru menjadi tempat yang tidak dikhawatirkan terlebih bagi para residivis maupun pihak yang memiliki uang. Hal tersebut dikarenakan, masih banyak lembaga pemasyarakatan yang berbuat curang dan memberikan keistimewaan bagi narapidana. Sebagai contoh adalah adanya kamar-kamar istimewa di Lapas Sukamiskin bagi para koruptor.[6]

Mengacu pada sistem pidana penjara yang terdapat di Negara Denmark, secara khusus diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Denmark (Denmark Penal Code / Danske Lov.). Jenis-jenis sanksi dalam KUHP Denmark tersebut berupa : imprisonment (pidana penjara); simple detention (penahanan/kurungan sederhana); fines (denda); suspended sentence (pidana ditunda); safe custody (penahanan untuk mengamankan); confiscation (perampasan); dan deprivation of certain rights (pencabutan hak-hak tertentu).[7]

Terdapat hal yang menarik dalam ketentuan pidana penjara yang ada di Denmark yakni pidana ditunda (suspended sentence) yang mempunyai dua bentuk kombinasi atau penggabungan pidana antara penetapan/ penjatuhan pidana yang ditunda dan pelaksanaan dari pidana yang dijatuhkan itu yang ditunda. Bentuk penggabungan jenis pidana penjara (imprisonment) dan pidana bersyarat (suspended sentenece) juga diatur dalam Article 58 Penal Code Denmark, penggabungan yang dimaksud dapat diartikan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana penjara (imprisonment) dan jika diperlukan pada saat yang sama dengan mengingat adanya informasi pada keadaan diri terdakwa juga diberikan pidana dengan masa percobaan, hakim dapat memutuskan sebagian dari pidana itu dengan maksimum 6 (enam) bulan harus dijalankan, dan sisanya ditunda (the rest suspended).[8]

Masih banyak beberapa negara lain yang memiliki konsep pidana penjaranya masing-masing. Namun, meskipun memiliki konsep pemidanaan yang berbeda-beda perlu pula didukung dengan sistem hukum dan integritas dari penegak hukum itu sendiri.  Dengan demikian, berdasarkan problematika pidana penjara yang telah diuraikan, untuk dapat dikatakan efektif dalam mengatasi perilaku kejahatan, apabila dalam penegakan hukum dan pembuat kebijakan (peraturan) bersama-sama sejalan dan tidak dinodai dengan kepentingan politik serta fokus untuk mengatasi permasalahan pidana penjara tersebut.

[1] Roeslan Salih, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1987, hlm. 62

[2] P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984, hlm 69.

[3] Badan Pusat Statistik, Statistik Kriminal 2021.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6] Ilham Rian Pratama, Setya Novanto Ribut dengan Nurhadi Masalah Kamar Sel Mewah di Lapas Sukamiskin, https://www.tribunnews.com/nasional/2022/03/02/setya-novanto-ribut-dengan-nurhadi-masalah-kamar-sel-mewah-di-lapas-sukamiskin?page=2

[7] Abdul Kholiq, Barda Nawawi Arief & Eko Soponyono, Pidana Penjara Terbatas : Sebuah Gagasan Dan Reorientasi Terhadap Kebijakan Formulasi Jenis Sanksi Hukum Pidana Di Indonesia, Jurnal Law Reform Program Studi Magister Ilmu HukumVolume 11, Nomor 1, Tahun 2015

[8] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.