Ketentuan-ketentuan Mengenai Hukuman Mati di Indonesia

Hukum atau disebut juga dengan pidana mati merupakan salah satu hukuman pokok yang dijatuhkan oleh hakim kepada terpidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 KUHP dan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (selanjutnya disebut Perkap 12/2010). Hukuman mati diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan pidana berat. Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) kurang lebih terdapat 13 (tiga belas) undang-undang di Indonesia yang dapat digunakan sebagai dasar putusan pidana mati, namun dalam prakteknya hanya 4 (empat) undang-undang yang sering diterapkan yaitu terhadap tindak pembunuhan berencana, narkotika, terorisme dan kekerasan seksual terhadap anak yang menyebabkan kematian.[1] Undang-undang tersebut diantaranya yaitu :

  1. Makar pembunuhan terhadap Presiden dan Wakil Presiden diatur dalam ketentuan Pasal 104 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) yang menyatakan :

“Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

  1. Perbuatan permusuhan dan menyebabkan perang diatur dalam Pasal 111 ayat (2) KUHP yang menyatakan :

“Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

  1. Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja atau kepala negara bersahabat yang dilakukan dengan rencana diatur dalam ketentuan Pasal 140 ayat (3) KUHP yang menyatakan :

“Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”

  1. Pembunuhan berencana diatur dalam ketentuan Pasal 340 KUHP yang menyatakan:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

  1. Kekerasan di kapal yang menyebabkan kematian diatur dalam ketentuan Pasal 444 KUHP yang menyatakan :

“Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 – 441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati, maka nakhoda, komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”

  1. Kekerasan dalam pesawat udara yang diatur dalam ketentuan Pasal 479 j juncto Pasal 479 k KUHP yang menyatakan :

“Pasal 479 j

Barang siapa dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Pasal 479 k

    1. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun, apabila perbuatan dimaksud pasal 479 huruf i dan pasal 479 j itu:
      1. dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;
      2. sebagai kelanjutan permufakatan jahat;
      3. dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;
      4. mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut, sehingga dapat membahayakan penerbangannya;
      5. mengakibatkan luka berat seseorang;
      6. dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.
    2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
  1. Kejahatan terkait Narkotika yang diatur dalam ketentuan Pasal 113 sampai dengan Pasal 121 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
  2. Korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) yang menyatakan :

“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyatakan :

Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”

  1. Tindak Pidana Terorisme yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 dan pasal 10 A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang yang diubah dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Terorisme);
  2. Kekerasan seksual terhadap anak sebagaimana ketentuan Pasal 81 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) yang menyatakan :

“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1(satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguanjiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnyafungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan palinglama 20 (dua puluh) tahun.”

              Tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilam Umum dan Militer (selanjutnya disebut Penpres 2/1964) juncto Peraturan Kepolisian Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (selanjutnya disebut Perkap 12/2010). Pasal 1 Penpres 2/1964 menyatakan bahwa :

“Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang penjalanan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan dilingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut.”

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Penpres 2/1964 dinyatakan bahwa pidana mati yang dijatuhkan terhadap beberapa orang dalam satu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (incraht) dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan demikian. Kepala Polisi Komisariat Daerah tempat kedudukan pengadilan bertanggung jawab atas pelaksanaan pidana mati sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Penpres 2/1964. Sebelum dilakukan eksekusi, terpidana mati ditahan dalam penjara atau tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa sebagaimana ketentuan Pasal 5 Penpres 2/1964. Eksekusi terhadap terpidana mati haruslah dilaksanakan setelah putusan pengadilan yang dijatuhkan padanya berkekuatan hukum tetap dan kepada terpidana telah diberikan kesempatan untuk mengajukan grasi kepada Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.[2] Namun, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur mengenai jangka waktu masa tunggu eksekusi terhadap terpidana mati.

[1] https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-41569770

[2] Roni Efendi, Konstitusionalita Masa Tunggu eksekusi Bagi Terpidana Mati Dalam Sistem Pemidanaan, Jurnal Konstitusi, https://jurnalkonstitusi.mkri.id/index.php/jk/article/view/1625/pdf

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.