Hukum Waris Adat di Indonesia

Hukum waris adat merupakan salah satu hukum waris yang masih ada dan digunakan di beberapa daerah di Indonesia. Hukum adat sendiri merupakan hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam.[1] Sejak masa penjajahan, hukum adat telah dibiarkan hidup dan berlaku bagi masyarakat itu sendiri. Beberapa kali hukum adat tersebut akan dikodifikasikan, namun ternyata mengalami kesulitan.[2]

Pasca amandemen konstitusi, hukum adat diakui sebagai salah satu sumber hukum positif di Indonesia, seperti yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa

Negara mengakui serta menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Selain itu, pengakuan serta penghormatan terhadap hukum adat juga disebutkan dalam Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi :

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Mencermati ketentuan-ketentuan tersebut di atas, terdapat syarat suatu hukum adat dapat digunakan sebagai sumber hukum positif, yaitu:

  1. Sepanjang masih hidup;
  2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan
  3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Adapun peraturan perundang-undangan yang menyatakan mengakui masyarakat adat dan hukum adat diantaranya adalah:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang di dalamnya mengakui hak ulayat;
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang didalamnya memberikan kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945;
  3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang mengatur bahwa peraturan desa dapat disesuaikan dengan hukum adat setempat;
  4. Dan undang-undang lainnya.

Kendati hukum waris tidak diatur dan tidak disebutkan dalam undang-undang yang berlaku, namun berdasar Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 tersebut di atas, hukum waris adat masih berlaku selama hukum waris adat tersebut masih hidup dan tidak bertentangan dengan perkembangan masyarakat.

Indonesia yang memiliki banyak suku dan tentunya menjadikan banyaknya hukum adat yang timbul di dalamnya, tentunya juga membuat bervariasinya sistem hukum adat yang mempengaruhi pula terhadap hukum waris yang berlaku dalam hukum adat tersebut. Menurut Zainudin Ali, terdapat 5 macam asas hukum waris adat diantaranya:[3]

  1. Asas ketuhanan dan pengendalian diri;
  2. Asas kesamaan dan kebersamaan hak;
  3. Asas kerukunan dan kekeluargaan;
  4. Asas musyawarah dan mufakat;
  5. Asas keadilan.

Lebih lanjut, tiga unsur pokok dalam hukum waris adat, yaitu:[4]

  1. Pewaris, yaitu subyek yang memiliki harta warisan selagi ia masih hidup;
  2. Ahli waris, yaitu semua orang yang berhak menerima bagian dalam harta warisan;
  3. Harta waris, yaitu harta kekayaan yang akan diteruskan oleh si pewaris ketika ia masih hidup atau setelah ia meninggal dunia.

Secara umum hukum waris adat di Indonesia di atur berdasarkan susunan masyarakat adat berdasarkan hubungan kekerabatan yang dibedakan menjadi 3 macam, yaitu[5] :

  1. Patrilineal, merupakan sistem kekerabatan yang berasal dari garis pihak Bapak, artinya dalam hal setiap orang yang mewaris hanya menarik dari garis keturunan bapaknya saja. Hal tersebut berakibat pada kedudukan pria yang lebih utama pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris. Sistem pewarisan ini banyak dianut oleh beberapa suku di antaranya, suku Batak, suku Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT, dll.
  2. Matrilineal, merupakan sistem kekerabatan yang berasal dari garis pihak Ibu. Maka, dalam hal pewarisan, kedudukan wanita lebih utama daripada dari garis bapak. Beberapa suku yang menganut sistem kewarisan ini diantaranya: suku Minangkabau, Enggano, dan Timor.
  3. Parental/bilateral, merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak Bapak/Ibu, sehingga kedudukan anak laki-laki dan perempuan seimbang. Beberapa masyarakat yang menganut sistem ini diantaranya, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Kalimantan, Riau, dll.

Meski demikian, ketiga sistem tersebut tidak sepenuhnya mutlak terjadi dan diterapkan dalam masyarakat hukum adat tersebut. Salah satu contohnya adalah diambilnya sistem hukum waris Islam dalam masyarakat Jawa, dimana perbandingan perolehan anak perempuan dan laki-laki adalah satu banding dua (1:2) yang sering disebut sebagai sepikul segendong.

Berkaitan dengan permasalahan waris dalam hukum adat, pada dasarnya dapat dibawa ke Pengadilan. Hal tersebut dikarenakan hakim memiliki kewajiban untuk menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat baik yang tertulis maupun tidak tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Beberapa yurisprudensi pun telah muncul berkaitan dengan hukum waris adat tersebut, diantaranya adalah Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 320/K/Sip/1960 yang memberikan hak dan kedudukan kepada janda untuk mewarisi harta asal suami.

[1] R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 2000, halaman 3

[2] Ibid, halaman 5-6

[3] Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat, Ellyne Dwi Poespasari, Jakarta, Prenadamedia Group, 2018, halaman 6

[4] Ibid, halaman 18-20

[5] Hilman Hadikusumo, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1993, halaman 10.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.