Hukum Warga Menempati Hak Pengelolaan Atas Tanah Untuk Tempat Tinggal
Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 24/1997) menyatakan bahwa hak pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya. Hak pengelolaan hanya dapat diberikan kepada badan-badan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut Permen Agraria 9/1999) diantaranya yaitu :
- Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;
- Badan Usaha Milik Negara;
- Badan Usaha Milik Daerah;
- Persero;
- Badan Otorita;
- Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.
Akan tetapi pemegang hak pengelolaan dapat melakukan suatu perbuatan atas tanah tersebut kepada pihak ketiga berdasarkan atas perjanjian. Perbuatan terhadap hak pengelolaan dapat diserahkan kepada pihak ketiga dalam bentuk hak guna bangunan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996) yang menyatakan sebagai berikut :
“Tanah yang dapat diberikan dengan hak guna bangunan adalah :
- Tanah Negara;
- Tanah Hak Pengelolaan;
- Tanah Hak Milik.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hak guna bangunan dapat dilakukan diatas hak pengelolaan untuk sementara waktu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 21 PP 40/1996. Dikatakan hanya sementara waktu dikarenakan hak guna bangunan memiliki ketentuan jangka waktu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang menyebutkan hal-hal sebagai berikut :
- Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
- Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
- Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Kemudian berkaitan dengan pembahasan artikel kali ini apabila diatas hak pengelolaan dibangun sebuah rumah untuk tempat tinggal, maka akan kami uraikan sebagai berikut.
Sebelumnya perlu kita ketahui bahwa dimaksud dengan rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (selanjutnya disebut UU Perumahan dan Kawasan Permukiman). Pasal 22 ayat (2) UU Perumahan dan Kawasan Pemukiman menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) bentuk rumah yaitu rumah tunggal, rumah deret dan rumah susun. Secara istilah dapat kita bayangkan perbedaan diantara ketiganya, namun fokus dalam pembahasan artikel ini terkait dengan pembangunan rumah diatas hak pengelolaan, maka penjelasan terkait bentuk dan jenis terkait dengan rumah akan dibahas diartikel selanjutnya. Pasal 43 ayat (1) UU Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan bahwa pembangunan rumah dapat dilakukan diatas tanah hak pengelolaan sebagaimana dinyatakan sebagai berikut:
“Pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat dilakukan diatas tanah:
- Hak milik;
- Hak guna bangunan, baik diatas tanah negara maupun diatas hak pengelolaan; atau
- Hak pakai diatas tanah negara.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka untuk pembangunan rumah diatas hak guna bangunan yang berada diatas hak pengelolaan diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan. Namun, pembangunan rumah yang berada diatas hak guna bangunan yang berada diatas hak pengelolaan memiliki jangka waktu sebagaimana ketentuan dalam Pasal 35 UUPA terkait jangka waktu penggunaan hak guna bangunan.
Jangka waktu tersebut dapat dikecualikan apabila pemegang hak pengelolaan menyerahkan bagian-bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga dalam bentuk hak milik.[1] Apabila demikian, maka harus dilakukan melalui pelepasan atau penyerahan hak pengelolaan dengan Surat Pernyataan Pelepasan atau Penyerahan Hak Pengelolaan oleh pemegang hak pengelolaan. Pelepasan atau penyerahan hak ini memutus hubungan hukum antara pemegang hak pengelolaan dengan hak pengelolaannya dan tanahnya kembali menjadi tanah dalam penguasaan negara yang nantinya penerima pelepasan atau penyerahan hak pengelolaan akan mengajukan permohonan pemberian hak milik kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat.[2] Oleh karena itu, kepemilikan atas tanah hak pengelolaan kewenangannya berada di pemegang hak pengelolaan.
Contoh kasus hak pengelolaan yang ditempati oleh warga tanpa adanya hak guna bangunan yaitu tanah dengan hak pengelolaan di Kota Surabaya. Hal tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan dimana pemegang Izin Pemakaian Tanah (IPT) yang merupakan warga yang bertempat tinggal diatas tanah tersebut bertahun-tahun lamanya menginginkan pelepasan atas hak pengelolaan tanah Pemkot Surabaya. Kemudian Pemkot Surabaya memfasilitasi dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya (selanjutnya disebut Perda Surabaya 16/2014). Pasal 3 Perda Surabaya 16/2014 mensyaratkan objek tanah IPT yang dapat dilepaskan yaitu sebagai berikut:
- peruntukan IPT adalah Perumahan dengan penggunaan untuk rumah tinggal;
- pemohon merupakan pemegang IPT selama 20 (dua puluh) tahun secara berturut-turut;
- IPT masih berlaku;
- luas IPT maksimal 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi);
- hanya satu persil yang bisa dilepaskan bagi yang mempunyai IPT lebih dari satu persil;
- tidak dalam sengketa/masalah; dan
- tidak termasuk dalam perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah.
Namun, atas persyaratan tersebut banyak warga yang tidak setuju lantaran tanah yang dapat dilepaskan adalah tanah yang memiliki luas maksimal sebesar 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi) dan hanya satu persil saja yang dapat dilepaskan sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan yang hingga saat ini masih diusahakan untuk penyelesaiannya.[3] Berdasarkan atas kasus tersebut, maka pada dasarnya kewenangan berada di Pemkot Surabaya selaku pemegang hak pengelolaan, sehingga penyelesaian terkait permasalahan pelepasan tanah hak pengelolaan harus berdasarkan persetujuan dari Pemkot Surabaya.
[1] Sulasi Rongiyati, Pemanfaatan Hak Pengelolaan Atas Tanah Oleh Pihak Ketiga, Jurnal Negara Hukum, Vol. 5, No. 1, Jakarta : Setjen DPR RI, Juni 2014, hal. 84
[2] Ibid.
[3] http://repository.unair.ac.id/62817/1/abstra.pdf
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanAkta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
Hak Atas Tanah Yang Bangunan Diatasnya Berstatus Cagar Budaya
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.