Hukum Wakaf di Indonesia

Islam sangat memperhatikan masalah-masalah sosial kemasyarakatan dengan mengajarkan umatnya untuk saling membantu diantara mereka. Islam juga melakukan upaya penguatan dan pemberdayaan posisi mereka sehingga tidak terjadi ketimpangan sosial yang besar di masyarakat. Pengurangan ketimpangan tersebut salah satunya dilakukan dengan wakaf.

Wakaf berarti menahan atau mencegah. Menurut terminologi hukum Islam, wakaf didefinisikan sebagai tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan aset dimana seseorang bisa memanfaatkan atau menggunakan hasilnya yang bertujuan sebagai amal selama barang tersebut masih ada.[1]

Sementara wakaf menurut Pasal 1 ayat (1) Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (UU Wakaf) didefinisikan sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”  Pelaksanaan UU Wakaf didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (PP 42/2006) yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan di dalam UU Wakaf.

Dalam setiap tindakan serta kegiatan wakaf harus memenuhi unsur-unsur kegiatan wakaf, hal ini tercantum dalam Pasal 6 UU Wakaf yang menyatakan bahwa, unsur-unsur wakaf adalah wakif, nadzir, harta benda wakaf, ikrar wakaf, peruntukan harta beda wakaf dan jangka waktu wakaf. Unsur-unsur tersebut harus saling berkaitan guna memastikan keabsahan wakaf. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut[2]:

  1. Orang yang berwakaf (Waqif)

Orang yang mewakafkan hartanya, dalam istilah Islam disebut wakif. Seorang wakif haruslah memenuhi syarat untuk mewakafkan hartanya, diantaranya adalah wakaf dilakukan dengan sukarela dan tanpa paksaan siapapun, kecakapan bertindak, telah dapat mempertimbangkan baik dan buruk perbuatannya serta benar-benar pemilik harta yang diwakafkan.

  1. Benda yang diwakafkan (mauquf bih)

Barang atau benda yang diwakafkan harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban, barang atau benda tidak rusak atau habis ketika diambil manfaatnya, dan benda atau barang tersebut tidak berupa benda yang dilarang oleh Allah atau barang najis.

  1. Tujuan atau orang yang berhak menerima hasil wakaf (mauquf ‘alaih)

Tujuan hasil wakaf ini tidak boleh terlepas dari dua hal, yaitu demi keperluan ibadah dan kepentingan umum, baik untuk keperluan masyarakat umum (khairi) maupun untuk keperluan keluarga (ahli).

  1. Lafadz atau pernyataan penyerahan wakaf (sighot atau ikrar)

Lafadz atau sighat ialah pernyataan kehendak dari wakif yang dilahirkan dengan jelas tentang benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan dan untuk apa dimanfaatkan. Kalau penerima wakaf adalah pihak tertentu, sebagian ulama berpendapat perlu ada qabul (jawaban penerimaan). Tapi kalau wakaf itu untuk umum saja, tidak harus ada qabul.[3] Selain itu, wakaf dapat terjadi dengan sikap (fi’li). Contohnya, ada seorang yang membuat masjid, kemudian ia mengijinkan melakukan sholat di dalamnya.

  1. Nazhir

Nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari waqif, baik berupa kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas untuk mengelola dan mengembangkan wakaf sesuai dengan peruntukannya.[4]

Atas harta wakaf, terdapat beberapa perbuatan hukum yang dilarang sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU Wakaf, diantaranya sebagai berikut:

  1. Dijadikan jaminan;
  2. Disita;
  3. Dihibahkan;
  4. Dijual;
  5. Diwariskan;
  6. Ditukar; atau
  7. Dialihkan dalam bentuk pengalihan lainnya.

Pengecualian terhadap larangan-larangan tersebut tercantum dalam Pasal 41 UU Wakaf dan PP 42/2006.[5] Sebagai contoh pengecualian larangan tersebut adalah penukaran harta wakaf yang bisa dikecualikan apabila harta wakaf yang sudah diwakafkan dimanfaatkan untuk kepentingan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta tidak bertentangan dengan syariat Islam dengan syarat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan BWI (Badan Wakaf Indonesia) serta manfaat benda wakaf yang harus sama dengan benda yang ditukar.

Kemungkinan permasalahan wakaf bisa muncul apabila syarat-syarat wakaf dilanggar, contohnya tidak adanya ikrar wakaf. Ikrar wakaf bukan hanya wajib untuk dihadiri saksi yang memenuhi syarat, melainkan juga wajib untuk dicatatkan dalam dokumen yang disebut dengan Akta Ikrar Wakaf. Pada dasarnya, wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan sebagaimana diatur Pasal 3 UU Wakaf yang berbunyi, “Wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan.

Pembatalan akta ikrar wakaf terjadi dikarenakan terdapat pelanggaran dalam perjanjian tersebut terhadap hal-hal yang dapat menghalangi terjadinya suatu perbuatan yang menjadikan perbuatan tersebut tidak dapat di ambil manfaatnya. Adapun penyebab terjadinya pembatalan akta ikrar wakaf adalah:

  1. Terjadinya pengingkaran yang dilakukan oleh pihak nazir yang tidak mampu mengelola harta benda wakaf sehingga manfaat dari harta yang di wakafkan tersebut tidak dapat dirasakan manfaatnya.
  2. Ketidak keterbukaannya pihak wakif kepada ahli warisnya oleh harta yang telah diwakafkan, sehingga pihak ahli waris merasa keberatan maka akta ikrar tersebut dapat dibatalkan.
  3. Penyerobotan harta benda wakaf yang dilakukan tanpa hak sehingga harta benda wakaf jatuh kepada pihak ketiga.
  4. Nazirnya tidak memenuhi sayrat dan ketentuan Undang-Undang untuk dapat mengelola harta benda wakaf. dan syarat-syarat lainnya yang dapat membatalkan akta ikrar wakaf itu sendiri.

Meskipun pasal di atas menyatakan tegas bahwa wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan, namun jika ada perkara di bidang wakaf, Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara wakaf tersebut, yakni dengan membatalkan ikrar wakaf. Agar lebih memahami penyelesaian sengketa mengenai wakaf di Pengadilan Agama, dapat membaca artikel kami yang berjudul Permohonan Kepada Pengadilan Agama.

[1] M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai : Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, Jakarta Selatan :2001, Hlm : 29.

[2] Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), Hlm:85.

[3] Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, cet. 4 2002), Hlm: 34.

[4] Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya. (Bandung: Yayasan Piara, 1997), Hlm: 39-40.

[5] Badan Wakaf Indonesia, Hal-Hal Yang Dilarang Terhadap Harta Benda Wakaf, https://www.bwi.go.id/5194/2020/08/04/hal-hal-yang-dilarang-terhadap-harta-benda-wakaf/.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.