Hukum Perang Internasional (Hukum Humaniter)

Istilah hukum perang (laws of war) juga dikenal dengan istilah hukum humaniter (International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict). Hukum humaniter merupakan istilah modern dari hukum perang, dimana disebut sebagai hukum humaniter untuk menghindari trauma korban terhadap kekejaman perang. Terlepas dari istilah yang digunakan, pada dasarnya hukum humaniter atau hukum perang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengatur tata cara berperang serta perlindungan terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata.[1] Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Pengadilan International (International Court of Justice) sumber-sumber hukum internasional terdiri dari hal-hal sebagai berikut:[2]
- Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang membentuk aturan-aturan yang secara tegas diakui oleh masyarakat internasional;
- Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu praktek umum yang diterima sebagai hukum;
- Prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa beradab;
- Keputusan-keputusan Mahkamah dan ajaran dari para ahli yang sangat kompeten dari berbagai bangsa, sebagai sumber hukum tambahan untuk menentukan supremasi hukum.
Hal tersebut juga berlaku terhadap hukum humaniter yang merupakan salah satu cabang dari hukum internasional.
Berbagai konvensi dan perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum humaniter dapat diklasifikasikan dalam Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa.[3] Aturan tersebut selain diciptakan untuk melindungi orang-orang yang tidak ikut dalam permusuhan dengan cara adanya pembatasan terhadap penggunaan senjata, juga untuk mengurangi dan mencegah penderitaan manusia pada saat terjadinya konflik bersenjata.[4] Aturan mengenai hukum humaniter pertama kali diatur dalam Konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei-29 Juli 1899). Dalam konferensi tersebut, dihasilkan 3 (tiga) konvensi dan tiga deklarasi, yaitu :[5]
a. Konvensi
- Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
- Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat;
- Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut.
b. Deklarasi
- Deklarasi tentang larangan penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia);
- Deklarasi tentang larangan peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari balon;
- Deklarasi tentang larangan penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun.
Kemudian dilanjutkan dalam Konferensi Perdamaian ke II pada tahun 1907 di Den Haag yang menghasilkan konvensi-konvensi sebagai berikut :[6]
- Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
- Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
- Konvensi III tentang Cara Memulai Permusuhan;
- Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang dilengkapi dengan Regulasi (Peraturan) Den Haag;
- Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Orang-orang Netral dalam Perang di darat;
- Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan;
- Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
- Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;
- Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Perang;
- Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang di laut;
- Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut;
- Konvensi XII tentang Pembentukan suatu Mahkamah Internasional tentang Penyitaan contraband perang (barang selundupan untuk kepentingan perang);
- Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut
Konvensi Den Haag tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan kerajaan Belanda sehingga ratifikasi ditetapkan dalam Undang-Undang tertanggal 1 Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919. Kemudian, setelah Indonesia merdeka, ratifikasi atas konvensi tersebut masih dianggap sah dengan adanya ketentuan dalam Aturan Peralihan I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut:
“Segala peraturan perundangundangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UndangUndang Dasar ini.”
Sedangkan dalam Hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang yang terdiri atas 4 (empat) pokok konvensi, yaitu :
- Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field);
- Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea);
- Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War);
- Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War).
Konvensi Jenewa Tahun 1949 ini juga telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dalam Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949. Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Jenewa 1949 dinyatakan bahwa para pihak peserta perang memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjamin penghormatan atas Konvensi Jenewa 1949 tersebut. Oleh karena itu, negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949 wajib mengikuti aturan-aturan perang yang ditetapkan didalamnya. Salah satu contoh aturan yang harus ditaati yaitu perlindungan terhadap orang-orang sipil sebagaimana ketentuan dalam Bab IV Pasal 48 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang yang menyatakan sebagai berikut :
“Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.”
Selain orang sipil, perlidungan juga ditujukan terhadap obyek-obyek sipil yang bukan merupakan sasaran militer sebagaimana ketentuan dalam Pasal 52 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter, maka berdasarkan permintaan suatu pihak dalam sengketa akan dilakukan pemeriksaan menurut cara yang ditentukan antara pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 52 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat. Secara lengkap Pasal 52 Konvensi Jenewa 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat menyatakan sebagai berikut :
“Atas permintaan suatu Pihak dalam sengketa akan diadakan suatu pemeriksaan menurut cara yang akan ditentukan antara Pihak-pihak yang berkepentingan mengenai setiap pelanggaran yang disangka telah dilakukan terhadap Konvensi.
Apabila tidak terdapat persetujuan mengenai prosedur pemeriksaan, maka Pihak-pihak harus bermufakat untuk memilih seorang wasit yang akan memutuskan prosedur yang akan diikuti.
Sekali pelanggaran telah ternyata dilakukan, Pihak-pihak dalam sengketa harus mengakhirinya dan harus memberantasnya tanpa ditunda-tunda lagi.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pemeriksaan terhadap pelanggaran dapat dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional atau yang biasa dikenal dengan International Criminal Court (ICC) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma Tahun 2002 (Rome Statute of International Criminal Court) yang menyatakan sebagai berikut :
“The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes:
- The crime of genocide;
- Crimes against humanity;
- War crimes;
- The crime of aggressi”
Oleh karena itu, apabila terjadi pelanggaran dalam hukum perang, maka pihak yang merasa dilanggar dapat melaporkan perbuatan pelanggaran tersebut kepada ICC sebagai lembaga yang berwenang.
[1] Mahfud, Pengaturan Humaniter Tentang Persenjataan Perang Yang Diperkenankan Untuk Dapat Dipergunakan Oleh Para Pihak Yang Terlibat Dalam Satu Konflik Bersenjata, Jurnal Hukum Humaniter, Banda Aceh : Universitas Syiah Kuala, hal. 78.
[2]Pusat Kajian Hukum UII, https://pusham.uii.ac.id/ham/15_Chapter9.pdf diakses pada tanggal 3 Juni 2021 pukul 11:35 WIB.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Pusat Kajian Hukum UII, Op Cit.
[6] Ibid.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanHukum Perjanjian Bisnis Internasional
Batas Wilayah Negara Secara Internasional

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.