Hukum Lingkungan Internasional

Ruang Lingkup

Catherine Redgwell menyatakan bahwa hukum lingkungan internasional itu adalah cabang dari hukum internasional.[1] Kemudian, arti dari hukum lingkungan internasional itu sendiri adalah kumpulan prinsip-prinsip hukum yang dikembangkan oleh sistem pengaturan tentang lingkungan, baik nasional, internasional, dan transnasional untuk melindungi lingkungan dan mengatur sumber daya alam.[2] Sebagai kumpulan hukum, hukum lingkungan global (hukum lingkungan internasional) dibentuk atas dasar kumpulan prinsip-prinsip substantif dan metode prosedural yang secara khusus mengatur tentang lingkungan di seluruh dunia. HaI itu mencakup sebagai berikut:

  1. Hukum lingkungan internasional publik, biasanya digunakan untuk merujuk sekumpulan perjanjian-perjanjian dan prinsip-prinsip kebiasaan internasional yang mengatur hubungan antar negara;
  2. Hukum lingkungan nasional yang menguraikan prinsip-prinsip yang
    digunakan oleh pemerintah nasional untuk mengatur tingkah laku individu-individu pribadi, organisasi, badan-badan pada pemerintahan nasional dalam wilayah negara yang bersangkutan; dan
  3. Hukum transnasional yang menguraikan seperangkat prinsip-prinsip hukum yang digunakan untuk mengatur hubungan lintas batas antara individu-individu pribadi dan organisasi-organisasi.

Perjanjian Tentang Hukum Lingkungan Internasional

Salah satu pilar pilar hukum lingkungan global (internasional) adalah Deklarasi Stockholm 1972. Sebab, melalui Deklarasi Stockholm lahir 26 prinsip yang mencakup seluruh aspek perlindungan lingkungan beserta ekosistemnya. Tiga prinsip di antaranya adalah:

  • Pertama, prinsip territorial sovereignty yang berarti suatu negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayahnya.
  • Kedua, prinsip good neighborliness yang artinya adalah suatu negara dapat menggunakan territorial mereka dengan catatan tidak mengganggu wilayah negara lain, dan
  • Ketiga, prinsip state responsibility yang berarti suatu negara dapat diminta tanggung jawab apabila merugikan negara lainnya.

Tegasnya, Deklarasi Stockholm 1972 merupakan pijakan bagi negara-negara peserta konvensi terhadap pentingnya menyelamatkan bumi dari pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang pada akhirnya akan membawa bencana bagi umat manusia itu sendiri.[3]

Meskipun terdapat Deklarasi Stockholm 1972, masih saja ternyata banyak negara yang tidak mengindahkan konvensi tersebut dengan alasan bahwa negara berkembang juga memiliki kepentingan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan industri secara masif untuk kepentingan ekonomi sebagaimana yang dilakukan oleh negara maju. Oleh karena itu, kemudian lahirlah Deklarasi Nairobi 1982 yang pada intinya berisi himbauan kepada seluruh negara maupun masyarakat internasional agar dapat tunduk dan patuh pada prinsip yang termuat dalam Deklarasi Stockholm.

Sama halnya dengan Deklarasi Stockholm 1972, Deklarasi Nairobi juga tidak berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat internasional. Maka dari itu, kemudian terbentuklah Deklarasi Rio yang melahirkan prinsip sustainable
development
(pembangunan berkelanjutan). Berlandaskan pada prinsip tersebut pembangunan hanya dan hanya jika dapat dilakukan guna memenuhi kebutuhan generasi yang ada sekarang tanpa mengurangi hak generasi di masa depan.

Contoh Kasus Hukum Lingkungan Internasional

Kasus Trail Smelter 1941 atau Trail Smelter Case 1941

Kasus ini diawali karena adanya pencemaran udara yang disebabkan perusahaan pupuk bernama Consolidated Mining & Smelting Co. di Kanada. Tepatnya di antara Kanada dan Amerika Serikat. Sejak tahun tahun 1920, limbah emisi yang mengandung sulfur dioksida menyebarkan bau logam dan seng yang sangat menyengat. Di mana, emisi tersebut terbawa angin bergerak ke wilayah Amerika Serikat dan menimbulkan polusi udara bagi penduduk Washington, Amerika Serikat.

Kasus tersebut kemudian disepakati para pihak untuk bergulir di International Joint Commission. Sejatinya, badan tersebut tidak memiliki yurisdiksi atas masalah pencemaran udara. Badan tersebut hanya memiliki yurisdiksi atas sengketa-sengketa yang berkaitan perbatasan perairan.

Pada akhirnya, diputuskan bahwa Pemerintah Kanada harus mengganti kerugian atas kerusakan yang terjadi di wilayah Amerika sebesar US$ 350,00. Badan arbitrase ini juga memerintahkan agar Pemerintah Kanada mengambil langkah-langkah agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Sebagai tambahan, bahwa Putusan Arbitrase ini menegaskan berlakunya prinsip “polluter pays principle” yang berarti pencemar membayar biaya atas dampak dari pencemaran yang dilakukan olehnya. Selain itu, Putusan Arbitrase ini juga menegaskan prinsip tanggung jawab dari suatu negara agar tidak melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan rusaknya lingkungan di wilayah negara lain atau di luar teritorial wilayahnya.

[1] Catherine Redgwell, International Environtmental Law, dalam Malcolm D. Evans, 2003, International Law, First Edition, Oxford University Press, Oxford, hlm. 657.

[2] Suparto Wijoyo dan A’an Efendi, 2017, Hukum Lingkungan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 28.

[3] Siswanto Sunarso, 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. vi.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.