Benarkah Indonesia Semakin Bergeser ke Hukum Progresif

Hukum Progresif
Indonesia yang awalnya adalah bangsa yang dijajah oleh Belanda memiliki sistem hukum yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum yang berasal dari Belanda. Belanda merupakan negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang kita kenal dengan istilah civil law. Karakteristik dari sistem hukum civil law adalah sumber hukum utamanya yang berasal dari hukum tertulis atau peraturan yang umumnya dibuat oleh penguasa atau lembaga pemerintahan yang diberi kewenangan untuk membuat peraturan tersebut, yang condong pada aliran hukum positivisme. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut sistem hukum common law atau anglo-saxon, sebagai contoh Amerika Serikat di mana sumber hukum utamanya bukanlah hukum tertulis, melainkan kebiasaan masyarakat yang kemudian dikembangkan melalui lembaga peradilan. Sistem hukum common law tersebut mendapat pengaruh besar dari aliran hukum realisme.
Seiring berjalannya waktu, sistem hukum Indonesia mulai menemukan ciri khasnya sendiri. Indonesia memiliki latar belakang adat yang kuat dan mayoritas masyarakat yang beragama Islam yang memiliki kaidah hukum sendiri, membuat hukum adat dan hukum Islam tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Ada sebagian dari hukum adat dan hukum Islam tersebut yang kemudian diadopsi menjadi pasal dalam undang-undang, namun ada juga yang belum terakomodir dalam peraturan perundang-undangan. Nyatanya Indonesia merupakan negara yang terdiri atas berbagai macam etnis dan suku serta terdapat enam agama yang diakui. Untuk itu, tidak mungkin suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh segelintir orang di pemerintahan dapat sepenuhnya mewakilkan dan memfasilitasi kebutuhan hukum dari seluruh rakyat Indonesia yang beragam.
Peran hakim di Indonesia diperlukan untuk mengembangkan hukum tertulis menjadi hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh di dalam masyarakat. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut “UU Kekuasaaan Kehakiman”) yang mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Pada perkembangannya, Pasal 5 UU Kekuasaaan Kehakiman sering digunakan sebagai landasan bahwa hakim boleh memutus di luar dari apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal tersebut mengakibatkan hukum di Indonesia menjadi berada di tengah-tengah, di mana terdapat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati oleh masyarakat, namun di sisi lain putusan hakim tidak selalu mengikuti peraturan perundang-undangan secara taat.
Pergeseran sistem hukum Indonesia menuju ke tengah-tengah dua sistem hukum tersebut, menjadikan sistem hukum Indonesia itu tidak lagi terasa seperti civil law, tapi bukan juga common law, melainkan cenderung pada gagasan fenomenal Satjipto Rahardjo mengenai hukum progresif. Gagasan Satjipto Rahardjo tersebut ditujukan kepada aparatur penegak hukum, khususnya hakim, agar jangan terbelenggu dengan positivisme hukum yang selama ini banyak memberikan ketidakadilan kepada pencari keadilan dalam melakukan upaya hukum, karena penegakan hukum merupakan rangkaian proses untuk menjabarkan nilai, ide, cita yang cukup dan abstrak yang menjadi tujuan hukum. Tujuan hukum atau cita hukum memulai nilai-nilai moral, seperti keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai tersebut harus mampu diwujudkan dalam realitas nyata. Eksistensi hukum diakui apabila nilai-nilai moral yang terkandung dalam hukum tersebut mampu diimplementasikan atau tidak.[1]
Hukum Progresif menempatkan perilaku jauh lebih penting sebagai faktor signifikan dalam berhukum daripada peraturan-peraturan yang tidak lain adalah teks-teks. Menurut Satjipto Rahardjo, teks-teks hukum itu tidak dapat sepenuhnya dipercaya sebagai representasi kehidupan hukum yang otentik. Hal yang lebih otentik adalah perilaku, sebuah entitas di mana hukum itu berada. Dengan perilaku manusia, hukum menjadi hidup. Tanpa peristiwa perilaku, hukum hanya bermakna teks. Meski demikian, tidak berarti peraturan hukum positif tidak diperlukan sama sekali. Norma hukum positif tetap diperlukan, namun norma hukum positif tersebut haruslah menurut hati nurani yang mengendalikan perilaku.[2]
Contoh Pergeseran Sistem Hukum Indonesia
Sebagai contoh pergeseran sistem hukum di Indonesia dapat dilihat pada perkara praperadilan penetapan tersangka Budi Gunawan. Perkara tersebut cukup kontroversial di mana pemohon praperadilan yaitu Budi Gunawan meminta pengadilan menyatakan tidak sah status penetapan tersangka dirinya atas perkara dugaan gratifikasi. Padahal berdasarkan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), sah atau tidaknya penetapan tersangka bukanlah ruang lingkup dari praperadilan. Permohonan praperadilan tersebut kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tak berselang lama dari putusan pra peradilan Budi Gunawan, terdapat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 21/PUU-XII/2014 yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi terpidana korupsi proyek biomediasi PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah, yang menguji Pasal 77 huruf a KUHAP sehingga penetapan tersangka menjadi salah satu obyek praperadilan selain obyek praperadilan lain yaitu menguji sahnya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.[3] Sejak adanya putusan MK tersebut, begitu banyak permohonan praperadilan terkait sah tidaknya penetapan tersangka masuk ke pengadilan. Hal tersebut menjadi pertanda bahwa hakim bisa saja memutus perkara melenceng dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Walau pun awalnya putusan praperadilan Budi Gunawan tersebut tidak diterima baik oleh masyarakat, pada perkembangannya kewenangan praperadilan untuk memutus penetapan tersangka sangat dibutuhkan oleh banyak pihak mengingat tidak sedikit pula proses penetapan tersangka dilakukan secara sewenang-wenang.
Baca artikel terkait:
3 Alasan Mengapa Hakim Tidak Boleh Menjadi Corong Undang-Undang?
3 Alasan Mengapa Hakim Tidak Boleh Menjadi Corong Undang-Undang?
Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.
Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
- Hyronimus Rithi, Landasan Filosofis Hukum Progresif, Jurnal Justitia Et Pax, Vol. 32 No. 1, Juni 2016;
- https://www.viva.co.id/berita/nasional/631637-putusan-mk-buka-peluang-kpk-terbitkan-sprindik-baru; dan
- https://www.pn-palopo.go.id/index.php/media-center/artikel/184-paradigma-hukum-progresif.
[1] https://www.pn-palopo.go.id/index.php/media-center/artikel/184-paradigma-hukum-progresif
[2] Hyronimus Rithi, Landasan Filosofis Hukum Progresif, Jurnal Justitia Et Pax, Vol. 32 No. 1, Juni 2016, hlm. 37.
[3] https://www.viva.co.id/berita/nasional/631637-putusan-mk-buka-peluang-kpk-terbitkan-sprindik-baru
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanYurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 296 K/Sip/1970 Tanggal 9...
3 Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.