Hukum Antariksa

Peranan hukum dalam tatanan kegiatan keantariksaan sangatlah penting bagi nasional maupun internasional. Di Indonesia, kegiatan keantariksaan dimulai dengan peluncuran satelit Palapa A1 yang menjadi momentum bersejarah dalam rangka memberikan pelayanan telepon dan faksimil antar kota. Kemajuan teknologi di bidang antariksa memberikan peluang untuk mengatur kegiatan yang berkenaan dengan ruang angkasa dan tidak dapat ditinggalkan.[1] Terdapat pendapat yang dikemukakan oleh Charles de Visscher yang menyatakan bahwa:
Hukum ruang angkasa adalah keseluruhan norma-norma hukum yang berlaku khusus untuk penerbangan angkasa, pesawat angkasa, dan benda-benda angkasa lainnya dan ruang angkasa dalam peranannya sebagai ruang kegiatan penerbangan (angkasa).[2]
Hukum antariksa atau dikenal dengan hukum ruang angkasa adalah hukum yang ditujukan untuk mengatur hubungan antarnegara, untuk menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari segala aktivitas yang tertuju kepada ruang angkasa dan di ruang angkasa, aktivitas itu demi kepentingan seluruh umat manusia untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan, terrestrial dan non terrestrial, dimana pun aktivitas itu dilakukan. Dalam mencakup dua bidang ilmu hukum yaitu hukum udara untuk mengatur sarana penerbangan di ruang udara dan hukum ruang angkasa yaitu hukum yang mengatur ruang hampa udara (space treaty).[3]
Hukum angkasa adalah bersifat hukum internasional, sehingga prinsip-prinsip dalam hukum internasional menjadi sumber hukum baginya. Dalam hukum ruang angkasa terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, baik mengenai ruang angkasa sendiri maupun mengenai kegiatan ruang angkasa atau pemanfaatan ruang angkasa. Prinsip-prinsip tersebut kemudian termaktub dalam beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan hukum ruang angkasa (antariksa).
Dasar hukum yang mengatur segala kegiatannya berasal dari berbagai persetujuan internasional, traktat, konvensi, dan resolusi Majelis Umum PBB. Tujuan hukum ruang angkasa atau antariksa adalah menjamin pendekatan yang rasional dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa guna kepentingan kemanusiaan. Berlakunya perjanjian internasional keantariksaan telah ada sejak terbentuknya United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS).
Dalam waktu dari dua dekade, hukum angkasa telah mempunyai sumber hukum positif berupa konvensi-konvensi internasional, yaitu sebagai berikut:
- Treaty on the Principles Governing Activities in the Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 disingkat Space Treaty 1967(diratifikasi 93 negara, Maret 1997) adalah kerangka dasar bagi ketertiban pendayagunaan antariksa yang merupakan wilayah bersama kemanusiaan (Province heritage of all mankind).
- Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space 1968.mengatur tata cara penerapan konsep kemanusiaan dan kewajiban negara-negara dalam mengambil langkah-langkah dan perlakuan dalam membantu dan menyelamatkan astronot yang mengalami kesulitan, serta pengembalian astronot yang telah diselamatkan ke negaranya.
- Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object 1972, disingkat Liability Convention 1972.Inti perjanjian ini adalah mengatur tata cara perilaku yang rinci apabila pihak lain menderita kerugian akibat kegiatan suatu negara di antariksa.
- Convention on Registration of object Launched into Outer Space, 1975 disingkat Registration Convention 1975. Inti perjanjian ini mengatur tata cara pemberian informasi tentang benda-benda yang diluncurkan ke antariksa kepada Sekretaris jenderal PBB dan pendistribusian lebih lanjut informasi tersebut secara luas kepada negara-negara.
- Agreement Governing the Activities of States on moon and Other Celestial Bodies 1979, disingkat Moon Agreement 1979, yang mulai berlaku efektif pada 11 Juli 1984. Inti perjanjian ini adalah mengatur tata cara pengolahan Bulan dan benda-benda langit lainnya yang merupakan common heritage of mankind untuk kepentingan perdamaian.[4]
Di Indonesia, pengaturan hukum antariksa termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Keantariksaan (UU Keantariksaan). Dalam Pasal 1 UU Keantariksaan mendefinisikan bahwa Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa. Sementara itu, Antariksa sendiri adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara. Selain keberadaan UU Keantariksaan, Pada tahun 2002 Indonesia juga telah mengesahkan Traktat Antariksa 1967 yang termaktub dalam Undang-Undang 16 Tahun 2002 Tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing The Activities of States In The Exploration and Use of Outer Space, Including The Moon and Other Celestial Bodies, 1967 (Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip Yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara Dalam Eksplorasi Dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan Dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967).
Terdapat 3 (tiga) perjanjian internasional dibidang keantariksaan yang merupakan peraturan pelaksanaannya berkewajiban melaksanakan ketentuan tersebut dalam wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksinya, adalah sebagai berikut:
- Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects of 1972 disingkat Liability Convention 1972, yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1996.
- Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space disingkat Registration Convention 1975, yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1997.
- Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of Astronouts and the Return of Objects Launched into Outer Space, 1968 disingkat Rescue Agreement 1968, yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999.[5]
Berkaitan dengan batas-batas antariksa negara Indonesia, dapat dilihat dalam Pasal 6 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara (UU Wilayah Negara) yang menegaskan bahwa batas wilayah negara di udara mengikuti batas kedaulatan negara di darat dan di laut, dan batasnya dengan angkasa luar ditetapkan berdasarkan perkembangan hukum internasional. Norma hukum internasional yang dijadikan rujukan dalam menentukan batas wilayah udara Indonesia, yaitu Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation) (selanjutnya disebut Konvensi Chicago 1944).[6] (Lebih lanjut, mengenai batas-batas wilayah antariksa negara silahkan dibaca Batas-Batas Antariksa Negara)
Dengan demikian, mengenai hukum antariksa atau dikenal dengan hukum ruang angkasa merupakan aturan yang penting untuk diperhatikan bagi suatu wilayah. Hal ini berkaitan dengan yuridiksi negara untuk menjaga dan mengatur wilayahnya sendiri. Dalam dunia internasional, mengenai hukum antariksa terdapat beberapa traktat dan konvensi-konvensi yang telah diratifikasi oleh beberapa negara salah satunya Indonesia sendiri. Saat ini dengan keberadaan UU Keantariksaan dapat memberikan pemanfaatan dalam penyelenggaraan keantariksaan.
[1] Haryana Hadiyanti, Eksistensi Hukum Antariksa Nasional Dalam Perspektif Hukum Internasional, Artikel.
[2] Agus Promono, Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011
[3] Priyatna Abdurrasyid, Hukum Antariksa Nasional Penempatan Urgensinya di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2007
[4] Ibid.
[5] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan
[6] Baiq Setiani, Konsep Kedaulatan Negara di Ruang Udara dan Upaya Penegakan Pelanggaran Kedaulatan Oleh Pesawat Udara Asing, Jurnal Konstitusi, Vol. 14, No. 3, Jakarta: Universitas Azzahra, September 2017
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanGugatan Bantahan atau Perlawanan
Resensi Buku: Asas-Asas Hukum Pidana oleh Moeljatno, S.H.

hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.