Hukum Acara Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Berdasarkan Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5 Tahun 1999), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Mengacu pada Pasal 1 butir 1 UU No. 5 Tahun 1999 mengatur bahwa yang dimaksud dengan monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat menurut Pasal 1 butir 6 UU No. 5 Tahun 1999 yaitu persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

Secara umum, tugas dari KPPU yakni melaksanakan fungsi pengawasan terhadap tiga hal:[1]

  1. Perjanjian yang dilarang

Perjanjian yang dilakukan dengan pihak lain yang dilakukan secara bersama-dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang ataupun jasa, di mana hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Contohnya adalah oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertikal, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak luar negeri.

  1. Kegiatan yang dilarang

Suatu hal yang dilakukan dengan maksud untuk mengontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar sehingga dapat menyebabkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Contohnya adalah monopoli, monopsony, penguasaan pasar, jual rugi (predatory pricing), kecurangan dalam menetapkan biaya produksi, dan persekongkolan.

  1. Posisi dominan

Berdasarkan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1999, posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan
pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

 

Prosedur Pemeriksaan Perkara

Awal Dimulainya Pemeriksaan Perkara Persaingan Usaha  

       Penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU dilakukan atas dasar dengan adanya laporan dari pelapor, laporan dari pelapor dengan permohonan ganti rugi, ataupun inisiatif dari KPPU. Dasarnya adalah Pasal 39 UU No. 5 Tahun 1999 yang mengatur bahwa:

”setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran dengan menyertakan identitas pelapor.”

Kemudian terkait dengan penanganan perkara yang dilakukan atas dasar inisiatif dari KPPU sendiri didasarkan pada Pasal 40 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 yang berbunyi:

“Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.”

Pemeriksaan Perkara Persaingan Usaha

Dalam memeriksa perkara persaingan usaha, sidang dipimpin oleh 1 ketua majelis komisi dan 2 anggota majelis komisi yang dibantu panitera. Majelis komisi tersebut dibentuk oleh Ketua KPPU atau apabila berhalangan dapat ditunjuk oleh Wakil Ketua KPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999. Di mana, penunjukkan majelis komisi tersebut ditetapkan dengan keputusan KPUU yang terlebih dahulu mendapat persetujuan rapat komisi.[2] Adapun, tahap pemeriksaan perkara oleh UU No.5 Tahun 1999 dibagi menjadi dua tahap, yaitu pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan lanjutan.

  1. Pemeriksaan pendahuluan

Pasal 1 butir 8 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara (Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010) mengatur bahwa: “pemeriksaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh majelis komisi terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan”. Mengenai jangka waktunya, Pasal 39 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 berbunyi: “berdasarkan laporan, komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan.

  1. Pemeriksaan lanjutan

Berdasarkan Pasal 1 butir 8 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010, pemeriksaan lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Majelis Komisi terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidak adanya bukti pelanggaran. Kemudian mengenai jangka waktu pemeriksaan lanjutan, Pasal 57 ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 mengatur bahwa pemeriksaan lanjutan berakhir dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal pemeriksaan lanjutan dimulai dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. Pasal 57 ayat (3) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2010 menjelaskan lebih lanjut bahwa perpanjangan jangka waktu pemeriksaan lanjutan ditetapkan oleh majelis komisi yang menangani perkara tersebut. Selanjutnya mengenai pembuktian dalam pemeriksaan tersebut, terdapat 5 (lima) jenis alat bukti sebagaimana diatur Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 yang berupa:

  • Keterangan saksi,
  • Keterangan ahli,
  • Surat dan atau dokumen,
  • Petunjuk,
  • Keterangan pelaku usaha.

Putusan

Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha (Pasal 43 ayat (4) UU No. 5 Tahun 1999). Kemudian lebih lanjut lagi diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, terhadap Putusan KPPU yang telah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan negeri.

Upaya Hukum

  1. Terhadap Putusan KPPU, pelaku usaha dapat dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.[3] Apabila terdapat pihak yang keberatan dengan putusan pengadilan niaga tersebut, maka pihak tersebut dapat mengajukan kasasi kepada mahkamah agung.[4]
  2. Dalam hal pelaku usaha tidak melaksanakan isi putusan, KPPU menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[5]

[1] Pasal 4 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[2] Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[3] Pasal 118 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana mengubah Pasal 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[4] Pasal 118 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana mengubah Pasal 45 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

[5] Pasal 118 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja sebagaimana mengubah Pasal 44 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.