Hukum Acara Pemilu di Mahkamah Konstitusi

Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dan Pasal 10 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan dalam undang-undang sebagai berikut :

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
  2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dijadikan undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang;
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi).

Mengenai keseluruhan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di artikel sebelumnya yang berjudul “Tugas Mahkamah Konstitusi”. Namun, dalam artikel kali ini hanya akan dibahas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam hal memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi pemohon yang memiliki legal standing atau yang dapat melakukan permohonan dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum yaitu :

    1. Perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum;
    2. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
    3. Partai politik peserta pemilihan umum.

Kemudian dikatakan dalam Pasal 74 ayat (2) UU Mahkamah Konstitusi bahwa permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi hal-hal sebagai berikut :

    1. terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah;
    2. penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
    3. perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan.

Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional sebagaimana ketentuan dalam Pasal 74 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi. Dasar persoalan utama yang dapat dijadikan alasan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum yaitu persoalan hasil suara, apabila pemohon mendasarkan permohonan terhadap hal lain, maka dapat mengakibatkan permohonan ditolak sebagaimana yang pernah terjadi dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum Calon Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019 lalu dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019. Salah satu alasan ditolaknya permohonan pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tersebut, dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa :

“Bahwa jikalau Pemohon mempersoalkan dana kampanye yang didalilkan oleh Pemohon berdasarkan analisis ICW tanggal 9 Januari 2019, menurut Mahkamah seharusnya diselesaikan melalui mekanisme pelaporan kepada Bawaslu dan apabila dipenuhi unsur pidana makadapat ditindaklanjuti melalui Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk diajukan ke peradilan umum……  

…….Dengan demikian, tidak dapat serta-merta dalil Pemohon tanpa melalui proses terlebih dahulu di Bawaslu dan/atau Gakkumdu kemudian diadili oleh Mahkamah.

Berdasarkan uraian di atas, dalil Pemohon a quomengenai pelanggaran dana kampanye oleh Paslon 01 adalah tidak terbukti menurut hukum, sehingga dalil Pemohon a quotidak beralasan menurut hukum

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa alasan utama permohonan dalam perselisihan hasil pemilihan umum yaitu harus persoalan hasil suara pemilihan umum.

Secara umum, hal-hal yang harus diuraikan dalam permohonan pemohon dalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum diatur dalam ketentuan Pasal 75 UU Mahkamah Konstitusi yang menyatakan sebagai berikut :

“Dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang:

    1. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan
    2. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.”

Kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi berikut ini :

  1. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Bearcara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (selanjutnya disebut PMK 4/2018);
  2. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 tahun 2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (selanjutnya disebut PMK 2/2018);
  3. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) (selanjutnya disebut PMK 3/2018);
  4. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (selanjutnya disebut PMK 6/2020).

Setelah permohonan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), kemudian Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan tersebut kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK sebagaimana ketentuan dalam Pasal 76 UU Mahkamah Konstitusi.

Tata cara beracara dalam perkara perselisihan tentang hasil pemilihan umum secara umum dilakukan melalui 2 (dua) tahap yaitu melalui pemeriksaan pendahuluan dan kemudian dilanjutkan dalam pemeriksaan persidangan. Jangka waktu pemeriksaan pendahuluan dalam perselisihan tentang hasil pemilihan umum berbeda-beda tergantung jenis perselihannya yang dapat diringkas seperti berikut ini:

  1. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 31 PMK 4/2018 menyatakan bahwa pemeriksaan pendahuluan terhadap perselisihan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari setelah permohonan pemohon dicatat dalam BRPK dengan tujuan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan serta pengesahan alat bukti pemohon;
  2. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 PMK 2/2018 menyatakan bahwa pemeriksaan pendahuluan perselisihan hasil pemilihan umum DPR dan DPRD dilaksanakan paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK;
  3. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 PMK 3/2018 menyatakan bahwa pemeriksaan pendahuluan perselisihan hasil pemilihan umum DPD dilaksanakan paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK;
  4. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 36 PMK 6/2020 menyatakan bahwa pemeriksaan pendahuluan perselisihan hasil pemilihan umum Gubernur, Bupati dan Walikota dilaksanakan paling cepat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam e-BPRK.

Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan persidangan dan pengambilan putusan. Jangka waktu pengambilan putusan dalam perselisihan hasil pemilihan umum juga berbeda yaitu sebagai berikut :

  1. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 48 PMK 4/2018 menyatakan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diputus Mahkamah Konstitusi dalam tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicata dalam BRPK;
  2. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 54 PMK 2/2018 menyatakan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum DPR dan DPRD diputus Mahkamah Konstitusi dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK;
  3. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 54 PMK 3/2018 menyatakan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum DPD diputus Mahkamah Konstitusi dalam tenggang waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK;
  4. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 52 PMK 6/2020 menyatakan bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum Gubernur, Bupati dan Walikota diputus Mahkamah Konstitusi dalam tenggang waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam e-BRPK.

Kemudian berdasarkan ketentuan dalam Pasal 79 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden disampaikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, DPD, Presiden/Pemerintah, KPU, Partai Politik atau Gabungan Partai Politik yang mengajukan calon dan pasangan calon peserta pemilihan umum. Sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD disampaikan kepada Presiden, Pemohon dan KPU. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum bersifat final dan mengikat sebagaimana ketentuan dalam Pasal 79 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi, yang artinya atas putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan upaya hukum apapun.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.