Hipotek : Pengertian, Dasar Hukum dan Hapusnya

Negara Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki pengaturan mengenai suatu lembaga penjamin utang. Adanya lembaga penjamin utang atas suatu benda tidak bergerak yang dimiliki bangsa Indonesia dapat dilihat dengan adanya suatu lembaga hipotek yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.[1] Hipotek adalah suatu hak kebendaan yang merupakan perjanjian assesoir (tambahan) dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan hutang, dan berobjekan benda tidak bergerak yang tidak diserahkan penguasaan atas benda tersebut kedalam kekuasaan kreditur, dan juga kepada pemegang hipotek diberikan hak preferensi untuk didahulukan pembayarannya dari kreditur lainnya.[2]

Sebagai suatu hak kebendaan, hipotek mengikuti bendanya (droit de suite) kemanapun benda tersebut dipindahtangankan. Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), mendefinisikan hipotek sebagai berikut:

Hipotek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda yang tidak bergerak, untuk diambil daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.”

Berkaitan dengan pengaturannya, lembaga jaminan hipotek diatur secara yuridis dalam KUH Perdata di dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata. Hal ini memberikan pengaruh terhadap perkembangan hukum di Indonesia serta disebut sebagai cikal bakal hak jaminan di Indonesia. Selain dalam KUH Perdata, hipotek juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam Pasal 57 UUPA, yang menyebutkan bahwa:

Selama Undang-Undang mengenai Hak Tanggunan tersebut dalam Pasal 51 belum Berbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai htpootheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan credietverband tersebut dalam staadblad 1908 Nomor 542 sebagai yang telah diubah dengan staadblad 1937 Nomor 190

Ketentuan dalam pasal di atas antara lain memuat hal-hal yang menyangkut perumusan pengertian hipotek; ciri dan sifat hipotek; objek dan subjek hipotek; tata cara pemberian, pembebanan, peralihan, dan hapusnya hipotek; pencoretan (pe-roya-an) hipotek dan pegawai penyimpan hipotek.[3] UUPA sebagai undang-undang terkait benda tidak bergerak berupa hak atas tanah, telah membentuk suatu lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu Hak Tangungan, yang nantinya akan menggantikan lembaga hak jaminan hipotek.

Hal-hal yang menyangkut seluk-beluk Hak Tanggungan, (atas tanah) tersebut, akan diatur tersendiri dalam sebuah undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh ketentuan Pasal 51 UUPA. Berdasarkan amanat tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan (UU HT) yang mengatur terkait jaminan hak tanggungan atas tanah. Bagi kebendaan tidak bergerak (kebendaan tetap) lainnya selain hak-hak atas tanah, tetap diisi oleh ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam Buku Kedua KUH Perdata, Buku Kesatu KUH Dagang serta ditambah dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peraturan kebendaan yang dimungkinkan untuk dihipotekkan (karena termasuk benda yang menjadi objek Hipotek).

Sifat dari hak kebendaan lainnya adalah absolut, dalam arti hak tersebut dapat dipertahankan terhadap siapa saja. Pemilik hak kebendaan dapat menuntut siapapun yang mengganggu haknya, karena setiap orang harus menghormati hak kebendaan tersebut. Prinsip utama dari hipotek dapat disebutkan sebagai berikut:

  1. Debitur harus memelihara objek jaminan hipotek dengan baik, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain;
  2. Kreditur pemegang jaminan hipotek adalah kreditur preferens;
  3. Berlaku prinsip droit de suite. Suatu jaminan hipotek mengikuti benda yang menjadi objek jaminan kemanapun atau kepada siapapun benda tersebut berpindah;
  4. Jaminan hipotek merupakan jaminan tambahan dengan konsekuensi antara lain:
  1. Jaminan hipotek mengikuti perjanjian pokonya, yaitu perjanjian utang-piutang;
  2. Apabila hutangnya hapus atau dibayar lunas, maka hipotek dihapus;
  3. Apabila utang yang dijamin denga hipotek tersebut beralih ke pihak lain, maka hipotek beralih juga;

5. Hak pemegang hipotek untuk mengeksekusi jaminan baru ada jika ada wanprestasi dari pihak debitur;

6. Jika hasil penjualan eksekusi barang objek jaminan hipotek melebihi jumlah utangnya, maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pihak pemberi hipotek;

7. Pada prinsipnya, hipotek dapat diletakkan atas utang yang sudah ada;

8. Pada prinsipnya, hipotek dapat diikat hanya atas benda yang sudah ada;

9. Pemberi hipotek haruslah pihak yang memiliki titel kepemilikan atas objek jaminan hipotek;

10. Benda objek jaminan hipotek tidak dapat dipisah-pisah;

11. Objek jaminan hipotek tidak dapat dipecah-pecah atau digabung;

12. Berlaku asas publisitas, hipotek harus didaftarkan ke kantor pendaftaran agar dapat dilihat oleh publik;

13. Tidak boleh dieksekusi selain dengan lelang, benda objek jaminan hipotek tidak dapat langsung dieksekusi menjadi milik kreditur meskipun diperjanjikan seperti itu oleh para pihak.[4]

Objek hipotek sendiri ialah benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangangkan. Sementara mengenai subjek hipotek ada 2 (dua) pihak yakni Pemberi Hipotek dan Penerima Hipotek. Pemberi hipotek adalah mereka yang memberikan suatu hak kebendaan atas benda tidak bergerak, dengan suatu utang yang terikat pada hipotek. Penerima hipotek yaitu pihak yang meminjamkan uang, lembaga keuangan non-bank atau lembaga perbankan.[5]

Apabila terjadi hal-hal tertentu, maka secara hukum hipotek dianggap telah hapus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1209 KUH Perdata yang berbunyi:

  1. karena hapunya perikatan;
  2. karena pelepasan hipoteknya oleh si berpiutang;
  3. karena penetapan tingkat oleh hakim.

Hapusnya hipotek karena hapusnya perikatan pokok adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian hipotek, yang merupakan perjanjian tambahan (assessoir), yakni assessoir terhadap perjanjian pokoknya yang berupa perjanjian utang-piutang atau perjanjian yang menimbulkan utang-piutang. Jika perjanjian utang-piutang atau piutangnya lenyap karena alasan apapun, maka jaminan hipotek sebagai tambahan juga menjadi lenyap. Berbeda halnya apabila pemberi hipotek (debitur) lalai dalam memenuhi kewajibannya dalam perjanjian, maka eksekusi hipotek dapat dilakukan.

Eksekusi hipotek adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang hipotek untuk menjual secara lelang atas benda jaminan yang debiturnya telah cidera janji, guna melunasi utang debitur tersebut. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan lelang dibutuhkan hubungan utang-piutang yang dijamin dengan hipotek. Selain melalui prosedur gugatan perdata biasa seperti kreditur-kreditur yang lain, bagi kreditur pemegang hipotek terdapat kemudahan dalam memperoleh pelunasan piutangnya, prosedur ini diatur dalam pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata.[6]

 

[1] Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.2

[2] Munir Fuady, Hukum Jaminan Utang, Erlangga, Jakarta, 2013, hlm.164

[3] Racjmadi Usaman, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hlm, 247

[4] Munir Fuady, Op.Cit

[5] Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. RajaGrafindo, Jakarta, 2004, h.200

[6] Adrian Sutedi, Op.Cit.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.