Hijab di Katredal: Perkawinan Beda Agama
Baru-baru ini media sosial dihebohkan dengan foto perkawinan beda agama dan pernikahan tersebut dilangsungkan di sebuah gereja di Kota Semarang. Dalam foto tersebut memperlihatkan seorang mempelai pria mengenakan jas hitam, mempelai wanita menggunakan gaun panjang berwarna putih yang dipadu dengan hijab.[1] Kedua pasangan ini diketahui melakukan kegiatan perkawinan di dua tempat, yakni di sebuah hotel untuk ijab, dan Gereja St. Ignatius Krapyak, Semarang untuk pemberkatan pada Sabtu 4 Maret lalu. Kedua pasangan tersebut, tampak didampingi pihak keluarga masing-masing.[2]
Perkawinan beda agama atau bisa disebut juga perkawinan antar agama adalah perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing berbeda agama sebagai contoh adalahperkawinan antara laki-laki atau perempuan muslim dengan laki-laki atau perempuan non-muslim. Sedangkan menurut para ahli menurut Rusli dan R. Tama, menyatakan bahwa perkawinan antar agama merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing- masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), tidak mengatur mengenai perkawinan beda agama. Secara pengertian, dalam Pasal 1 UU Perkawinan menyebutkan mengenai definisi perkawinan bahwa :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Makna “ikatan lahir”, memiliki pengertian bahwa para pihak yang terikat karena perkawinan secara formil merupakan suami istri baik bagi mereka dalam hubungan satu sama lain maupun bagi mereka dengan masyarakat luas. Pengertian “ikatan lahir batin” dalam perkawinan berarti dalam bathin suami istri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami istri dengan tujuan membentuk dan membina keluarga bahagia yang kekal, jelasnya dalam suatu perkawinan tidak boleh hanya ikatan lahir bathin saja atau ikatan bathin saja melainkan kedua unsur tersebut harus ada dalam setiap perkawinan
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 2 UU Perkawinan mengatur mengenai keabsahan suatu perkawinan yang menyebutkan bahwa :
- Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
- Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan tersebut menunjukkan syarat sah perkawinan menurut agama, sementara dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan sah menurut hukum setelah dipenuhinya ayat (1) terlebih dahulu yang kemudian dilakukan pencatatan atas keberlangsungan perkawinan tersebut. Perbuatan pencatatan itu tidaklah menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif.
Pada penerapannya UU Perkawinan tidak mengatur mengenai adanya perkawinan beda agama, ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan menunjukkan hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh karena itu dengan mendasarkan pada UU Perkawinan tidak dimungkinkan adanya perkawinan beda agama, sebab masing-masing agama telah memiliki ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang perinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan.
Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yaitu sebagai berikut :
- Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No.12 Tahun 1983.
- Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakanya menurut hukum agama salah seorang mempelai (bisanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahanya perkawinan mana yang dianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir) menjadi persoalan kembali tentang status perkawinan pertama.
- Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasagannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk patuh terhadap hukum.
- Yang sering dipakai belakangan adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia.[4]
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 UU Perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UU Perkawinan, maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan.
Berkaitan dengan perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut, memiliki akibat hukum terhadap beberapa hal sebagai berikut :
- Akibat hukum terhadap status dan kedudukan anak
Bahwa anak sah dalam pasal 42 UU Perkawinan yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya anak tergantung pada sah atau tidaknya suatu perkawinan. Sehingga, anak dari hasil perkawinan berbeda agama adalah anak tidak sah atau anak luar kawin.
- Akibat hukum terhadap status perkawinan
Dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing untuk menentukan boleh tidaknya perkawinan berbeda agama. Pada kenyataannya, semua agama di Indonesia melarang perkawinan berbeda agama. Sehingga perkawinan berbeda agama juga dilarang menurut UU Perkawinan dan hal tersebut mengakibatkan perkawinan tersebut tidak sah baik secara hukum agama maupun hukum nasional.
Dengan demikian, perkawinan beda agama dalam hukum positif yang ada dan mengatur tentang perkawinan di Indonesia yakni, UU Perkawinan sebenarnya tidak memberikan pengaturan yang jelas terhadap perkawinan beda agama. Namun, makna dari ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU Perkawinan yang mengembalikan kepada hukum agama masing-masing. Di Indonesia sendiri yang menganut pluralisme dalam berkehidupan, bagi agama-agama yang ada di Indonesia tidak menganut perkawinan beda agama. Sehingga perkawinan beda agama tersebut merupakan perkawinan yang tidak dapat diperbolehkan menurut UU Perkawinan. Perkawinan beda agama juga memiliki akibat hukum terhadap status anak dan status perkawinan itu sendiri.
[1] CNN Indonesia, Viral Nikah Beda Agama di Semarang, Wanita Islam dengan Pria Katolik, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220308093007-20-768117/viral-nikah-beda-agama-di-semarang-wanita-islam-dengan-pria-katolik
[2] Wahyu Asyari Muntoha, Viral Pernikahan Beda Agama di Semarang, Wakil Menteri Agama: Tidak Tercatat di KUA, https://www.suaramerdeka.com/religi/pr-042900119/viral-pernikahan-beda-agama-di-semarang-wakil-menteri-agama-tidak-tercatat-di-kua
[3] Dewi Sukarti, Perkawinan Antar agma menurut Al-qur’an dan Hadis Vol. 15, PBB UIN, Jakarta, 2003.
[4] Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaanya, CV. Gitama Jaya, Jakarta, 2003,
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanProfil Lidya Ulva Dwi Septiyowati, S.H., Staf Pertama...
Hukuman Penjara Sebagai Efek Jera Tindak Pidana
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.