Hak Tanah Yasan

Hak Tanah Yasan adalah salah satu hak atas tanah yang berlaku di Indonesia yang didasarkan pada hak adat, utamanya adalah hak yang berlaku di Jawa Timur. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomot 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960) yang menyatakan:

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

 

Hak-hak lain yang memiliki karakteristik sama dengan Hak Yasan tersebut diantaranya adalah hak andrabeni, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan. Hak-hak tersebut belum tercatat di Data Kantor Pertanahan, melainkan hanya terdaftar di Kantor Desa/Kelurahan setempat.

 

Hak Tanah Yasan juga dikenal oleh masyarakat Jawa Timur sebagai Petok D. Pada dasarnya, Petok D merupakan bukti pajak atas suatu lahan. Namun demikian, Pasal II Undang-Undang Nomot 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UU 5/1960) mengatur:

Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya. Undang-undang ini, yaitu : hak agrarisch eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grand Sultan, landerinjbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21

Oleh karena itu, Petok yang terbit sebelum berlakunya UU 5/1960 adalah sama kedudukannya dengan bukti kepemilikan, yang dapat digunakan oleh pemilik sebagai bukti untuk penerbitan Hak Milik Atas Tanah. Secara a contrario, maka Petok yang terbit setelah berlakunya UU 5/1960 tidak dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.

 

Pencatatan kepemilikan lahan tersebut dilakukan melalui beberapa media, yaitu:

  1. Buku A adalah buku yang menentukan nilai pajak di dalam 1 (satu) persil, dimana dalam 1 (satu) persil tersebut dibagi menjadi beberapa bidang dengan luas yang tidak sama. Pengelompokan persil didasarkan pada jenis tanah tersebut;
  2. Buku B adalah buku yang memuat nama para wajib pajak atas 1 bidang tanah;
  3. Buku C adalah buku desa yang berisi tentang daftar objek pajak dengan didasarkan pada nama subyek pajak; dan
  4. Buku D adalah bukti pembayaran pajak, yang sering juga disebut sebagai IPEDA dan dibawa oleh pemilik Hak Tanah Yasan;
  5. Kelasiran adalah gambar peta tanah yang telah disesuai dengan Buku C dengan menuliskan setiap identitas masing-masing bidang, seperti nama, nomor petok, nomor persil, dan kelas bidang tanah.

 

Umumnya, dikarenakan pencatatan masih berada di kantor desa/kelurahan, maka perpindahan Hak Tanah Yasan tersebut juga dilakukan secara sederhana dengan melaporkannya kepada kepala desa/kelurahan sebagai PPAT. Nantinya Kepala Desa/Kelurahan akan merubah seluruh buku dengan cara mencoret dan menuliskan nama pemilik baru, begitu juga dengan data yang ada pada peta kelasiran.

 

Banyak sengketa yang timbul karena terbitnya sertifikat hak atas tanah tidak sesuai dengan kelasiran atau data terbaru. Hal tersebut dikarenakan, tidak jarang orang-orang dahulu yang telah menjual lahannya ternyata masih menyimpan Petok D, sehingga ahli warisnya yang menemukan Petok D tersebut mengklaim bahwa dirinya memiliki Hak Tanah Yasan, meski telah ada orang lain yang berhak atas Hak Tanah Yasan tersebut.

 

Sengketa atas Hak Tanah Yasan tersebut, terkadang tidak hanya berkisar pada Hukum Perdata, melainkan juga dapat merembet sampai Hukum Pidana. Hal tersebut dikarenakan tidak menutup kemungkinan perangkat desa atau pihak-pihak terkait melakukan pemalsuan identitas Hak Tanah Yasan, seperti kasus dimana lahan yang tidak pernah diperjualbelikan oleh pemiliknya tiba-tiba sudah atas nama orang lain dan terbit Petok baru untuk orang lain tersebut. Tentunya praktek-praktek yang demikian sangat merugikan para pemilik Hak Tanah Yasan.

 

Penulis: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.