Hak Sebagai Justice Collaborator

Peranan justice collaborator sangat penting dalam mengungkap peristiwa tindak pidana. Di Indonesia sendiri, beberapa kasus yang telah menggunakan peranan justice collaborator tersebut dalam menuntaskan kasus-kasus besar seperti kasus red notice Djoko Tjandra, kasus penggelapan pajak Asian Agri Group, kasus korupsi pengadaan e-KTP.[1] Secara pengertiannya Justice Collaborator adalah salah satu tersangka dalam sebuah tindak pidana yang bukan pelaku utama dan dapat bekerjasama membongkar suatu tindak pidana beserta orang-orang yang terlibat. Istilah Justice Collaborator berasal dari bahasa Inggris yang berarti keadilan (Justice) dan kolaborator/bekerja sama (Collaborator) atau yang disebut juga Collaborator with Justice yang berarti kolaborator keadilan. Di Indonesia dalam dunia hukum Justice Collaborator diartikan saksi pelaku yang bekerjasama.

Fadli Rajab Sanjani berpendapat bahwa Justice Collaborator adalah seorang pelaku tindak pidana yang berstatus pelapor, informan atau saksi yang memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum.[2] Mengingat peranannya yang penting dalam mengungkapkan suatu peristiwa pidana, ada beberapa pengaturan justice collaborator dalam perundang-undangan di Indonesia, diantaranya sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK)
  3. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Colllaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
  4. Peraturan Bersama yang dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantrasan Korupsi, dan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor M.HH-11.HM.03.02.th.2011, Nomor PER045/A/JA/12/2011, Nomor 1 Tahun 2011, Nomor KEPB-02/01- 55/12/2011, Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.

Ide lahirnya saksi pelaku yang bekerjasama adalah agar aparat penegak hukum dapat membongkar kasus yang lebih besar, mengingat tindak pidana yang diatur dalam penerapan saksi pelaku yang bekerjasama adalah tindak pidana khusus yang terorganisir, seringkali dalam tindak pidana tersebut para pelaku saling menutupi jejak temannya sehingga sangat sulit untuk dipecahkan dan juga mengingat tindak pidana yang diatur dalam penerapan Justice Collaborator adalah tindak pidana yang notabennya sangat merugikan negara baik keuangan, keamanan dan juga lainnya.

Dalam sejarahnya Justice Collaborator pertama kali dikenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an. Pada saat itu banyak sekali mafia yang terjerat kasus hukum dan mereka menggunakan sumpah tutup mulut (omerta) untuk melindungi koloninya dari jerat hukum. Sehingga penegak hukum saat itu mulai melakukan perlindungan untuk terdakwa yang mau bekerjasama dalam memecahkan kasus hukum tersebut dengan mendapatkan perlindungan sebagai saksi, terlebih bisa mendapatkan pengurangan hukuman yang telah didapatkannya. Beberapa tahun berselang, negara-negara lain mulai menerapkan Justice Collaborator untuk memecahkan banyak kasus yang sangat pelik di negaranya seperti di Italia tahun 1979, Portugal tahun 1980, Spanyol 1981, Prancis 1986 dan Jerman 1989 dan berkembang ke berbagai negara hingga saat ini.[3]

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa persyaratan untuk mendapatkan perlindungan sebagai Justice Collaborator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) UU PSK yang menyatakan bahwa:

  1. tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK;
  2. sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana;
  3. bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya;
  4. kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis; dan
  5. adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya.

Ada beberapa keuntungan menjadi Justice Collaborator, dalam Pasal 5 Ayat (1) UU PSK mengatur hak-hak yang akan diperoleh seperti:

  1. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
  2. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
  3. memberikan keterangan tanpa tekanan;
  4. mendapat penerjemah;
  5. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
  6. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
  7. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
  8. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
  9. dirahasiakan identitasnya;
  10. mendapat identitas baru;
  11. mendapat tempat kediaman sementara;
  12. mendapat tempat kediaman baru;
  13. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
  14. mendapat nasihat hukum;
  15. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
  16. mendapat pendampingan.

Selain memperoleh hak-hak tersebut, Justice Collaborator juga mendapatkan penanganan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 10A Ayat (1) UUPSK berupa:

  1. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
  2. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau
  3. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Dengan demikian, adanya Justice Collaborator merupakan salah satu bentuk upaya luar biasa yang dapat digunakan untuk memberantas tindak pidana dengan melibatkan lapisan masyarakat termasuk juga pelaku dimana pelaku itu bersedia bekerjasama dengan aparat penegak hukum. Banyak perlindungan yang bisa diberikan aparat penegak hukum kepada Justice Collaborator diantaranya adalah sebuah penghargaan seperti remisi tambahan, keringanan penjatuhan hukuman pidana hingga pembebasan bersyarat atau penghargaan lainnya yang berlaku menurut perundang-undangan.

 

 

Penulis: Rizky P.J.

Editor: R. Putri J. & Mirna R.

 

 

[1] Tempo.co, Inilah 4 Kasus Besar yang Terbongkar karena Bantuan Justice Collaborator, https://nasional.tempo.co/read/1621779/inilah-4-kasus-besar-yang-terbongkar-karena-bantuan-justice-collaborator

[2] Fadli Rajab Sanjani, Penerapan Justice Collaborator Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal, JOM Fakultas Hukum Vol II No 2 Oktober 2015, hlm. 4

[3] Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Banding, 2000, hlm. 107-108.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.