Hak Atas Tanah Yang Bangunan Diatasnya Berstatus Cagar Budaya

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (selanjutnya disebut UU Cagar Budaya) menyatakan bahwa cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Terkait dengan artikel ini, yang dimaksud dengan bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1 angka 3 UU Cagar Budaya. Pasal 12 ayat (1) UU Cagar Budaya menyatakan bahwa :

“Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kepemilikan atas bangunan cagar budaya dapat dimiliki oleh orang perseorangan setelah melalui penetapan kepemilikan atas cagar budaya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) UU Cagar Budaya yang menyatakan sebagai berikut :

“Setelah tercatat dalam Register Nasional Cagar Budaya, pemilik Cagar Budaya berhak memperoleh jaminan hukum berupa:

    1. surat keterangan status Cagar Budaya; dan
    2. surat keterangan kepemilikan berdasarkan bukti yang sah”

Sebuah bangunan cagar budaya dapat dimungkinkan berdiri diatas tanah yang hak atas tanah tersebut terdapat hak atas tanah orang perseorangan. Hak atas tanah yang dapat dimiliki adalah hak-hak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sehingga hak milik juga termasuk didalamnya. Hak terkuat atas tanah merupakan hak milik. Namun, adanya asas pemisahan horizontal menimbulkan konsekuensi tersendiri terhadap pemisahan antara tanah dan bangunan, khususnya bagi pemegang hak milik atas tanah yang bangunan diatasnya ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.[1]Kepemilikan hak atas tanah yang bangunan diatasnya bangunan cagar budaya tidak dapat melakukan perbuatan terhadap tanah tersebut dengan sesuka hati karena terbatas oleh ketentuan Pasal 12 ayat (1) UU Cagar Budaya. Pemilik hak atas tanah harus memperhatikan fungsi sosial bangunan cagar budaya diatas tanah tersebut. Penjelasan Pasal 12 ayat (1) UU Cagar Budaya menyatakan bahwa fungsi sosial bangunan cagar budaya yang dimiliki oleh seseorang pemanfaatannya tidak hanya berfungsi untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan umum, misalnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, pariwisata, agama, sejarah dan kebudayaan.

Setiap orang yang memiliki cagar budaya memiliki kewajiban untuk memeliharanya sebagaimana ketentuan dalam Pasl 75 ayat (1) UU Cagar Budaya. Apabila cagar budaya tersebut ditelantarkan oleh pemiliknya maka dapat dikuasai oleh negara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 75 ayat (2) UU Cagar Budaya. Pemeliharaan cagar budaya dilakukan dengan cara sebagaimana ketentuan dalam Pasal 76 UU Cagar Budaya yang menyatakan sebagai berikut :

    1. Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia;
    2. Pemeliharaan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di lokasi asli atau di tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap;
    3. Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya;
    4. Perawatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus;
    5. Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya;
    6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Apabila terjadi kerusakan pada bangunan cagar budaya, maka pemilik atau yang menguasai wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang dibidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahui adanya kerusakan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UU Cagar Budaya. Apabila pemilik tidak melaporkan adanya kerusakan dalam jangka waktu tersebut, maka pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat mengambil alih pengelolaannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 ayat (2) UU Cagar Budaya. Apabila ingin dilakukan renovasi terhadap bangunan cagar budaya, maka harus memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 77 ayat (5) UU Cagar Budaya. Dalam UU Cagar Budaya dikenal dengan istilah pemugaran yang diatur dalam Pasal 77 UU Cagar Budaya yang menyatakan sebagai berikut :

    1. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.
    2. Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:
      1. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;
      2. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
      3. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; dan
      4. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.
    3. Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar Budaya.
    4. Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    5. Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya;
    6. Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka setiap pemilik bangunan cagar budaya memiliki kewajiban untuk melakukan upaya pelestarian cagar budaya, terlebih lagi ketentuan dalam Pasal 1 angka 7 UU Cagar Budaya yang menyatakan bahwa kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap cagar budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya. Apabila terdapat seseorang yang mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan upaya pelestarian cagar budaya, maka dapat diancam hukuman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana ketentuan dalam Pasal 104 UU Cagar Budaya.

Pada dasarnya kepemilikan atas cagar budaya oleh seseorang dapat dialihkan kepada orang lain maupun negara dengan cara pewarisan, hibah, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 16 ayat (3) UU Cagar Budaya. Apabila terjadi pengalihan bangunan cagar budaya tanpa adanya pengalihan hak atas tanah, maka tanah tersebut masih menjadi hak pemiliknya dan yang berubah kepemilikan hanyalah bangunan cagar budayanya. Namun, terhadap cagar budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota dilarang dialihkan tanpa ada izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai tingkatannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) UU Cagar Budaya. Apabila seseorang melakukan pengalihan kepemilikan terhadap cagar budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota tanpa izin izin dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai tingkatannya, maka dapat diancam dengan hukuman pidana penjaran paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

[1] http://e-journal.uajy.ac.id/12256/1/HK110131.pdf

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.