Hak Asasi Manusia Tentang Larangan Menuntut Seseorang atas Tindak Pidana yang Sama

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM) menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Indonesia merupakan negara yang mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan serta keadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 UU HAM. Salah satu hak asasi manusia yang dijamin dalam peraturan perundang-undangan adalah hak untuk mendapatkan keadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 17 UU HAM yang menyatakan sebagai berikut:

“Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”

Salah satu yang menjadi bagian dari hak asasi manusia dalam memperoleh keadilan yaitu hak untuk tidak dituntut atas tindak pidana yang sama atau yang biasanya dikenal dengan asas nebis in idem. Hak-hak yang merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan diatur dalam ketentuan Pasal 18 UU HAM yang menyatakan sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
  2. Setiap orang tidak boleh dit untut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya.
  3. Setiap ada perubahan dalam pe rturan perundang- undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
  4. Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai ada nya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  5. Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Hak bagi seseorang untuk tidak dapat dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, selain diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU HAM, juga diatur dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan sebagai berikut:

“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.”

Contoh kasus atas larangan menuntut seseorang atas tindak pidana yang sama terjadi dalam kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Sri Handoko dan Sri Suprihatin kepada Dedi Setiawan dan Tri Daryanto. Dalam kasus tersebut, Sri Suprihatin dan Sri Handoko telah diadili dan diputus pidana dalam putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 718/Pid.B/2013/Pn.Smg, namun kemudian Sri Suprihatin dan Sri Handoko diadili dan diputus pidana mengenai perkara yang sama dalam putusan yang berbeda dengan Nomor 719/Pid.B/2013/Pn.Smg.[1] Atas kejadian tersebut, kemudian terdakwa mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dengan alasan Judex Factie telah melakukan pelanggaran terhadap asas Nebis In Idem. Kemudian, Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Nomor 57 PK/PID/2015 yaitu Mengabulkan Permohonan Peninjauan Kembali Terpidana Sri Handoko dengan Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 719/Pid.B/2013/PN.Smg.[2]

[1] Krisna Vidya Antakusuma, Pertimbangan Mahkamah Agung Memutus Penuntutan Tidak Dapat Diterima (Nebis In Idem) Dalam Perkara Pembunuhan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 57 PK/PID/2015), Jurnal Hukum Verstek, Vol. 7, No. 1, Semarang : Universitas Negeri Sebelas Maret, 1 Januari-April 2019, hal. 147.

[2] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.