Hadhanah

Hadhanah berasal dari bahasa Arab, dengan asal kata, hadhanah hadinatun,( اِحْ تَضَنَ ) ihtadhana,( حَضْنًا) hadnan ,( یَحْ ضُن) yahdun,( حَضَ ن),), جَوَاضِن) hawadin), حَاضِنَةٌ ) yang artinya mengasuh anak, memeluk anak ataupun pengasuh anak.[1] Secara istilah Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil laki-laki ataupun perempuan yang sudah besar, tapi belum tamyiz tanpa perintah padanya, menjadikan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya, dari suatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.[2]

 

Sedangkan pemeliharaan anak adalah pemenuhan untuk berbagai aspek kebutuhan primer dan sekunder anak. Pemeliharaan anak meliputi berbagai aspek yaitu pendidikan, biaya hidup kesehatan, ketentraman dan segala aspek yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam ajaran Islam diungkapakan bahwa tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu beralih kepada istri untuk membantu suaminya apabila suami tidak mampu melaksanakan kewajibannya[3]. Oleh karena itu, amat penting mewujudkan kerja sama dan saling membantu antara suami istri dalam memelihara anak sampai dewasa. Hal yang dimaksud pada prinsipnya adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya. [4]

 

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tuanya atau suatu pekerjaan untuk mengurus kepentingan anak-anak baik laki-laki atau perempuan yang belum mumayyiz atau yang sudah dewasa tapi belum mampu mengurus diri dan urusannya sendiri karena  kehilangan kecerdasannya. Hadhanah ini dilakukan oleh seorang wanita yang mempunyai hak hadhanah hal ini dilakukan dalam segala kepentingan anak asuh seperti pakaian, makanan, kesehatan jasmani dan rohani, mendidiknya agar dia mampu mengurus dirinya sendiri untuk hidup dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

 

Lebih lanjut hak asuh anak akibat perceraian dijelaskan dalam Pasal 155 Insutruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:

  1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh;
  2. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
  3. Ayah;
  4. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
  5. Saudara Perempuan dari anak yang bersangkutan;
  6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
  7. Anak yang sudah mumayyis berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
  8. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan Rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
  9. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
  10. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d);
  11. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya[5].”

 

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada dasarnya hadhanah adalah pengasuhan terhadap anak, yang merupakan kewajiban orang tua kepada anak. Adapun ketika terjadi perceraian, maka hadhanah terhadap anak yang belum cukup umur pada dasarnya jatuh kepada ibu dan biaya hadhanah menjadi kewajiban ayah, kecuali dapat dibuktikan bahwa ibu tidak mampu untuk mengasuh anak.

 

Penulis: Hasna Maziyah Asshofri, S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT Mahmud Yunus Wadzurya, 1989), cet. ke-2, h. 104.

[2] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Penterjemah Mohammad Thalib, Judul Asli Fiqh assunnah, (Bandung: PT al-Ma’arif, 1980), cet. ke-8, h. 173.

[3] Pasal 80 Ayat 4 Kompilasi Hukum Islam

[4] Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. ke- 3, h. 64.

[5] Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.