Golongan-Golongan Ahli Waris Dalam Islam

Golongan-Golongan Ahli Waris Dalam Islam merupakan salah satu hal yang penting diketahui oleh orang-orang yang tunduk pada hukum waris Islam. Hukum waris adalah suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia guna diberikan kepada yang berhak seperti: keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.[1] Sementara mengenai hukum waris islam, secara harfiah berasal dari kata warasah yang berarti hukum yang mengatur tentang pemindahan tirkah (hak pemilikan harta peninggalan) dari al-muwaris (orang yang mewariskan) kepada al-waris (ahli waris) dengan menetapkan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa hak atau bagian yang berhak diterimanya. Istilah waris dalam kitab fiqh dinamakan dengan istilah faraidh yang merupakan bentuk jamak fard yang berarti ketentuan.[2]

 

Adapun Rifa’i Arief mendefinisikan ilmu faraidh sebagai kaidah-kaidah dan pokok-pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris) dan cara membagikan harta peninggalan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.[3] Ketentuan mengenai hukum waris islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Quran dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunnahnya. Sekalipun umat Islam memiliki Al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak berarti bahwa umat Islam telah memiliki hukum Islam positif.[4] Atas dasar hal tersebut, dibuatlah hukum positif yang disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yaitu Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam yang telah ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 (KHI).

 

Salah satu hal yang diatur dalam KHI adalah Buku II tentang Hukum Kewarisan. Pasal 171 huruf a KHI mendefinisikan hukum kewarisan bahwa:

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Sementara pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Sedangkan ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.[5] Lebih lanjut, golongan ahli waris disebutkan dalam Pasal 174 KHI yang berbunyi:

  • “Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
  1. Menurut hubungan darah:
  • Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
  • Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak: perempuan, saudara perempuan dari nenek.
  1. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
  • Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.”

Dari golongan-golongan ahli waris tersebut sebagian mempunyai bagian (fardh) tertentu, yakni bagian yang telah ditentukan kadarnya (furudhul muqaddarah), mereka disebut ahli waris ashabul furudh atau dzawil furudh atau dzawil furudz. Sebagian lainnya tidak mempunyai bagian tertentu, tetapi mereka menerima sisa pembagian setelah diambil oleh ahli waris ashabul furudh atau ashabul furudz, mereka disebut ahli waris ashabah.[6]

 

Ashabul Furudh atau dzawil furudh adalah para ahli waris yang mempunyai bagian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’ (dalam Al-Qur’an), yang bagiannya itu tidak akan bertambah atau berkurang kecuali dalam masalah-masalah yang terjadi radd atau ‘aul.[7] Bagian-bagian yang ditentukan dalam Al -Qur’an hanya ada enam yaitu 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Orang-orang yang berhak menerima bagian-bagian tersebut yaitu:

  1. Suami, sebagaimana diatur dalam Pasal 179 KHI. Bagian suami ditentukan menjadi 2 (dua) macam tergantung situasi dan kondisi dimana suami tersebut menjadi ahli waris yaitu bagian suami sebesar 1/4 harta warisan apabila pewaris meninggalkan anak kandung dan penerusnya. Bagian suami sebesar 1/2 harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak kandung dan penerusnya.
  2. Istri, sebagaimana diatur dalam Pasal 180 KHI. Bagian istri ditentukan menjadi 2 (dua) macam tergantung situasi dan kondisi tertentu, yaitu bagian istri sebesar 1/8 harta warisan apabila pewaris meninggalkan anak kandung dan penerusnya. Bagian istri menjadi 1/4 harta warisan apabila pewaris tidak meninggalkan anak kandung dan penerusnya.
  3. Ayah, sebagaimana diatur dalam Pasal 177 KHI bahwa bagian ayah sebesar 1/6, namun dalam beberapa situasi dan kondisi tertentu dapat menjadi ashabah dengan ketentuan sebagai berikut, bagian ayah menjadi 1/6 apabila mewaris bersama-sama dengan anak atau cucu laki-laki (dari anak laki-laki). Ayah menjadi ahli waris ashabah apabila tidak ada anak laki-laki ataupun cucu laki-laki (dari anak laki-laki). Ayah juga dapat menerima 1/6 bagian sekaligus menjadi ashabah apabila mewaris bersama-sama dengan anak perempuan dan/atau cucu perempuan (dari anak laki-laki).
  4. Ibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 178 KHI ditentukan menjadi 2 (dua) macam tergantung situasi dan kondisi tertentu yakni bagian ibu 1/6 apabila ada anak, cucu (dari anak laki-laki) atau lebih dari seorang saudara pewaris. Bagian ibu 1/3 harta warisan apabila tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) atau lebih dari seorang saudara pewaris.
  5. Anak perempuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 176 KHI bahwa besar porsi bagian yang berhak diterima anak perempuan terdiri dari 3 (tiga) macam tergantung situasi dan kondisi tertentu, yaitu bagian anak perempuan sebesar 1/2 harta warisan apabila hanya ada seorang dan tidak ada anak laki-laki. Bagian anak perempuan 2/3 harta warisan apabila ada 2 (dua) orang atau lebih anak perempuan. Bagian anak perempuan dapat menjadi ashabah oleh adanya anak laki-laki dengan ketentuan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian seorang anak perempuan.
  6. Cucu perempuan, ada beberapa hal dalam menentukan bagian dari cucu perempuan yaitu mendapatkan bagian 1/2 harta warisan apabila hanya seorang atau tidak ada anak pewaris yang lain. Mendapatkan 2/3 harta warisan apabila terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih cucu perempuan. Mendapatkan 1/6 bagian dari harta warisan untuk satu orang atau lebih cucu perempuan apabila terdapat seorang anak perempuan. Akan tetapi, cucu perempuan juga dapat terhalang menjadi ahli waris oleh adanya ahli waris anak laki-laki dan atau 2 (dua) orang atau lebih anak perempuan.
  7. Saudara perempuan kandung, sebagaimana diatur dalam Pasal 182 KHI, bagian waris dari saudara perempuan kandung adalah mendapat 1/2 bagian dari harta waris apabila hanya satu orang dan tidak ada anak, cucu (dari anak laki-laki) atau ayah. Mendapat 2/3 bagian apabila ada 2 (dua) orang atau lebih saudara perempuan dan tidak terdapat anak, cucu (dari anak laki-laki) atau ayah. Akan tetapi jalan mewaris saudara perempuan ini akan tertutup apabila ada ayah, anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki.
  8. Saudara laki-laki dan perempuan seibu, sebagaimana diatur dalam Pasal 181 KHI bahwa terdapat 3 (tiga) jenis untuk menentukan bagian waris saudara laki-laki dan perempuan seibu yaitu mendapatkan 1/6 bagian apabila hanya ada satu orang dan tidak ada ayah, kakek, anak atau cucu. Mendapatkan 1/3 bagian apabila ada 2 (dua) orang atau lebih dengan syarat tidak ada ayah, kakek, anak atau cucu (dari anak laki-laki). Hak waris saudara laki-laki atau perempuan seibu ini tertutup apabila ada ayah, kakek, anak atau cucu (dari anak laki-laki).
  9. Kakek, ketentuan bagian kakek sama dengan bagian ayah namun ada perbedaannya yang mana dalam hal ini kakek tidak menutup hak waris saudara kandung atau seayah, akan tetapi karena kedudukan kakek menggantikan ayah maka hak waris kakek pun akan tertutup dengan adanya ayah.
  10. Nenek, dalam hal ini adalah nenek dari garis ibu dan garis ayah, mendapatkan 1/6 bagian untuk satu orang atau lebih nenek dari garis ayah dan atau ibu. Nenek dari 2 (dua) garis tersebut tertutup oleh ibu. Nenek dari garis ayah tertutup oleh ayah (tidak menutup nenek dari garis ibu).[8]

 

Sementara itu, ashabah adalah kelompok ahli waris yang bagiannya tidak ditentukan secara pasti, sehingga mereka yang tergolong dalam kelompok ini mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan keseluruhan harta bila tidak ada ahli waris yang telah pasti bagiannya tersebut di atas, atau mendapat sisa harta sesudah pembagian, atau bahkan tidak menerima bagian sama sekali karena sudah habis diambil oleh ahli waris yang mempunyai bagian pasti.[9] Dengan demikian dapat dipahami bahwa golongan ahli waris yang ditentukan dalam KHI terdapat 2 (dua) jenis yaitu golongan Ashabul Furudh dan golongan ashabah.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] Martosedono, Hukum Waris, Dahara Prize, Semarang, 1998, halaman 3

[2] Rachmat Taufiq Hidayah, Almanak Alam Islami Sumber Rujukan Keluarga Muslim Milenium Baru, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, halaman 322

[3] Ahmad Rifa’i Arief, Tafsir al-Ma’sur fil’ilmi al-Faraidh, Ponpes Daar El-Qolam, Tangerang, halaman 1

[4] Amir Hamzah, Hukum Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam, Cet. I, IKIP Malang, Malang, 1994, halaman 2

[5] Pasal 171 Huruf b dan c

[6] Ellyne Dwi Poespasari, Kapita Selekta Hukum Waris Indonesia, Kencana, Jakarta, 2020, halaman 194

[7] Ibid., halaman 195

[8] Ibid., halaman 196-200.

[9] Ibid., halaman 201

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.