Gencatan Senjata Israel dan Palestina

Beberapa bulan ini, konflik antara Palestina dan Israel kembali muncul. Banyak orang dan pihak yang menyuarakan dukungannya kepada Palestina, bahkan beberapa berita menyebut warga Yahudi di Amerika mendukung Palestina. Palestina pada awalnya merupakan bagian dari Negara Turki Utsmani. Pada tahun 1917, akibat kekalahan Turki Utsmani dalam Perang Dunia I wilayah ini dikuasai oleh Inggris, hingga pada akhirnya sebagian besar wilayah ini (48%) dikuasai oleh Yahudi (Israel) atas dasar penyerahan dari Inggris. Atas dukungan dari beberapa negara barat, khususnya Inggris, orang-orang Yahudi mendeklarasikan Israel sebagai satu negara merdeka pada tanggal 15 Mei 1948. Pada tahun itu pula, Israel secara keji dan membabi buta telah membunuh dan menyiksa penduduk Palestina, baik yang berjenis kelamin laki-laki, perempuan, bayi, remaja, maupun dewasa, dimana peristiwa tersebut dikenal sebagai peristiwa Deir Yasin 1948. Kenyataan yang lebih buruk lagi adalah ketika Israel menang dalam perang enam hari pada bulan Juli 1967. Yerusalem Timur dikuasai, Masjid Al-Aqsa dan Bayt Al-Maqdis dikuasai secara politik dan perundang-undangan, serangan dan pembunuhan keji dilakukan oleh Israel terhadap Palestina secara terus menerus. Kemudian pada tanggal 21 Agustus 1969, Masjid Al-Aqsa dibakar, sehingga sebagian besar, termasuk mimbar yang berusia 1000 tahun musnah.[1]

Beberapa bulan setelah perang Juni 1967, pemukiman Israel pertama, Kfar Etzion, dibangun di Tepi Barat pada wilayah strategis utama atas dalih militer tapi berpenduduk jarang. Pada tahun 1968, penghasut sayap kanan Israel, Rabbi Moshe Levinger menyelundup ke Hebron dengan para pengikutnya dari Gerakan Tanah Israel untuk merayakan Paskah dan menolak untuk kembali darisana. Pada tahun yang sama, Dewan Keamanan PBB mengumpulkan 13 suara dan 2 abstain untuk mengadopsi Resolusi 252 “menegaskan kembali bahwa pencaplokan wilayah oleh penaklukan militer tidak dapat diterima”. Selama periode yang sama, gerakan Gush Emunim mulai dikenal setelah perang Arab-Israel tahun 1973, mengorganisir unjuk rasa, pawai dan aksi mendukung pembangunan permukiman. Gerakan ini memenangkan pencapaian penting pada 1975 ketika pemerintah mengizinkan Eilon Moreh dibangun dekat Nablus.[2]

Tahun 1977, Perdana Menteri Yitzhak Rabin menyetujui pembangunan permukiman Maale Adumim, yang akhirnya menjadi pusat industri utama dengan lebih dari 30.000 orang. Pada tahun 1978, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat dibawah Presiden Jimmy Carter menganggap bahwa permukiman Israel tidak konsisten dengan hukum internasional. Namun, kemudian partai sayap kanan, Likuid yang dipimpin Menachem Begin mulai berkuasa dan secara aktif membangun permukiman di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menyiapkan bantuan keuangan dan kelonggaran pajak untuk pertama kalinya demi mendorong orang Yahudi Israel pindah ke tanah Palestina yang mereka duduki. Setelah 13 tahun penaklukan Yerusalem Timur, pada tahun 1980 Israel mengesahkan UUD: Yerusalem, Ibu Kota Israel, yang dinyatakan dalam Pasal 1 bahwa Yerusalem lengkap dan bersatu adalah ibu kota Israel, meresmikan pencaplokannya atas tanah Palestina.[3]

Memasuki tahun 1980, penduduk Palestina bangkit bersatu ingin membebaskan dan membela diri dari cengkeraman Israel. Gerakan tersebut dikenal dengan nama Intifadah I yang berlangsung hingga tahun 1993, yang kemudian reda setelah adanya perjanjian Oslo menuntut perdamaian dan juga rupanya memperbolehkan rakyat Israel hidup bebas di Palestina. Pada akhir tahun 2008-22 Januari 2009, Israel gencar melancarkan serangan dengan menggunakan bom yang mengakibatkan rumah ibadah, sekolah, rumah hunian penduduk serta sarana umum hancur. Serangan tersebut dilakukan dengan alasan untuk memerangi Hamas yang memerintah Gaza sejak Maret 2006, yang oleh Israel dianggap sebagai golongan teroris yang harus diperangi, dan melakukan lobby dengan negara-negara Barat untuk tidak memberikan bantuan keuangan kepada Hamas. Upaya pembebasan Palestina dari Israel telah dipikirkan pada level negara-negara arab seperti Yordania, Mesir, Arab Saudi dan Suriah, yang sampai pada kesimpulan perjuangan bersama untuk membebaskan Palestina dari pendudukan Israel sejak tahun 1948. Akan tetapi sebelum pasukan Liga Arab bergerak, pada 5 Juni 1967, Israel yang didukung oleh Inggris dan Perancis lebih dulu memborbardir pesawat-pesawat tempur Mesir, Yordania dan Suriah yang masih terparkir di bandaranya masing-masing. Akibat dari serangan tersebut 80% persenjataan Mesir hancur, kemudian dalam waktu 6 (enam) hari, Israel berhasil menjajah wilayah Palestina yang masih tersisa yaitu Tepi Barat 5878 km dan Gaza 363 km; Gurun Sinai milik Mesir 61198 km; dan dataran tinggi Golan 1150 km2. Bukan hanya itu, pasukan tempur Yahudi tersebut berhasil memasuki wilayah Al-Quds dan Masjidilaqhsa.[4]

Dalam upaya pembebasan Palestina dari Israel, pemuda Palestina yang ada diluar negara-negara Timur Tengah ingin berjuang melalui organisasi, organisasi yang muncul pertama kali dari kalangan Arab-Muslim Palestina adalah Fatah yang dideklarasi pertama di Kuwait pada 1957. Selain Gerakan Fatah, terdapat pula Organisasi Pembebasan Palestina (OPP). Organisasi ini muncul pertama atas prakarsa Presiden Liga Arab Jamal Abdul Naser, yaitu pada tahun 1959 dalam persidangan Liga Arab menyerukan adanya wadah bersatu perjuangan Palestina, dan menunjuk Ahmad Hilmi Abdul Baqi sebagai ketua OPP sekaligus representasi pemerintahan rakyat Palestina. OPP dengan dukungan Mesir berhasil eksis dan membentuk Majelis Nasional Palestina yang kemudian mengadakan konferensi pertamanya di kota al-Quds pada 28 Mei 1964 dengan dihadiri oleh 422 delegasi, representasi rakyat Palestina, dengan pembinaan Raja Husein dari Yordania. Pada konferensi tersebut dilegalkan OPP dengan Piagam Nasional Palestina, dibentuk pasukan pembebasan Palestina dan upaya-upaya mobilisasi dan informasi ditingkatkan. Akhirnya pada Oktober tahun 1974 OPP mendapat pengakuan negara-negara Arab sebagai organisasi tunggal rakyat Palestina yang legal, kemudian pada bulan November OPP membuat prestasi politis ketika Yasser Arafat (ketua OPP sejak tahun 1969) mendapat kesempatan memberikan pidatonya di depan PBB di New York dan OPP diterima sebagai anggota pengawas. Pada tahun 1974 pula, Palestina mendapat klausul tersendiri dalam persidangan PBB untuk pertama kalinya. Selain itu, dalam resolusi 3236 yang dikeluarkan PBB tanggal 22 November 1975 dengan judul resolusi hak-hak bangsa Palestina, yaitu untuk menentukan masa depan mereka, hak merdeka dan berdaulat, hak kembali ke negerinya, hak untuk mengembalikan hak-hak fundamentalnya dengan segala cara sesuai tujuan piagam PBB.[5]

Tahun 2002, Israel mulai membangun tembok pemisah yang kontroversial dengan panjang 670 km, 85% rutenya berada di dalam Tepi Barat dan mengelilingi blok permukiman utama Israel. Kemudian tahun 2005, PM Israel garis keras, Ariel Sharon, penggagas gerakan pemukim, secara sepihak menarik 8.500 pemukim dari jalur Gaza. Sejak 1967, Israel telah membangun lebih dari 21 pemukiman Yahudi di wilayah pesisir. Lebih dari setengah warga Israel menentang evakuasi. Selanjutnya pada tahun 2017, sejak Presiden Donald Trump mulai berkuasa, beliau mengeluarkan kebijakan lama Amerika tentang solusi dua negara dan menunjuk David Friedman sebagai duta besar AS untuk Israel. Friedman dikenal sebagai penyokong pembangunan permukiman Israel, israel menyetujui pemukiman baru pertama di Tepi Barat yang diduduki selama dua dekade pada 2017 di dekat kota Nablus, Palestina. Kemudian tahun 2017, Presiden Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, menolak klaim Palestina atas kota tersebut. Selain itu, Presiden Trump pada bulan Maret 2019, secara resmi mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan yang diduduki, disita dari Suriah pada tahun 1967.[6]

Asisten Profesor Maha Nassar dari Sekolah Studi Timur Tengah dan Afrika Utara di University of Arizona, berpendapat bahwa dukungan dari negara kuat seperti Amerika Serikat membuat konflik ini semakin sulit untuk diakhiri. Keputusan pemerintahan Trump baru-baru ini untuk memindahkan Kedutaan Besar AS di Israel ke Yerusalem dianggap siginifikan secara simbolis meningkatkan ketegangan karena dianggap mengindikasikan dukungan untuk posisi Israel di Yerusalem. Hambatan besar lainnya termasuk lokasi perbatasan yang tepat, nasib para pengungsi Palestina; dan masalah tentang permukiman Yahudi di wilayah Palestina, dimana hampir setengah juta warga Israel Yahudi sekarang telah membangun rumah dimana PBB dan sebagian besar masyarakat Internasional menganggapnya pemukiman ilegal. Profesor Nassar mengatakan bahwa perdamaian tidak akan mungkin tercapai sampai Palestina diperlakukan dengan hak yang sama untuk kebebasan dan martabat seperti orang lain. Dr. Gil Merom, Pakar Keamanan Internasional dari University of Sydney kepada SBS News menyatakan bahwa prospek untuk perdamaian di masa depan, tidak ada yang terlalu optimis dalam jangka pendek hingga menengah. Di jalur Gaza, kekerasan terus berkobar, gencatan senjata yang rapuh sudah terbentuk tetapi terus goyah.[7]

Situasi konflik Israel dan Palestina pada Mei 2021 terjadi penyerangan oleh Israel di area kompleks masjid Al-Aqsa dan sejumlah jet tempur Israel menyerang beberapa lokasi di Gaza City. Alasan Israel menyerang Palestina dilakukan usai Netanyahu mengisyaratkan bahwa perang keempat dengan Hamas, yang menguasai Gaza, akan terus berlanjut. Bahkan kantor berita seperti Al Jazeera dan Associated Press pun diserang. Gencatan senjata pada akhirnya menjadi jalan yang disepakati Israel dan Hamas setelah terjadi pertempuran berdarah selama 11 hari. Menurut Hamas, gencatan senjata mulai berlaku pada tanggal 21 Mei 2021 pukul 02.00 waktu setempat. Sementara itu, pihak Israel melalui Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengkorfirmasi gencatan senjata dengan Hamas yang telah menguasai Gaza. Netanyahu menerima usulan gencatan senjata yang ditawarkan Mesir. Israel dan Palestina menyepakati gencatan senjata setelah berhari-hari melakukan aksi saling serang.[8]

Menurut pakar Hubungan Internasional dari Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menilai detail dari kesepakatan gencatan senjata yang disetujui Israel dan Palestina belum sepenuhnya tersampaikan kepada dunia. Seharusnya dalam gencatan senjata tersebut disampaikan sejumlah kesepakatan, misalnya tidak melakukan pengeboman hingga tidak melakukan sabotase infrastruktur publik, dan lain-lain. Menurutnya, jika gencatan senjata tersebut tidak diperhatikan secara detail dikhawatirkan pihak Israel menyimpang dari kesepakatan yang telah dibuat. Teuku Rezasyah berharap PBB melakukan monitoring terhadap kesepakatan gencatan senjata tersebut agar dilakukan dengan baik.[9] Pasca keputusan gencatan senjata disetujui kedua pihak, situasi kedua negara tampak jauh lebih tenang tanpa adanya asap-asap roket yang jatuh, masyarakat bergembira karena setidaknya saat ini tidak ada serangan yang mengancam keselamatan jiwa mereka. Berdasarkan laporan Reuters pada tanggal 21 Mei 2021 dini hari pukul 02.00 waktu setempat, masyarakat di jalur Gaza turun ke jalan merayakan gencatan senjata dengan meneriakkan sanjungan dan rasa syukut kepada Tuhan.[10]

Kelompok militan Palestina yang menguasai Jalur Gaza, Hamas, bersedia menandatangani perjanjian gencatan senjata dengan kontingen militer Israel dengan dua syarat, pertama pasukan Israel harus menghentikan serangan ke kompleks Masjid Al-Aqsa dan menghormati situs tersebut, kedua Israel harus menghentikan evakuasi paksa warga Palestina di lingkungan Sheikh Jarrah. Kondisi tersebut sesuai dengan hukum internasional, bukan hanya syarat yang diharapkan oleh otoritas Hamas. Namun, menurut seorang pejabat Israel yang mengetahui langsung masalah tersebut, mengaku israel bagaimanapun tidak tertarik dengan syarat apapun.[11] Dengan suara bulat Israel menerima rekomendasi untuk menerima inisiatif Mesir untuk gencatan senjata tanpa syarat.

Sebagian masyarakat dunia turut mengambil peran dalam konflik Israel-Palestina yang tak kunjung usai ini. Ada yang mendukung dengan memberikan opini politik, opini kemanusiaan, hingga turut terjun langsung ke daerah konflik untuk membantu warga sipil yang menjadi korban dalam konflik yang terjadi antara Israel-Palestina. Jika merujuk pada pengertian Kejahatan Genosida dalam Statuta Roma dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kejahatan genosida adalah:

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:

    1. Membunuh anggota kelompok;
    2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
    3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
    4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
    5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.”

Jika dilihat dari pengertian tersebut, maka dapat dilihat bahwa apa yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina adalah lebih dari perlakuan Kejahatan Genosida. Hal tersebut karena Israel telah melakukan penjajahan terhadap Palestina sejak tahun 1948 yang dalam tindakannya tersebut didalamnya termasuk juga melakukan pembunuhan tanpa memandang apakah akan melukai warga sipil yang tidak ada kaitannya dengan perang atau tidak. Israel juga telah melakukan pemindahan secara paksa kepada penduduk Palestina, selain itu Israel dalam melakukan penyerangan juga tidak memandang apakah sasarannya berupa gedung pemerintahan, atau rumah sakit, atau tempat ibadah, atau sekolah, ataupun tempat umum lainnya yang didalamnya terdapat wanita dan anak-anak.

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelete, dalam sidang khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang diminta oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk mengupayakan penyelidikan internasional atas masalah HAM di Israel, Gaza dan Tepi Barat, pada tanggal 27 Mei 2021 mengatakan bahwa serangan udara Israel di Gaza mungkin merupakan kejahatan perang, sementara menekankan serangan roket oleh Hamas juga merupakan pelanggaran hukum internasional. Bachelete menyatakan bahwa harus ada proses perdamaian yang tulus dan inklusif untuk mengatasi akar penyebab ini dan mengakhiri pendudukan. Sementara itu, Bachelete menyerukan pada Hamas dan semua kelompok bersenjata untuk menahan diri dari penggunaan roket dan mortir tanpa pandang bulu, serta mempertanggungjawabkannya. Begitu pula bagi Israel, Bachelete mendesak untuk memastikan adanya pertanggungjawaban sesuai kewajiban dibawah hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional.[12]

Seperti yang diketahui dalam konflik Israel-Palestina yang terjadi baru-baru ini, bukan hanya Israel saja yang melakukan penyerangan terhadap Palestina tanpa memperhatikan sasaran, kelompok Hamas juga telah melakukan serangan roket terhadap Israel tanpa memperhatikan sasaran. Tindakan yang dilakukan oleh Israel dan kelompok Hamas tersebut sama-sama menunjukkan adanya pelanggaran dalam aturan Hukum Humaniter Internasional. Selain itu jika dilihat dari Pasal 28 Konvensi Jenewa yang pada intinya menyatakan bahwa penduduk sipil tidak akan menjadi obyek serangan-serangan sebagaimana tercermin dalam Pasal 51 ayat (2) Protokol Tambahan I. Sedangkan berkaitan dengan serangan terhadap bangunan dan insfrastruktur sipil yang menjadi sasaran dalam konflik Israel-Palestina tercantum dalam Pasal 52 Protokol Tambahan I Aturan Pokok Hukum Humaniter Internasional yang pada intinya menyatakan bahwa obyek-obyek sipil seperti bangunan dan infrastruktur yang tidak memiliki kontribusi efektif bagi aksi militer mendapatkan perlindungan umum.[13]

[1] Misri A. Muchsin. “Palestina dan Israel: Sejarah, Konflik dan Masa Depan”. Jurnal Miqot vol. XXXIX No. 2 Juli-Desember 2015. Hal. 398-400. https://media.neliti.com/media/publications/155247-ID-palestina-dan-israel-sejarah-konflik-dan.pdf

[2] Hari Ariyanti. “Sejarah Pendudukan Israel di Tanah Palestina Sejak 1967”. https://www.merdeka.com/dunia/sejarah-pendudukan-israel-di-tanah-palestina-sejak-1967.html?page=all

[3] Ibid.

[4] Op cit. Misri A. Muchsin. hal. 401-402.

[5] Ibid. hal 403.

[6] Op cit. Hari Ariyanti.

[7] Retno Wulandari dan Purnama Ayu Rizky. “Awal Mula Konflik Israel-Palestina: Semua yang Perlu Kita Tahu”. https://www.matamatapolitik.com/in-depth-awal-mula-konflik-israel-palestina-semua-yang-perlu-kita-tahu/ . 2021

[8] Tim Detikcom. “Kenapa Israel Menyerang Palestina, Ini Sejarah dan Awal Mulanya”. https://travel.detik.com/travel-news/d-5579888/kenapa-israel-menyerang-palestina-ini-sejarah-dan-awal-mulanya .

[9] Muhammad Ilman Nafian. “Detail Kesepakatan Gencatan Senjata Israel-Palestina dinilai Belum Jelas”. https://news.detik.com/berita/d-5578370/detail-kesepakatan-gencatan-senjata-israel-palestina-dinilai-belum-jelas/2 .

[10] Luthfia Ayu Azanella dan Rendika Ferri Kurniawan. “Gencatan Senjata Israel-Hamas dan Kondisi Terkini Gaza Palestina”. https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/21/153000165/arti-gencatan-senjata-israel-hamas-dan-kondisi-terkini-gaza-palestina?page=all .

[11] Bernadette Aderi Puspaningrum. “Hamas Ajukan Dua Syarat untuk Setujui Gencatan Senjata dengan Israel”. https://www.kompas.com/global/read/2021/05/20/150539070/hamas-ajukan-dua-syarat-untuk-setujui-gencatan-senjata-dengan-israel?page=all .

[12] Aditya Jaya Iswara. “Kepala HAM PBB: Serangan Israel di Gaza Mungkin Termasuk Kejahatan Perang”. https://www.kompas.com/global/read/2021/05/28/113135370/kepala-ham-pbb-serangan-israel-di-gaza-mungkin-termasuk-kejahatan-perang .

[13] Gulfino Guevarrato, dkk. “Analisis Hukum Konflik Bersenjata Antara Palestina dan Israel dari Sudut Pandang Hukum Humaniter Internasional.”. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa Universitas Jember 2014. http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/57258/Gulfino.pdf;jsessionid=19A39FD5750197116C03073340F53407?sequence=1 .

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.