Garis Besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPer) berdasarkan sejarahnya yaitu merupakan peraturan perundang-undangan yang berasal dari Belanda atau yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan nama Burgerlijk Wetboek (BW). Hukum perdata berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 Januari 1848 dengan Staatsblad tahun 1847 No. 23 yang diberlakukan oleh Belanda pada masa penjajahan.[1] Pada awal mulanya, hukum perdata pertama kali di dunia berasal dari bangsa Romawi pada masa pemerintahan Yulius Caesar di Eropa Barat.[2] Hal tersebut terus berlangsung hingga masa pemerintahan Louis XV yang mengkodifikasikan peraturan tersebut dengan nama “Code Civil Des Francois” pada 21 Maret 1804. Pada 1807 peraturan tersebut diubah kembali menjadi “Code Napoleon” yang memuat unsur-unsur hukum asli yaitu hukum adat Prancis Kuno (hukum Jerman), hukum gereja atau hukum katolik yang didukung oleh gereja Roma Katolik waktu itu.[3]

Kemudian pada tahun 1811, Belanda di jajah oleh Perancis dan seluruh Code Civil yang memuat ketiga unsur yaitu hukum Romawi, Hukum  Jerman dan hukum Gereja diberlakukan di negeri Belanda. Sedangkan Indonesia pada waktu itu merupakan jajahan Belanda sehingga hukum perdata Belanda yang sebagian besar berdasarkan pada Code Civil Prancis diberlakukan pula untuk Indonesia yang dikenal dengan nama KUHPer. Berlakunya hukum perdata Belanda tersebut di Indonesia bertalian erat dengan politik hukum pemerintah Hindia Belanda yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 golongan yaitu:

  1. Golongan Eropa yaitu semua orang Belanda, orang yang berasal dari Eropa, orang Jepang, orang yang hukum keluarganya berdasarkan azas-azas yang sama dengan hukum Belanda beserta anak keturunan mereka;
  2. Golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa misalnya orang Arab, India dan Pakistan;
  3. Mereka yang telah meleburkan diri dan menyesuaikan hidupnya dengan golongan Bumi Putera.

Penggolongan tersebut diatur dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang sampai sekarang KUHPer masih tetap berlaku di Indonesia berdasarkan ketentuan pasal 2 Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945.[4] Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat beberapa aturan dari KUHPer yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, oleh karena itu Indonesia membentuk peraturan baru yang mempengaruhi isi dan berlakunya KUHPer di Indonesia. Berikut contoh peraturan baru yang mempengaruhi isi KUHPer yaitu:[5]

  1. Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tanggal 24 September 1960, tahun 1960 Nomor 104 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mencabut semua ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak kebendaan yang bertalian dengan tanah dari buku II KUHPer kecuali mengenai hipotek. Artinya semua ketentuan-ketentuan yang mengenai hak kebendaan yang bertalian dengan tanah diatur dalam hukum yang baru yaitu hukum agraria, sehingga peraturan tentang tanah dalam KUHPer, kecuali hipotek sudah tidak berlaku lagi di Indonesia.
  2. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tanggal 1 April 1975 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) yang mengganggap tidak berlaku lagi semua peraturan-peraturan yang mengatur perkawinan sepanjang telah diatur dalam UU Perkawinan.
  3. Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 5 September 1963 Nomor 3 Tahun 1963, beberapa pasal atau ketentuan dipandang tidak berlaku lagi, yaitu:
    1. Pasal 108 –110 BW tentang ketidakwenangan bertindak seorang istri;
    2. Pasal 284 ayat 3 BW tentang pengakuan anak luar kawin yang lahir dari seorang wanita Indonesia;
    3. Pasal 1682 BW tentang keharusan dilakukannya hibah dengan akte notaris;
    4. Pasal 1579 BW tentang penghentian sewa menyewa dengan alasan akan memakai sendiri barang itu;
    5. Pasal 1238 BW tentang pengajuan gugat pelaksanaan suatu perjanjian.
    6. Pasal 1460 BW tentang resiko dalam perjanjian jual beli barang; dan
    7. Pasal 1603 ayat 1 dan 2 BW diskriminasi orang Eropa dan bukan Eropa dalam perjanjian perburuhan.

KUHPer yang berlaku di Indonesia hingga saat ini terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang terdiri atas 1993 Pasal. Secara garis besar, peraturan dalam KUHPer menjelaskan hal-hal sebagai berikut:

  1. Buku Kesatu menjelaskan tentang Orang (van persoonen) yang terbagi menjadi 18 (delapan belas) bab dan terdiri dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 498 KUHPer. Dalam Buku Kesatu KUHPer diatur perihal perorangan dan kekeluargaan;
  2. Buku Kedua menjelaskan tentang Barang (van zaken) yang terbagi menjadi 21 (dua puluh satu) bab dan terdiri dari Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232 KUHPer. Dalam Buku Kedua KUHPer diatur perihal hukum benda dan hukum waris. ­Hukum menjadi bagian dalam Buku Kedua KUHPer dikarenakan Buku Kedua memuat tentang tata cara memperoleh hak atas benda-benda,yaitu berupa benda-benda yang ditinggalkan dari seseorang yang meninggal dunia (waris);
  3. Buku Ketiga menjelaskan tentang Perikatan (van verbintennisen) yang terbagi menjadi 17 (tujuh belas) bab dan terdiri dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUHPer. Dalam Buku Ketiga KUHPer memuat hukum perjanjian yang berlaku bagi pihak-pihak tertentu. Selain itu Buku Ketiga juga memuat tentang hukum harta kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Hukum harta kekayaan termuat dalam Buku Kedua dan Ketiga KUHPer dikarenakan hukum kekayaan berkaitan dengan perikatan/perjanjian yang kemudian objeknya adalah benda sebagaimana dalam Buku Kedua KUHPer;[6]
  4. Buku Keempat menjelaskan tentang Pembuktian dan Kadaluwarsa (van bewijs en verjaring) yang terbagi menjadi 3 (tiga) bab dan terdiri dari Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993 KUHPer. Dalam Buku Keempat KUHPer memuat perihal alat pembuktian dan akibat lewat waktu terhadap hubungan hukum.

Saat ini KUHPer atau BW di Belanda sudah berhasil diubah dan dirombak menjadi Burgelijk Wetboek Baru Belanda. Hal tersebut dilakukan untuk modernisasi sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman. Upaya perubahan tersebut diawali pada tahun 1947 dan berhasil pada akhir tahun 1992 dengan pengundangan yang dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 1992.[7] Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa Belanda memerlukan waktu kurang lebih empat puluh lima tahun untuk melakukan perubahan terhadap BW.[8] Sedangkan di Indonesia, BW atau KUHPer masih berlaku hingga saat ini. Sejak awal kemerdekaan sudah ada usaha untuk mengantikan seluruh hukum kolonial dengan sistem hukum nasional, namun gagal dikarenakan adanya perbedaan pandangan dalam melihat  pembangunan hukum, yaitu apakah harus mengunakan hukum  nasional dan membuang sama sekali hukum sisa peninggalan  kolonial, di lain pihak masih banyak yang menghendaki berlaku bersama-sama, selain itu ada pandangan untuk mengunakan hukum adat sebagai hukum nasional.[9]

 

[1] Erie Hariyanto, Burgelijk Wetboek (Menelusuri Sejarah Hukum Berlakunya di Indonesia), https://core.ac.uk/download/pdf/229881675.pdf hal. 145.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Ibid, hal. 148.

[6] http://butew.com/2018/03/25/sistematika-dan-pembagian-hukum-perdata/

[7] Erie Hariyanto, Op Cit, hal. 149

[8] Ibid.

[9] Ibid, hal. 143.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.