Ganti rugi atas Pasal 77 dan Pasal 195 KUHAP

Dalam suatu tindakan baik pidana ataupun perdata terdapat dua pihak yakni pelaku dan korban. Dalam tindak pidana, korban adalah pihak yang dirugikan dalam suatu tindak kejahatan. Kerugian yang dialami oleh korban dapat berupa kerugian fisik, psikis ataupun materiil. Kerugian materiil sendiri terjadi karena hilang atau rusaknya benda yang dimiliki korban karena hasil tindak kejahatan tersebut. Mengenai ganti rugi dalam kitab undang-undang hukum pidana (selanjutnya disebut KUHP) terdapat pada Pasal 14C ayat (1) KUHP,  Apabila tergugat dikenakan pidana denda, selain ditetapkan syarat umum bahwa pelaku tidak akan melakukan tindak pidana lagi, ditetapkan juga syarat khusus yakni hakim memutuskan bahwa terpidana dalam waktu tertentu atau dalam masa percobaan, harus mengganti semua kerugian atau sebagian akibat tindak pidana tadi.[1]

Definisi ganti kerugian menurut Pasal 1 angka 22 Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP) yaitu “hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya berupa imbalan sejumlah uang karena penangkapan, penahanan, penuntutan atau proses peradilan lainnya yang bertentangan dengan undangundang.” Ketentuan mengenai ganti rugi juga tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Hakim) menyebutkan bahwa:

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.”

Terkait ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU hakim, pada KUHAP tepatnya pada Pasal 95 ayat (1) menyebutkan:

Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tidakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan

Mengenai tindakan lain dalam  ketentuan Pasal 95 ayat (1) KUHAP ialah tindakan-tindakan paksaan hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, penyitaan bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materiil[2]. Dan pada ketentuan dalam Pasal 95 ayat (2) KUHAP menyebutkan:  

“Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undangundang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud didalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77

Pasal 77 KUHAP berbunyi:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang:

    1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
    2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Mengenai putusan hakim berdasar pada ketentuan Pasal 195 KUHAP menyebutkan bahwa “Semua putusan pengadilan. hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum“. Dalam artian bahwa putusan hakim dinyatakan sah dan berlaku apabila keputusan itu telah dinyatakan dan diucapkan secara lisan dibilang terbuka untuk umum, dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan pahaman dan diketahui oleh orang-orang atau pihak yang bersangkutan.

Dengan ketentuan Pasal 95 KUHAP yang dikaitkan dengan Pasal 77 KUHAP, dapat diartikan bahwa Tuntutan ganti rugi bukan hanya dapat diajukan atas perkara yang telah diajukan ke Pengadilan, tetapi juga dapat diajukan atas perkara yang belum diajukan ke pengadilan atau dalam artian perkara tersebut dihentikan pada saat proses penyidikan atau pada saat penuntutan. Ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut “PP Pelaksanaan KUHAP”):

  1. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima
  2. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dildalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.

Mengenai besaran ganti rugi berdasarkan ketentuan Pasal 9 PP Pelaksanaan KUHAP yang berbunyi:

  • Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
  • Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
  • Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Dalam sebuah putusan pengadilan negeri Lubuk Basung putusan Nomor 01/Pid.Pra/2020/PN.Lbb[3], perkara antara Zukhendra sebagai Pemohon melawan Kepolisian Republik Indonesia atau Polisi Daerah Sumatera Barat yang diwakili oleh kuasanya. Dalam pokok perkaranya pemohon membuat delik aduan atas tindakan penangkapan terhadap  pemohon oleh termohon karena adanya laporan palsu yang dibuat oleh orang yang mengaku pemilik kebun sawit yang pada saat itu sedang dipanen oleh Pemohon, dan dilaporkan bahwa Pemohon melakukan pencurian sawit tersebut. Atas tindakan penangkapan yang tidak didasarkan bukti yang cukup maka Pemohon menuntut termohon atas kekeliruan dan tanpa alasan, hal tersebut didasarkan pada pasal 95 ayat (1) KUHAP dan merujuk juga paa pasal 9 ayat (1) UU 14/1970 tentang kekuasaan Kehakiman.

Dalam pertimbangan hakim tersebut, memberikan pertimbangan yang salah satunya adalah sebagai berikut:

  • Menimbang, Pemohon dalam petitumnya angka 5 dan angka 6 meminta agar Pengadilan Memerintahkan agar TERMOHON I dan TERMOHON II untuk membayarkan ganti kerugian sebesar Rp. 1000.000,- (Seratus Juta Rupiah) dan merehabilitir nama baik PEMOHON melalui surat kabar terbitan Ibu Kota Propinsi Sumatera Barat (Kota Padang) yang ditunjuk Pengadilan, jika tidak direhabilitir nama baik Pemohon, dapat memerintahkan TERMOHON I dan TERMOHON II untuk menggantinya dengan sejumlah uang sebesar Rp. 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah).
  • Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas maka menurut Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Pemohon tidak mampu membuktikan dalil permohonannya, sebaliknya Termohon I dan Termohon II telah mampu membuktikan dalil bantahannya, sehingga dengan demikian maka dalil Permohonan Pemohon adalah tidak berdasarkan hukum oleh karena itu harus ditolak untuk seluruhnya;

Memperhatikan, Pasal 77, Pasal 95 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Dengan ini hakim memutuskan bahwa

Dalam putusan perkara tersebut hakim mengadili:

  1. Menolak permohonan praperadilan Pemohon seluruhnya
  2. Membebankan biaya perkara kepada Pemohon

Dari contoh putusan diatas, hakim bisa saja memutuskan untuk mengabulkan Permohonan ganti rugi dan bisa menolak seluruhnya Permohonan Pemohon untuk meminta ganti rugi yang didasarkan pasal 95 KUHAP dan pasal 9 UU kehakiman. Penolakan hakim terhadap Permohonan tersebut di dasarkan atas kurangnya  atau tidak bisanya  dibuktikan bahwa Pemohon memang dirugikan atas tindakan yang dilakukan oleh Termohon, karena Pemohon tidak mampu membuktikannya maka hakim menjatuhkan putusan yang menyatakan permohonan tersebut ditolak.

[1] Penjelasan Pasal 14c Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

[2] Moch. Fasial Salam., Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.334-335

[3] https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/12c1c38abd88c67616be4814ded7d9e7.html

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.