Force Majeure dan Hardship

Force Majeure

Force Majeure atau sering dikenal dengan istilah overmacht, act of god, keadaan memaksa, keadaan darurat, atau keadaan kahar. Penggunaan Istilah force majeure, keadaan memaksa, keadaan darurat, keadaan kahar. Dalam praktik penggunaan kata Force Majeure di dalam isi perjanjian senantiasa selalu ada dan biasanya dicantumkan pada akhir klausula perjanjian.[1] Force Majeure adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya.

Dalam hal ini debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko dan tidak dapat menduga terjadinya suatu tersebut pada waktu akad perjanjian dibuat. Force Majeure akibat kejadian tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang di luar kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dijadikan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.[2]

Dalam KUHPerdata tidak ditemukan istilah Force Majeure, bahkan tidak menjelaskan apa yang disebut dengan keadaan memaksa atau hal terduga tersebut, namun istilah tersebut ditarik dari ketentuan-ketentuan dalam KUHPerdata yang mengatur tentang ganti rugi, resiko untuk kontrak sepihak dalam keadaan memaksa ataupun dalam bagian kontrak-kontrak khusus dan tentunya diambil dari kesimpulan-kesimpulan teori-teori hukum tentang Force Majeure, doktrin dan yurisprudensi. Namun di dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata terdapat rumusan klausa Force Majeure. Rumusan pada Pasal 1244 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya.”

Sementara dalam Pasal 1245 KUHPerdata menjelaskan mengenai pembebasan pembayaran biaya, rugi dan bunga apabila terjadi keadaan memaksa, yang menyebutkan bahwa:

Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Keadaan memaksa atau Overmacht atau Force Majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHPerdata ialah suatu keadaan dalam mana seseorang dengan tidak dapat diduga lebih dahulu berada dalam keadaan memaksa, sehingga ia tidak dapat memenuhi kewajibannya, karena hal-hal yang terjadi di luar kekuatan manusia yang dapat menyebabkan tidak dapat terpenuhinya prestasi dari debitur dan debitur tidak wajib menanggung resiko tersebut.

Dengan adanya Force Majeure tidak serta merta dapat dijadikan alasan debitur untuk berlindung dari alasan keadaan memaksa karena hanya ingin lari dari tanggung jawabnya, maka harus ada beberapa syarat supaya tidak terjadi hal demikian. Berdasarkan ketentuan pasal 1244 dan Pasal 1245 KUHperdata, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan Force Majeure adalah sebagai berikut:

  1. Ada peristiwa yang riil yang dapat dibuktikan menghalangi debitur berprestasi yang mana halangan tersebut membenarkan debitur untuk tidak dapat berprestasi atau tidak berprestasi sebagaimana diperjanjikan;
  2. Debitur harus bisa membuktikan dirinya tidak ada unsur bersalah atas peristiwa yang menghalangi ia berprestasi;
  3. Debitur harus bisa membuktikan bahwa halangan tersebut sebelumnya tidak dapat diduga pada saat pembuatan perjanjian.[3]

Dengan adanya beberapa syarat di atas maka seseorang tidak bisa semaunya sendiri mengatakan dirinya mengalami Force Majeure. Karena debitur bisa beralasan apapun agar dirinya bisa bebas dari tanggung jawabnya. Maka hakim dapat menyatakan seorang debitur tidak bersalah sehingga ia bisa lepas dari tanggung jawabnya untuk tidak memenuhi kewajibannya karena alasan Force Majeure.

Akibat hukum atas adanya Force Majeure, terdapat dua kategori yakni force majeure absolut dan force majeure relatif. Agus Yudha Hernoko dalam menyatakan bahwa apabila force majeure absolut, dampaknya adalah terhentinya pelaksanaan kontrak. Sementara force majeure relatif, pengakhiran perjanjian belum tentu berhenti. Tergantung bagaimana hasil negosiasi para pihak dalam perjanjian. Mungkin menunda pelaksanaan kontrak atau melakukan negosiasi yang hasilnya disepakati.[4]

Hardship

Masih berkaitan dengan kegagalan pemenuhan prestasi debitur dalam perjanjian, selain force majeure, berkembang pula istilah lain yang bernama hardship atau keadaan sulit. Hardship berkembang dalam praktik hukum kontrak internasional dan telah diakomodasi dalam aturan hukum kontrak internasional.[5] Berbeda dengan Force Majeure yang pengaturannya terdapat dalam KUHPerdata, Hardship belum diadopsi dalam aturan hukum positif di Indonesia.

Hardship didefinisikan sebagai suatu peristiwa yang diketahui atau terjadi setelah penutupan perjanjian yang di luar kontrol para pihak (tidak diduga atau diperkirakan sebelumnya), yang kemudian menimbulkan risiko berubahnya keseimbangan perjanjian secara mendasar, karena meningkatnya biaya pelaksanaan perjanjian sehingga membebani debitur, atau sebaliknya menurunnya biaya pelaksanaan perjanjian sehingga menghilangkan keuntungan bagi kreditur.[6]

Aturan tentang Hardship menentukan bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya dengan tunduk pada ketentuan tentang Hardship (sebagai perkecualian). Hal ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 6.2.1 UNIDROIT Principles for International Commercial Contracts (UPICCs) tentang Contract to be observed (Kontrak yang harus dipenuhi). Dalam ketentuan ini menentukan 2 (dua) hal pokok, yakni:

  1. Sifat mengikat dari kontrak sebagai aturan umum (binding character of the contract the general rule). Tujuan dari aturan umum untuk mempertegas bahwa kontrak itu mengikat untuk dilaksanakan asal dimungkinkan, tanpa memperhatikan beban yang dipikul oleh pihak yang melaksanakan.
  2. Perubahan keadaan yang relevan hanya terkait kontrak-kontrak tertentu (kontrak yang pelaksanaannya belum dilakukan/masih berlaku dan berjangka panjang). Prinsip sifat mengikatnya kontrak tidaklah bersifat absolut, terutama dalam hal terjadi keadaan yang menimbulkan perubahan fundamental terhadap keseimbangan kontrak.[7]

Pasal 6.2.2 UPICCs40 mencantumkan bahwa terdapat 3 (tiga) unsur untuk menentukan ada atau tidaknya hardship, yaitu:

  1. Perubahan keseimbangan perjanjian secara fundamental (fundamental alteration of equilibrium of the contract);
  2. Meningkatnya biaya pelaksanaan perjanjian (increase in cost of performance);
  3. Menurunnya nilai pelaksanaan perjanjian yang diterima salah satu pihak (decrease in value of the performance received by one party).

Dengan diterima suatu peristiwa yang secara fundamental memengaruhi keseimbangan kontrak sebagai Hardship, tentunya akan menimbulkan akibat hukum bagi kontrak yang dibuat para pihak. Dalam hal terjadi Hardship, Pasal 6.2.3 UPICCs memberikan alternatif penyelesaian sebagai berikut:

  1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta dilakukan renegosiasi perjanjian pada pihak lainnya. Permintaan tersebut harus diajukan sesegera mungkin dengan menyertakan dasar renegosiasi.
  2. Permintaan renegosiasi tidak otomatis memberikan hak untuk menghentikan pelaksanaan perjanjian.
  3. Apabila renegosiasi gagal maka para pihak dapat mengajukannya ke pengadilan.
  4. Apabila pengadilan membuktikan adanya Hardship, Pengadilan dapat memutuskan untuk:
  • mengakhiri perjanjian; atau
  • mengubah perjanjan dengan mengembalikan keseimbangannya.[8]

Merujuk pada hal tersebut, terlihat bahwa akibat hukum terjadinya Hardship sedikit berbeda dengan Force Majeure. Di mana dalam Force Majeure, proses penyelesaian dilakukan di pengadilan dengan kewajiban debitur membuktikan terjadinya peristiwa yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian adalah di luar salahnya. Sementara pada Hardship, penekanan proses penyelesaian diarahkan pada proses renegosiasi. Konsep Hardship menentukan bahwa para pihak tetap terikat untuk melaksanakan perjanjian. Caranya adalah dengan melakukan renegosiasi untuk mengembalikan keseimbangan perjanjian, yakni pertukaran hak dan kewajiban yang wajar.

 

[1] Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010

[2] H. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum, Prenamedia Group, Jakarta, 2018.

[3] R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata Perjanjian, Linimasa, Jakarta, 1982.

[4] Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008.

[5] Herman Brahmana, et. al, Eskalasi dan Force Majeure Dalam Peraturan Perundang-undangan, “USU Law Journal”, Vol. 3, No. 2, 2015.

[6] Agus Yudha Hernoko, Op.Cit.

[7] UNIDROIT Principles for International Commercial Contracts 2016, International Institute For The Unification Of Private Law

[8] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.