Feodalisme dan Bagaimana Hukum Positif Indonesia Mencegahnya

Arti Feodalisme

Sudah kita ketahui bersama bahwa sebelum negara Indonesia berdiri bahkan sebelum zaman penjajahan Belanda, bangsa kita terdiri atas berbagai wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh raja-raja atau ratu. Sebagai contoh, Kerajaan Majapahit pernah dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk, Kerajaan Kutai pernah dipimpin oleh Raja Mulawarman dan Kerajaan Kalingga Pernah dipimpin oleh Ratu Shima. Raja-raja mau pun ratu memiliki kewenangan absolut dalam membuat keputusan terhadap rakyatnya. Sebagai contoh Ratu Shima memberikan putusan terhadap permasalahan hukum ketika putranya berani menentuh barang yang bukan miliknya, di mana ia memberikan hukuman mati terhadap putranya, Narayana.[1]

Ketika memasuki zaman penjajahan Belanda, tatanan masyarakat mulai terpengaruh oleh berbagai sistem yang dibawa oleh Belanda, termasuk paham feodal. Alasan para penguasa Belanda menggunakan kultur feodal adalah untuk mengendalikan dan memaksa rakyat sehingga lebih mudah dalam mengambil alih wilayah. Paham feodalisme adalah paham yang sangat mengagung-agungkan kekuasaan sang raja atau penguasa di dalam sebuah kerajaan. Dengan adanya sistem feodal ini, status sosial masyarakat pada zaman penjajahan Belanda menjadi menjadi terkotak-kotakkan yaitu: 1. Wong Gede; 2. Bangsawan; 3. Priyayi Ambtenaar; dan 4. Wong Cilik. Sehingga Belanda dapat memenuhi keinginannya menguasai wilayah dengan cukup mengontrol dan membujuk para penguasa.[2]

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan. Berdasarkan buku Sejarah Lengkap Dunia Abad Pertengahan 500-1400 M (2002) oleh Alfi Arifian, istilah feodalisme muncul pertama kali di Prancis pada abad ke-16. Sistem ini muncul setelah masa Kekaisaran Romawi Suci-Caroling mengalami kemunduran karena banyak pertikaian dan invasi asing sehingga kekaisaran pun runtuh. Di sinilah feodalisme menjadi solusi untuk menata kembali ketertiban dan keamanan, meski dalam lingkup lokal. Feodalisme menciptakan tatanan sosial tripartit yang mirip dengan kasta dalam agama Hindu, yaitu brahma, ksatria, dan waisya. Namun pada kenyataannya, feodalisme dibagi menjadi dua, yaitu kaum elite dan proletar.[3]

Dalam upaya membujuk dan memperoleh kekuasaan dari para pemimpin lokal, Belanda kerap menyuap, membujuk, dan merayu para pemimpin lokal tersebut untuk mau bekerja sama dengan Belanda. Apabila para pemimpin lokal tidak mau bekerja sama, Belanda mengancam akan menggulingkan para pemimpin lokal tersebut dari kekuasaan. Di sisi lain, ketika pemimpin lokal bersedia bekerja sama dengan Belanda, maka mereka akan mendapat bagian dari kekuasaan dan kekayaan pemerintah kolonial.[4]

Sejarah Sistem Pemerintahan Indonesia

Ketika mendekati masa kemerdekaan Indonesia, yaitu pada tanggal 1 Juni 1945 dilaksanakan sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPKI) dalam upaya merumuskan dasar negara Republik Indonesia. Dalam sidang tersebut, mantan Presiden Republik Indonesia, Soekarno menyampaikan pidato yang bertajuk “Lahirnya Pancasila” di mana beliau menyampaikan gagasannya mengenai konsep awal Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul. Kemudian oleh mantan Ketua BPUPKI, yaitu Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dibukukan dan dalam kata pengantarnya disebut “Lahirnya Pancasila”.[5]

Dalam pidatonya, Soekarno menyampaikan ide serta gagasannya terkait dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamai “Pancasila”. Panca artinya lima, sedangkan sila artinya prinsip atau asas. Pada saat itu Soekarno menyebutkan lima dasar untuk negara Indonesia, yakni Sila pertama “Kebangsaan”, sila kedua “Internasionalisme atau Perikemanusiaan”, sila ketiga “Demokrasi”, sila keempat “Keadilan sosial”, dan sila kelima “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kemudian untuk menyempurnakan gagasan Pancasila tersebut, dibuat Undang-Undang Dasar yang berlandaskan kelima asas tersebut. BPUPKI kemudian membentuk sebuah panitia yang disebut sebagai panitia Sembilan. Berisi Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokroseojoso, Agus Salim, Wahid Hasjim, Mohammad Yamin, Abdul Kahar Muzakir, Mr. AA Maramis, dan Achmad Soebardjo.[6]

Lahirnya pancasila dan perumusan Undang-Undang Dasar menjadi cikal bakal lahirnya konstitusi di Indonesia. Dengan merdekanya Indonesia, sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia adalah sistem demokrasi. Sistem tersebut terus berkembang ditandai dengan beberapa kali amandemen Undang-Undang Dasar. Saat ini, berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut “UUDNRI Tahun 1945”), Presiden Republik Indonesia adalah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan yang dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan tersebut, Presiden Republik Indonesia ketika hendak menerbitkan suatu undang-undang haruslah mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)[7]. Undang-undang itulah yang nantinya menjadi sumber hukum bagi rakyat Indonesia dan undang-undang haruslah dibuat berdasarkan konstitusi.

Feodalisme di Balik Sistem Demokrasi

Saat ini tata cara pemilihan presiden, anggota DPR dan pemimpin daerah didasarkan pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut “UU Pemilu”). Sebagai contoh, pada Pasal 169 UU Pemilu tersebut diatur mengenai syarat menjadi presiden dan wakil presiden, di samping itu terdapat syarat dalam penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai berikut:

Pasal 221 UU Pemilu

Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik.

 

Pasal 222 UU Pemilu

Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

 

Pasal 223 UU Pemilu

  • Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan.
  • Partai Politik dapat melakukan kesepakatan dengan Partai Politik lain untuk melalokan penggabungan dalam mengusulkan Pasangan Calon.
  • Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mencalonkan 1 (satu) Pasangan Calon sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik dan/atau musyawarah Gabungan Partai Politik yang dilakukan secara demokratis dan terbuka.
  • Calon Presiden dan/ atau calon Wakil Presiden yang telah diusulkan dalam sahr pasangan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh dicalonkan legi oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik lainnya.

 

Begitu pula bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD kabupaten/kota diajukan dengan melalui proses seleksi oleh partai politik. Sehingga demikian apabila ditarik benang merahnya, partai politik memiliki peranan strategis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia berserta kebijakan-kebijakannya. Di satu sisi, konsep tersebut membuka peluang terhadap feodalisme namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa konsep demokrasi dimana “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” itu tidak dapat ditelan mentah-mentah dalam undang-undang. Haruslah terdapat sistem yang menjembatani bahwa penentuan calon pemimpin yang akan dipilih rakyat tersebut sudah melalui tahap seleksi yang berkualitas namun dengan tetap memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk mengikuti seleksi tersebut sesuai dengan asas keadilan dan kesetaraan.

Meski dalam realitasnya praktek feodalisme sulit untuk dibendung, namun hukum positif Indonesia memiliki sistem yang disebut dengan “check and balance” yaitu adanya saling kontrol antar lembaga di Indonesia. Sistem check and balance inilah yang dapat melindungi rakyat dari praktek-praktek pembentukan peraturan dan kebijakan yang berpihak pada kaum tertentu. Maka dari itu keberadaan lembaga yudikatif memiliki peranan strategis dalam melindungi kepentingan rakyat sehingga kewenangan lembaga yudikatif tidak boleh dicengkram atau dipengaruhi oleh kepentingan kaum tertentu.

UUDNRI Tahun 1945 memegang hierarki tertinggi peraturan perundang-undangan, dan tugas dari Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudikatif untuk menjembatani aspirasi rakyat ketika rakyat beranggapan bahwa suatu undang-undang bertentangan dengan kosntitusi (Pasal 24C Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945), begitu pula pengadilan-pengadilan dan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan untuk memutus apakah suatu kebijakan pemerintah dan/atau peraturan di bawah undang-undang itu adil bagi rakyat atau tidak sehingga layak dikatakan memiliki kekuatan hukum atau tidak.

 

Baca artikel terkait:

3 Alasan Mengapa Hakim Tidak Boleh Menjadi Corong Undang-Undang?

Benarkah Indonesia Semakin Bergeser ke Hukum Progresif

Mengungkap Asal Muasal Majelis Hakim Terdiri Atas 3 Orang

 

Sumber:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum;
  3. https://tirto.id/sejarah-kepemimpinan-ratu-shima-di-kerajaan-kalingga-674-695-m-f7Di;
  4. https://www.kompas.com/stori/read/2022/11/15/180000179/alasan-belanda-menggunakan-kultur-feodal-untuk-memaksa-rakyat;
  5. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6825631/feodalisme-adalah-kenali-sejarah-prinsip-dan-orientasinya; dan
  6. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lampung/baca-artikel/15075/Hari-Lahir-Pancasila-Sejarah-dan-Maknanya.html.

 

Penulis: Mirna R., S.H., M.H., C.C.D.

Editor: R. Putri J., S.H., M.H., CTL. CLA.

 

[1] https://tirto.id/sejarah-kepemimpinan-ratu-shima-di-kerajaan-kalingga-674-695-m-f7Di

[2] https://www.kompas.com/stori/read/2022/11/15/180000179/alasan-belanda-menggunakan-kultur-feodal-untuk-memaksa-rakyat

[3] https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6825631/feodalisme-adalah-kenali-sejarah-prinsip-dan-orientasinya

[4] Kompas.com, Op. Cit.

[5] https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-lampung/baca-artikel/15075/Hari-Lahir-Pancasila-Sejarah-dan-Maknanya.html

[6] Ibid.

[7] Pasal 5 Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.