Etika Profesi Dokter dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia
Adakalanya seorang dokter sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari kesalahan sering dalam tindakan medisnya dokter tersebut melakukan kelalaian dengan tidak sengaja yang seharusnya tidak patut dilakukan seorang ahli yang mana dalam dunia medis tindakan tersebut mengakibatkan sesuatu yang fatal.[1] Dari hal tersebut, kemudian terdapat pengaturan mengenai etika profesi Dokter dalam melaksanakan keprofesiannya. Etik Profesi Kedokteran merupakan terjemahan dari asas-asas etika menjadi ketentuan-ketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi atau perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-anggota profesi itu, umumnya dinamakan kode etik (code of ethics). Istilah ‘kode’ berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.
Mengenai Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) atau disebut juga etika profesi dokter adalah merupakan pedoman bagi dokter Indonesia dalam melaksanakan praktik kedokteran. Dasar dari adanya KODEKI ini dalam penjelasan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Penjelasan Pasal 8 huruf f UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa:
Etika profesi adalah kode etik dokter dan kode etik dokter gigi yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI).[2]
Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa kode etik kedokteran diberlakukan untuk Dokter dan Dokter Gigi, yang disusun oleh organisasi profesi masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 24 UU Kesehatan menyebutkan bahwa:
- Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
- Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
- Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.[3]
Dari pengertian inilah KODEKI dapat diartikan sebagai seperangkat (tertulis) tentang peraturan-peraturan etika yang memuat amar (apa yang dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai pedoman pragmatis bagi dokter dalam menjalankan profesinya. Dapat dikatakan juga, KODEKI adalah buku yang memuat aturan-aturan etika bagi dokter. Dalam praktik kedokteran, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:
- Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;
- Etika, sebagai aturan penerapan etika kedokteran (Kodeki); dan
- Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.
Penegakan etika profesi kedokteran ini dilakukan oleh Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 3 Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran ,MKEK adalah salah satu unsur Pimpinan dalam struktur kepengurusan IDI di setiap tingkatan, bersifat otonom dan berperan serta bertanggung jawab dalam pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etika kedokteran termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.[4]
Dengan demikian, MKEK adalah lembaga penegak etika profesi kedokteran (KODEKI), di samping MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia) yakni lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi sebagaimana disebut dalam Pasal 1 Angka 14 UU Praktik Kedokteran. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa KODEKI merupakan amanat dari peraturan perundang-undangan yang penyusunannya diserahkan kepada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia) sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat terhadap setiap anggota pada organisasi profesi tersebut.[5]
MKEK memiliki kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Pedoman Organisasi Dan Tatalaksana MKEK 2018, yang menyebutkan bahwa:
- MKEK wajib ikut mempertahankan hubungan dokter-pasien sebagai hubungan kepercayaan.
- MKEK Pusat mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada Muktamar, MKEK Wilayah kepada Musyawarah Wilayah IDI, MKEK Cabang kepada Musyawarah Cabang IDI, serta Dewan etik PDSp kepada Musyawarah/kongres Nasional PDSp.
- MKEK Pusat dalam batas kemampuannya wajib meningkatkan kapasitas pengetahuan, sikap dan ketrampilan pengurus MKEK Wilayah dan Cabang yang memerlukannya.
- Membantu penyelenggaraan uji kompetensi khusus bidang etika kedokteran oleh perangkat dan jajaran IDI yang setingkat ataupun uji kompetensi oleh institusi pendidikan kedokteran, kedokteran gigi dan kesehatan masyarakat serta institusi pelayanan medik lain yang memerlukannya.
- Apabila tidak terdapat riwayat pengaduan etika, Ketua IDI Cabang memberikan rekomendasi penilaian etika dalam rangka akreditasi bagi para dokter yang ingin melakukan praktik kedokteran, pengabdian profesi atau untuk kepentingan lainnya sesuai yurisdiksinya.
- Apabila terdapat riwayat pengaduan etika, MKEK Cabang dan atau MKEK Wilayah memberikan rekomendasi penilaian etika dalam rangka akreditasi bagi para dokter yang ingin melakukan praktik kedokteran, pengabdian profesi atau untuk kepentingan lainnya sesuai yurisdiksinya. Oleh karena itu, seluruh putusan MKEK terkait pengaduan etik harus juga disampaikan kepada IDI Cabang dan MKEK Cabang.
- Sesuai yurisdiksinya, dan membantu IDI yang setingkat dalam menyelesaikan dan menyidangkan kasus status keanggotaan organisasi profesi seorang dokter.
Sementara wewenang MKEK IDI yang setingkat disesuaikan dengan yurisdiksi masing-masing, hal ini diatur dalam Pasal 9 Pedoman Organisasi Dan Tatalaksana MKEK 2018, yang menyebutkan bahwa:
- Secara umum menyampaikan pertimbangan pelaksanaan etika kedokteran dan usul secara lisan dan atau tertulis, diminta atau tidak diminta kepada pengurus IDI yang setingkat.
- Melakukan koordinasi internal setiap permasalahan tentang bioetik dan etika kedokteran dengan seluruh jajaran dan perangkat IDI.
- Dalam koordinasi dengan IDI yang setingkat melakukan kerja sama atau membentuk jejaring dengan berbagai lembaga sejenis dari organisasi profesi lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri dalam tingkatannya masing-masing yang dipandang berdampak baik pada pelaksanaan dan penegakan etika kedokteran.
- Menyelesaikan konflik etik perbedaan kepentingan pelayanan kesehatan antar perangkat dan jajaran IDI termasuk namun tidak terbatas pada pengurus maupun anggota perhimpunan dokter spesialis dan perhimpunan dokter seminat atau seokupasi, khususnya yang berpotensi menjadi sengketa medik, dengan cara meneliti, memeriksa, menyidangkan dan memutuskan perkaranya.
- MKEK Pusat membuat fatwa, pedoman pelaksanaan etika dan peraturan kelembagaan lainnya dalam pengabdian profesi untuk meneguhkan keluhuran profesi, penyempurnaan Kode Etik Kedokteran Indonesia dan atau meredam potensi konflik etik antar sejawat dokter, antara dokter dengan tenaga kesehatan lainnya atau mencegah sengketa medik.
- Melakukan koordinasi penanganan kasus sengketa medik dengan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tingkatannya sesuai ketentuan yang berlaku.
- MKEK Pusat atas permintaan MKEK Wilayah/Cabang mengukuhkan kepengurusan MKEK Wilayah/Cabang sedangkan MKEK Wilayah atas permintaan MKEK Cabang dapat mengukuhkan kepengurusan MKEK Cabang yang telah ditetapkan IDI yang setingkat.
- MKEK Pusat melakukan pengumpulan semua data dan informasi tentang pengaduan etika, konflik etik dan atau sengketa medik yang diperoleh dan diselesaikan oleh segenap lembaga di jajaran dan perangkat IDI yang setingkat dan data dari MKEK Wilayah, dan Dewan Etik PDSp. Sedangkan MKEK Wilayah dari segenap lembaga di jajaran dan perangkat IDI yang setingkat dan data dari MKEK Cabang.
- MKEK Pusat dapat membentuk komite untuk mengatur administratif kelembagaan etika di seluruh perangkat dan jajaran IDI.
- MKEK Pusat dapat membuat pengaturan, pengelompokan dan tata cara persidangan kemahkamahan MKEK sesuai dengan perkembangan masyarakat, keorganisasian IDI, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran serta bioetika internasional.
- Melakukan kewenangan lain dalam pembinaan etika kedokteran yang ditetapkan kemudian oleh PB IDI bersama MKEK Pusat.
[1] Danny Wiradhara, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta, 2006.
[2] Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
[3] Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
[4] Pedoman Organisasi Dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia Tahun 2018
[5] Bhekti Suryani, Panduan Yuridis Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, Dunia cerdas, 2013.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim Pertanyaanhukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.