Eksekusi Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi

Judicial Review (hak uji materiil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh eksekutif legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku.[1] Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative acts) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). [2] Di Indonesia, kewenangan untuk melakukan judicial review dilakukan oleh 2 (dua) lembaga yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan batas kewenangannya masing-masing. Kewenangan judicial review oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dinyatakan langsung dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 24A ayat (1)

Mahkamah Agung berwenang mengadili  pada tingkat  kasasi, menguji  peraturan  perundang-­undangan  di  bawah  undang-­undang terhadap undang­-undang, dan  mempunyai  wewenang lainnya  yang diberikan  oleh  undang-­undang.

Pasal 24C ayat (1)

Mahkamah Konstitusi  berwenang mengadili  pada tingkat  pertama dan  terakhir yang putusannya bersifat  final untuk  menguji undang­-undang terhadap Undang-­Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga  negara yang kewenangannya diberikan  oleh  Undang-­Undang Dasar,  memutus pembubaran  partai  politik, dan  memutus perselisihan  tentang hasil pemilihan umum.

Namun dalam artikel kali ini hanya akan diuraikan mengenai eksekusi putusan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi sesuai dengan kewenangannya dalam hal menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945 sebagaimana ketentuan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan dalam undang-undang sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
  2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dijadikan undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menjadi undang-undang;
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU Mahkamah Konstitusi).

Dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu uji formil dan uji materiil. Uji formil menitikberatkan pada persoalan pembentukan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sedangkan permohonan uji materiil menitikberatkan pada norma atau substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan substansi UUD NRI 1945. Berkaitan dengan hal tersebut, hal yang dimaksud dengan judicial review merupakan uji materiil undang-undang terhadap UUD NRI 1945. Mahkamah Konstitusi ketika melakukan kewenangan uji materiil, dalam putusannya dapat menyatakan hal-hal sebagaimana ketentuan dalam Pasal  70 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (selanjutnya disebut PMK 9/2020) diantaranya :

  1. Amar Putusan Mahkamah untuk pengujian materiil:
    1. Dalam hal Permohonan Pemohon tidak memenuhi ketentuan syarat formil pengajuan permohonan antara lain sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 10, Pasal 11, dan/atau Pasal 12, amar putusan, “Menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima”;
    2. Dalam hal pokok Permohonan Permohonan tidak beralasan menurut hukum, amar putusan menyatakan, “Menolak Permohonan Pemohon”;
    3. Dalam hal pokok Permohonan Pemohon beralasan menurut hukum, amar putusan:
      1. Mengabulkan Permohonan Pemohon sebagian/seluruhnya;
      2. Menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; (Inkonstitusional)
      3. Memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia
  2. Dalam hal Mahkamah berpendapat bahwa permohonan pengujian materiil inkonstitusional bersyarat, amar putusan berbunyi:
    1. mengabulkan Permohonan Pemohon;
    2. menyatakan materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai … ;
    3. memerintahkan pemuatan Putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
  3. Dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat menambahkan amar selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Apabila dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa benar undang-undang yang dilakukan judicial review inkonstitusional dan/atau inkonstitusional bersyarat, maka eksekusi atas putusan tersebut akan menyebabkan perubahan terhadap makna undang-undang yang diujikan.

Pasal 76 PMK 9/2020 menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan Mahkamah Konstitusi selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Status hukum bagi undang-undang yang telah dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yaitu tidak dapat diberlakukan atau diterapkan lagi karena status Putusan Mahkamah Konstitusi dianggap sederajat dengan undang-undang[3] dan bersifat declaratoir constitutive, yaitu dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan atas pengujian undang-undang dapat menciptakan hukum yang baru atau meniadakan hukum yang sudah ada.[4] Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sering disebut sebagai negative legislator, yaitu lembaga yang memiliki kewenangan menghapus atau membatalkan norma dalam undang-undang. Namun, kewenangan sebagai negative legislator hanya terbatas dalam hal pembatalan ayat, pasal atau muatan dalam undang-undang dan tidak boleh masuk ke ranah legislatif sebagai positif legislator (pembuat atau perancang undang-undang).[5] Apabila dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi menyebabkan kekosongan hukum, maka diperlukan koordinasi tindak lanjut atas putusan tersebut dengan lembaga legislatif untuk membentuk undang-undang baru yang relevan.[6] Sementara sebelum undang-undang yang baru belum diterbitkan, maka berlaku undang-undang sebelumnya seperti yang terjadi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 yang membatalkan seluruh muatan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian untuk sementara waktu. Hakim Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 menyatakan sebagai berikut :

“Menimbang, berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas dan untuk menghindari kevakuman hukum di bidang koperasi yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan maka untuk sementara waktu, sebelum terbentuknya Undang-Undang tentang perkoperasian sebagai pengganti Undang-Undang a quomaka demi kepastian hukum yang adil Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) berlaku untuk sementara waktu”

Berdasarkan hal tersebut, apabila dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon dalam judicial review menyebabkan kekosongan hukum, maka untuk sementara waktu berlaku ketentuan dalam undang-undang sebelumnya.

[1] Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Kementerian Hukum dan HAM, 2009, hal. 43.

[2] Ibid.

[3] Agus Prabowo dan Agus Manfaluthfi, Kajian Yuridis Terhadap Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Positif Legislator Atas Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Penambahan Objek Penetapan Status Tersangka Dalam Praperadilan, Jurnal Diversi, Vol. 3, No. 1, Kediri : Universitas Islam Kediri, April 2017, hal. 100

[4] Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op Cit, hal. 101

[5] Agus Prabowo dan Agus Manfaluthfi, Op CIt.

[6] Badan Pembinaan Hukum Nasional, Op Cit.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.