Diduga Tolak Pasien Melahirkan Caesar, Dokter Melakukan Proses Lahiran Secara Normal dan Potong Leher Bayi
Warga Jombang dan warga media sosial digegerkan dengan adanya postingan kasus kematian bayi akibat leher tercekik saat proses persalinan di RSUD Jombang. Pihak keluarga menuduh pihak rumah sakit melakukan kecerobohan karena memaksa bayi lahir secara normal meski sudah ada rekomendasi Caesar dari Puskesmas Sumobito, Kabupaten Jombang,[1] Puskesmas Sumobito yang memberikan rekomendasi tersebut memberikan rujukan kepada RSUD Jombang dengan alasan kondisi bayi terlalu besar dan tulang panggul ibu terlalu kecil serta puskesmas yang tidak memiliki fasilitas yang memadai. Namun demikian, sesampainya di RSUD Jombang, rujukan untuk melahirkan secara caesar diduga tidak dilaksanakan oleh dokter yang bertugas.
Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) meminta klarifikasi ke pihak RSUD Jombang atas dugaan kasus Malpraktek yang dilakukan RSUD Jombang tersebut. PERSI mendapatkan informasi dari sebuah postingan di salah satu sosial media yang menyebutkan pihak RSUD Jombang memaksa untuk proses persalinan tersebut dilakukan secara normal, namun tindakan yang dilakukan oleh dokter persalinan RSUD Jombang dianggap gagal karena kondisi pasien yang tidak memungkinkan. Pada saat proses persalinan tersebut, dokter mengambil tindakan untuk memotong kepala bayi dengan alasan bayi sudah meninggal karena terlalu lama terjepit lehernya lalu mengeluarkan tubuh bayi tersebut dengan prosedur operasi.[2]
A. Tentang Metode yang Digunakan oleh Dokter RSUD
Dalam dunia kedokteran proses melahirkan disebut dengan Persalinan, yaitu sebuah proses pengeluaran hasil konsepsi atau yang biasa kita sebut sebagai janin atau bayi dalam kandungan.[3] Dalam sebuah persalinan ada beberapa bentuk proses persalinan yang dapat dilakukan oleh para calon ibu, proses tersebut antara lain:[4]
- Lotus Birth
Lotus birth adalah metode melahirkan dengan membiarkan tali pusat bayi tetap terhubung dengan plasenta. Metode ini diyakini dapat meningkatkan imun bayi secara natural. Bayi sudah terhubung dengan plasenta selama 9 bulan, melepas paksa hanya akan membuat bayi trauma, namun efek nya menurut pakar kelahiran dan dokter kandungan dari New York University Langone Medical Center, apabila bayi yang tetap terhubung dengan jaringan mati (plasenta) berkemungkinan akan tertular infeksi.
- Water Birth
Water birth adalah proses melahirkan yang dilakukan di dalam air. Cara ini dipercaya dapat menghilangkan trauma bayi yang dibawa keluar dari ruang nyaman rahim ibu ke dunia luar. Namun jika dilakukan tidak hati-hati atau sesuai prosedur yang ada dapat mengakibatkan bayi kehilangan oksigen, karena ada kemungkinan bayi menghirup air tanpa sengaja atau tali pusar yang tidak sengaja patah hal ini akan menyebabkan bayi dapat kehilangan oksigen.
- Vaginal Birth
Vaginal birth, atau yang dikenal dengan istilah kelahiran normal adalah proses kelahiran melalui vagina ibu. Metode melahirkan yang satu ini memang paling sering disarankan, karena proses kesembuhan tidak membutuhkan waktu lama. Namun demikian, kelahiran secara normal tidak disarankan untuk wanita yang berusia diatas 30 tahun, karena otot ligament vagina-nya tidak fleksibel lagi, maka dokter dapat menyarankan dengan menggunakan metode operasi.
- Caesar
Metode Caesar merupkan tipe melahirkan yang menjadi pilihan ketika terjadi komplikasi sehingga bayi tidak bisa keluar secara normal, namun operasi Caesar disarakan hanya boleh dilakukan maksimal tiga kali. Cara operasi Caesar ini dilakukan dengan menyayat bagian perut ibu sebagai jalan keluar untuk bayi.
- Gentle Birth
Metode melahirkan ini meyakini kalau bayi bisa mencari jalan keluarnya sendiri. Bahkan, proses melahirkan ini seperti dorongan BAB atau buang air kecil yang bisa dilakukan tanpa bantuan medis.
Dalam kasus yang terjadi di RSUD Jombang, pihak dokter yang menangani proses persalinan tersebut memaksakan untuk melakukan persalinan secara normal, padahal jika dilihat dari kondisinya calon Ibu tidak dalam kondisi yang siap, selain itu kondisi bayi juga terlalu besar. Rujukan yang diberikan oleh pihak Puskesmas untuk dilakukan persalinan secara operasi Caesar dianggap tepat karena mengingat kondisi calon ibu dan bayi tersebut tidak dimungkinkan untuk dilahirkan secara normal.
B. Hak-hak Pasien
Mengenai persalinan yang dilakukan di rumah sakit dan ditangani oleh dokter persalinan, maka seorang ibu dan calon anak dianggap sebagai pasien dari rumah sakit tersebut. Pasien dari sebuah rumah sakit secara langsung mempunyai hak dan kewajiban yang telah diatur dalam peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah. Hak dan kewajiban pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan didasari dengan adanya hubungan hukum antara pasien dengan adanya hubungan hukum antara pasien dengan pemberi jasa pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah dokter. Hak-hak masyarakat atau pasien harus dihargai oleh setiap petugas kesehatan hal ini didasarkan Pasal 7c Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki), dan sebaliknya hak-hak pasien harus dihargai oleh setiap tenaga kesehatan dan dihargai oleh masyarakat sebagai pengguna pelayanan. Demikian juga petugas kesehatan mempunyai kewajiban yang harus dilaksanakan untuk pasien atau masyarakat, tetapi juga pasien atau masyarakat harus menjalankan kewajibannya untuk petugas kesehatan yang melayaninya.
Mengenai hak-hak pasien diatur dalam ketentuan Pasal 32 Undang-undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit (UU Rumah Sakit) dan Pasal 52 Undang-undang nomro 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Dokter) Jis Pasal 44 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan (PP Rumah Sakit), Setiap pasien mempunyai hak antara lain:
- Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;
- Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien;
- Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
- Memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
- Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi;
- Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
- Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di rumah sakit;
- Meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai surat izin praktik (sip) baik di dalam maupun di luar rumah sakit;
- Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya;
- Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
- Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
- Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis;
- Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya;
- Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit;
- Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan rumah sakit terhadap dirinya;
- Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
- Menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan
- Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Setiap Tindakan Dokter Harus Mendapat Persetujuan Pasien atau Keluarga Pasien
Pada ketentuan pasal 32 huruf K UU Rumah Sakit Jis Pasal 52 UU Praktik Dokter pasal 44 PP Rumah Sakit, telah disebutkan bahwa pasien mempunyai hak untuk dapat “Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya”, hal ini juga dipertegas dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU Rumah Sakit
“Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.”
Melalui ketentuan tersebut, maka tindakan yang dilakukan dokter RSUD Jombang yang melakukan persalinan secara normal, padahal pasien disarankan oleh pihak Puskemas untuk dilakukan persalinan di RSUD Jombang dengan operasi Caesar. Apabila pihak RSUD meminta untuk dilakukan persalinan secara normal maka seharusnya meminta persetujuan dari pasien atau pihak keluarga yang dapat dimintakan secara lisan atau tertulis terlebih dahulu, dan pihak RSUD Jombang tidak boleh memaksakan atau menolak apapun keputusan dan permintaan dari pasien asalkan permintaan tersebut tidak bertentangan dengan aturan RSUD Jombang.
D. Hal-hal yang Termasuk Tindakan Malpraktek
Terkait definisi Malpraktek tidak ditemukan dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia yang sekarang berlaku, namun ketentuan Malpraktek dapat disamakan dengan sebuah kelalaian dalam sebuah profesi. Tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan menyebabkan kerugian terhadap pasien karena dokter dalam melakukan tindakan tersebut tidak sesuai standar profesi kedokteran atau terjadi karena dokter mempunyai kemampuan yang dibawah patokan atau dibawah standar dalam praktiknya. Malpraktek atau kelalaian dalam profesi kedokteran diatur dalam pasal 29 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menyebutkan:
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.”
Maka apabila tindakan yang dilakukan oleh para dokter RSUD Jombang, pada saat melakukan proses persalinan terbukti melakukan Malpraktek atau adanya kelalaian, maka dokter pada RSUD Jombang tersebut dapat dikenakan sanksi atau diproses sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Pada bidang kesehatan mendefinisikan Malpraktek adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah kesehatan sehingga menyebabkan dampak buruk bagi penderita atau pasien. Bagi tenaga medis atau dokter Malpraktek adalah tindakan kelalaian dokter atau tenaga medis terhadap penanganan pasien. Tindakan Malpraktek yang dilakukan oleh tenaga medis menimbulkan kerugian bagi masyarakat selaku konsumen kesehatan. Apabila dilakukan pengkajian pada pengertian tersebut, maka terlihat bahwa Malpraktek terjadi dalam hal adanya:
- Kesalahan dalam praktek dokter, atau dilakukan tidak tepat.
- Terjadi dalam hal praktek dokter telah menyalahi undang-undang.
- Termasuk juga di dalamnya apabila dokter telah melakukan pelanggaran kode etik.
Adapun sebuah tindakan yang dapat didefinisikan sebagai tindakan Malpraktek mengandung unsur-unsur berikut:
- Dokter atau tenaga medis kurang menguasai ilmu pengetahuan medis dan keterampilan yang sudah berlaku umum di kalangan profesi medis.
- Dokter dan tenaga medis memberikan pelayanan medik di bawah standar.
- Dokter dan tenaga medis melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat mencakup:
- Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau
- Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
- Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
E. Langkah Hukum Apabila Mengalami Malpraktek oleh Dokter
Pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan atas tindakan dokter dalam melakukan penangan yang menyebabkan kerugian, berdasarkan ketentuan pasal 58 UU Kesehatan menyebutkan:
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.”
Dan diatur juga dalam ketentuan pasal 77 Undang-undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan (UU Tenaga Kesehatan) menyebutkan: “Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
Penjelasan mengenai tindakan kelalaian oleh dokter diatur juga dalam ketentuan pasal 78 UU tenaga kesehatan “Apabila Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.” Penyelesaian yang dimaksud dapat dilakukan dengan cara berikut:
- Penyelesaian melalui Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), merupakan badan otonom dalam organisasi IDI yang terdiri dari MKEK Pusat, MKEK Wilayah (pada tingkat provinsi) dan MKEK cabang (pada tingkat Kabupaten/Kotamadya). Jika tindakan yang dilakukan tenaga medis, dokter, dan/atau dokter gigi merupakan tindakan melanggar etika kedokteran maka penyelesaian dapat dlakukan di MKEK. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran terkaitr wewenang umum MKEK diatur dalam Pasal 9 Pedoman Organisasi dan Tata Laksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (Pedoman MKEK IDI). Pada pasal 19 Pedoman MKEK IDI terdapat dua tujuan dari penanganan dugaan pelanggaran kedokteran yakni,
- Tujuan Umum
Makin meningkatnya penghayatan dan pengamalan etika kedokteran dan profesionalisme dalam pengabdian profesi di Indonesia sebagai profesi luhur dan mulia dalam turut mempercepat tercapainya tujuan program pembangunan nasional, khususnya program pembangunan kesehatan.
- Tujuan Khusus
- Terselesaikannya berbagai masalah dugaan konflik etik, sengketa medik dan pelanggaran etika kedokteran yang terjadi di Indonesia dengan atau tanpa penjatuhan sanksi etik.
- Tegaknya kebenaran dan keadilan bagi seluruh dokter sebagai penyelenggara praktik dan pengabdian profesi kedokteran di Indonesia.
- Terkompilasinya pedoman etika, kasus etika dan penyempurnaan KODEKI sebagai hikmah pembelajaran bagi perbaikan praktik kedokteran yang akan datang.
- Peningkatan kapasitas Divisi Kemahkamahan MKEK dan Dewan etik PDSp.
- Penyelesaian melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) menurut Pasal 1 angka 14 UU Praktik Dokter yaitu sebuah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Adapun keputusan MKDKI itu sifatnya mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI yang isinya dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin hal ini berdasarkan pasal 69 UU Praktik Dokter. Sanksi disiplinitu dapat diberikan secara:
- Pemberian peringatan tertulis;
- Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
- Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
[1] https://jatim.inews.id/berita/kronologi-bayi-meninggal-gegara-dipaksa-lahir-normal-leher-tercekik-lalu-dipotong
[2] https://mediaindonesia.com/humaniora/511303/diduga-Malpraktek-hingga-bayi-meninggal-persi-akan-minta-klarifikasi-rsud-jombang
[3] https://www.halodoc.com/kesehatan/persalinan
[4] https://www.halodoc.com/artikel/macam-macam-metode-melahirkan-yang-perlu-ibu-tahu
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanRESENSI BUKU: Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Edisi...
Cara Menjadi Mediator
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.