Dakwaan Dan Tuntutan/Requisitoir

Dakwaan dan Tuntutan/Requisitoir adalah dua hal yang menjadi rangkaian dalam penyelesaian suatu kasus pidana. Kasus pidana melibatkan orang atau subyek hukum yang melawan negara yang dalam hal ini dijalankan oleh lembaga penegak hukum baik kepolisisan dan kejaksaan sekaligus hakim sebagai penegak hukum dalam memberikan putusan penyelesaian kasus pidana. Setelah suatu penyidikan dinyatakan P-21, maka selanjutnya akan dilakukan proses penuntutan terhadap perkara pidana. Penuntutan adalah suatu keputusan yang dilakukan oleh penuntut umum untuk melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri terhadap terdakwa agar memperoleh putusan hakim. Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendefinisikan penuntutan sebagai berikut:

“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.”

 

Ketentuan Pasal 140 Ayat (1) KUHAP mengatur lebih lanjut proses penuntutan yaitu:

“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”

 

1. Dakwaan

Dalam proses pelimpahan perkara dari kejaksaan ke pengadilan negeri, penuntut umum melimpahkannya dengan permintaan agar pengadilan segera mengadili disertai dengan surat dakwaan sebagaimana dinyatakan Pasal 143 Ayat (1) KUHAP. Ada syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan surat dakwaan yaitu syarat formil dan materiil. Adapun syarat-syarat tersebut dimuat dalam Pasal 143 Ayat (2) KUHAP yang terdiri atas:

  1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
  2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan termpat tindak pidana itu dilakukan.

 

Surat dakwaan yang tidak memuat hal-hal di atas dapat dibatalkan demi hukum berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP. Secara spesifik, apabila surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat formil dapat dibatalkan oleh hakim, karena tidak jelas dakwaan ditujukan kepada siapa. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak pidana yang sebenarnya (error of subyektum). Hal yang serupa juga berlaku bagi surat dakwaan yang tidak memenuhi syarat materiil. Pembatalan dilakukan karena dakwaan tidak jelas yang membuat tidak dapat dijalankannya pemeriksaan, sehingga tidak dapat memenuhi tujuan yang sebenarnya, walaupun syarat materiil terpenuhi. Dakwaan yang kabur dan tidak jelas seperti ini disebut obscuur libel. Dengan demikian, hakim harus menyatakan surat dakwaan batal secara formil karena ada syarat dalam undang-undang yang tidak dipenuhi.[1]

 

Dakwaan merupakan dasar penting dalam acara pidana karena dakwaan berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim memeriksan dan memutusakan suatu perkara pidana. Pentingnya surat dakwaan karena dakwaan menjadikan batasan-batasan dalam pemeriksaan perkara.[2] Dalam praktiknya, ada beberapa bentuk surat dakwaan yang biasa digunakan oleh penuntut umum yakni dakwaan tunggal, dakwaan subsidair, dakwaan alternatif, dakwaan kumulatif, dan dakwaan campuran atau kombinasi.[3] Selain surat dakwaan, dalam proses penuntutan juga diperlukan surat tuntutan apabila pemeriksaan terdakwa telah selesai sebagaimana diatur Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP yang berbunyi:

“Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”

 

2. Tuntutan

Surat tuntutan atau yang dikenal dengan requisitor adalah kewenangan penuntut umum untuk mengajukan surat tuntutan setelah pemeriksaan di sidang dinyatakan selasai oleh hakim ketua sidang atau ketua majelis. Lebih lanjut, Adami Chazawi memberikan pengertian surat tuntutan sebagai berikut:

“Surat tuntutan adalah sebuah surat yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum setelah berakhirnya pemeriksaan perkara dalam persidangan yang memuat tentang tindak pidana yang didakwakan, fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan dan penganalisisan hukum terhadap fakta-fakta tersebut, dan pendapatnta tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, serta permintaan yang dimohonkan kepada majelis baik mengenai terbukti tidaknya tindak pidana yang didakwakan maupun mengenai dipidana (apa) tidaknya terhadap terdakwa.”[4]

 

Surat tuntutan di buat berdasarkan fakta-fakta yang terjadi dipersidangan dari kesimpulan dan fakta fakta di persidangan itulah yang ditarik oleh jaksa penuntut umum untuk mengajukan permintaan pada majelis hakim, baik mengenai kedudukan perkara itu dalam hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan maupun terhadap terdakwa sendiri mengenai bentuk pertanggungjawaban pidana yang dimohonkan. KUHAP tidak mengatur isi atau muatan surat tuntutan, namun pada prakteknya surat tuntutan memuat kesimpulan Penuntut Umum yang bersangkutan, apakah ketentuan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti atau tidak, jika terbukti disebutkan besarnya hukuman yang dimintakan atau jika tidak terbukti dimintakan pembebasan terdakwa.[5] Secara umum, surat tuntutan memuat hal-hal sebagai berikut:

  1. Hal tindak pidana yang didakwakan;
  2. Fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan;
  3. Analisis hukum terhadap fakta-fakta untuk memberikan konstruksi hukum atas peristiwa yang didakwakan;
  4. Pendapat tentang hal terbukti tidaknya dakwaan;
  5. Permintaan Jaksa Penuntut Umum pada majelis hakim.

 

Surat tuntutan yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya dan hubungan antara keduanya. Dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan hukumnya, maka akan menjadi jelas pula kesimpulan hukum yang ditarik tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, serta apa terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau tidak dalam peristiwa yang terjadi.

 

Penulis: Rizky Pratama J., S.H.

Editor: Robi Putri J., S.H., M.H., CTL., CLA., & Mirna R., S.H., M.H., CCD.

 

[1] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, halaman 331

[2] Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta, 2013. Halaman 167

[3] Ibid., halaman 169

[4] Adami Chazawi, Kemahiran Dan Keterampilan Praktik Hukum Pidana, Bayumedia, Malang, 2005, hal. 151

[5] Ibid.

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.