Cuti Pekerja Dalam Omnibus Law

Secara istilah arti kata cuti yaitu meninggalkan pekerjaan beberapa waktu secara resmi untuk beristirahat. Ketentuan mengenai cuti kerja sebelumnya dimuat dalam ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang kemudian mengalami perubahan dalam ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) atau yang biasa dikenal dengan istilah Omnibus Law. Terkait dengan perubahan terhadap UU Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja menjadi kontroversial karena sebagian masyarakat menganggap bahwa perubahan yang terjadi lebih mementingkan kepentingan investasi dan mengurangi hak-hak pegawai, salah satunya yaitu cuti. Oleh karena itu, perlu dikaji hal-hal terkait cuti pekerja yang mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja.

Berikut akan dijabarkan ketentuan dalam Pasal 79 UU Ketenagakerjaan sebelum mengalami perubahan dalam UU Cipta Kerja :

  1. Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh;
  2. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi :
    1. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
    2. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu;
    3. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan
    4. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
  3. Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  4. Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu;
  5. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.

Kemudian Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan diubah dalam ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Pengusaha wajib memberi:
    1. waktu istirahat; dan
    2. Cuti
  2. Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi:
    1. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan
    2. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
  3. Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh, yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;
  4. Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  5. Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan atas penjabaran tersebut, dapat kita ketahui mengenai hal-hal yang dirubah dan dihapuskan terkait pengaturan cuti pekerja. Pada Pasal 79 ayat (1) UU Ketengakerjaan tidak ada perubahan yang berarti, hanya saja format dalam perubahannya Pasal 79 ayat (1) dibuat dalam numerik. Kemudian dalam Pasal 79 ayat (2) mengalami beberapa perubahan diantaranya, yaitu pada ketentuan dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c  dan huruf d UU Ketenagakerjaan. Pasal 79 ayat (2) huruf c dibuat ayat tersendiri dalam perubahannya yang dimuat dalam Pasal 79 ayat (3). Sedangkan ketentuan dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai cuti terhadap pekerja yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun tidak dimuat dalam perubahan pasal tersebut, sehingga secara otomatis cuti yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf d dihapus. Terkait dengan ketentuan Pasal 79 ayat (4) mengalami perubahan sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat (5), dimana yang awalnya hanya berkaitan dengan ketentuan Pasal 79 ayat (2) huruf d yang telah dihapuskan, kemudian dibuat secara umum berkaitan dengan ketentuan Pasal 79 ayat (1), (2), dan (3). Ayat terakhir dalam ketentuan Pasal 79 yaitu ketentuan Pasal 79 ayat (5) menjadi Pasal 79 ayat (6) dirubah bahwa peraturan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah yang sebelumnya disebutkan bahwa lebih lanjut akan diatur dalam Keputusan Menteri.

Terkait dengan perubahan-perubahan tersebut adalah hal yang merugikan pekerja ketika ketentuan dalam Pasal 79 ayat (2) huruf d UU Ketenagakerjaan dihapuskan, karena dengan dihapusnya Pasal tersebut, maka terhadap pekerja dengan masa kerja lama yaitu 6 (enam) tahun bekerja tidak dapat mengambil cuti panjang kecuali ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Hal tersebut menjadikan sepenuhnya otoritas perusahaan menentukan cuti panjang pekerja, kecuali jika diatur dalam perjanjian kerja bersama, karena dalam pembentukan perjanjian kerja bersama diperlukan persetujuan serikat pekerja perusahaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kedudukan pekerja dengan perusahaan tidak pernah seimbang, sehingga dapat dimungkinkan jika perusahaan tidak memberikan hak cuti panjang tersebut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Selanjutnya yaitu terkait dengan cuti haid dan cuti hamil yang menurut masa demonstran pada tanggal 20 Oktober 2020 dihapuskan adalah hal yang tidak benar. Pengaturan mengenai cuti sebenarnya hanya disebutkan dalam ketentuan Pasal 79 UU Ketenagakerjaan, namun dalam ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan disebutkan mengenai pekerja wanita tidak wajib bekerja apabila merasakan sakit haid pada hari pertama dan kedua haid dan istirahat hamil. Ketentuan Pasal 81 dan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan menyatakan sebagai berikut :

Pasal 81

  1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Pasal 82

  1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan;
  2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.

Ketentuan dalam Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bersifat memaksa (dwingend recht), namun tidak ada kewajiban bagi perusahaan untuk mengatur mengenai ketentuan pelaksana dari ketentuan Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagaimana yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan. Apabila perusahaan tidak mengatur lebih lanjut mengenai hal tersebut, maka dalam pelaksanaannya mengacu pada ketentuan UU Ketenagakerjaan. Dalam ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja ketentuan dalam Pasal 81 dan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan tidak dihapuskan dan tidak mengalami perubahan, sehingga secara yuridis ketentuan tersebut masih berlaku secara sah. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam ketentuan Pasal 81 UU Cipta Kerja menyatakan bahwa Pasal tersebut hanya mengubah beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan, sehingga ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang tidak mengalami perubahan dalam Pasal 81 UU Cipta Kerja masih berlaku secara sah.

 

Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?

Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.

Kirim Pertanyaan

hukum expert

Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.