Cara Pengajuan Kepailitan Untuk BUMN
Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut BUMN) berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN) diartikan sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN dapat berbentuk Perseroan atau Perusahaan Umum (selanjutnya disebut Perum). Perbedaan Perseroan dengan Perum yaitu terletak pada kepemilikan modal yang dimiliki oleh negara, dimana dalam Perseroan negara hanya memiliki sebagian modalnya dengan batas minimal 51%, sedangkan dalam Perum seluruh modalnya dimiliki oleh negara. BUMN sama halnya dengan badan usaha pada umumnya yang mengalami kenaikan dan penurunan pendapatan, sehingga juga beresiko terhadap tidak sehatnya uang perusahaan. Tidak sehatnya uang perusahaan merupakan salah satu indikasi yang berpotensi besar menyebabkan kepailitan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) disebutkan bahwa kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana ketentuan dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UU Kepailitan, yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah :
- Debitor atau Kreditor (Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan);
- Kejaksaan apabila dalam hal untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat (2) UU Kepailitan);
- Bank Indonesia apabila Debitor adalah Bank (Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan);
- Badan Pengawas Pasar Modal apabila Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (Pasal 2 ayat (4) UU Kepailitan);
- Menteri Keuangan apabila Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan).
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (5) UU Kepailitan menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan publik” yaitu badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Berdasarkan hal tersebut maka pengajuan permohonan kepailitan yang dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan adalah BUMN yang berbentuk Perum, sedangkan untuk BUMN yang berbentuk Perseroan maka dapat diajukan oleh Debitor atau Kreditor sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Berbeda halnya jika BUMN yang dimaksud adalah Bank, maka pengajuan permohonan pailitnya hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dan tunduk terhadap ketentuan dalam Pasal 2 ayat (3) UU Kepailitan.
Pada dasarnya tata cara dalam pengajuan permohonan kepailitan terhadap BUMN sama halnya dengan prosedur pengajuan kepailitan terhadap perusahaan yang lain yaitu diajukan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) UU Kepailitan. Kemudian panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang. Panitera akan menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan, yang kemudian dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan pengadilan mempelajari dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Pasal 8 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan bahwa Pengadilan wajib memanggil Debitor, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Kreditor, Kejaksaan, Bank Indonesia, Badan Pengawas Pasar Modal, atau Menteri Keuangan. Sedangkan, apabila yang mengajukan permohonan pernyataan pailit adalah Debitor, maka pengadilan dapat memanggil Kreditor. Hal ini disesuaikan dengan siapa yang mengajukan permohonan pailit, karena dalam pengajuan permohonan pailit terhadap BUMN dapat dilakukan oleh Bank Indonesia jika BUMN berbentuk Bank, Menteri Keuangan jika BUMN berbentuk Perum, dan jika BUMN berbentuk Perseroan maka dapat diajukan oleh Kreditor atau Debitor itu sendiri.
Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pemeriksaan pertama. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi. Syarat sederhana yang dimaksud yaitu Debitor memiliki dua atau lebih Kreditor dan tidak dapat membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan. Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, Bank Indonesia dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor sebagaimana ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kepailitan. Putusan pengadilan atas permohonan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak diajukannya pendaftaran permohonan pailit.
Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yaitu dengan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung sebagaimana ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kepailitan. Permohonan diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan pertama diucapkan. Upaya hukum kasasi ini dapat diajukan oleh kreditor lain terkait yang merasa tidak puas dengan putusan atas permohonan pernyataan pailit. Pendaftaran permohonan kasasi juga disertai dengan melampirkan memori kasasi. Terhadap memori kasasi, termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasai kepada panitera paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi. Setelah itu Mahkamah Agung wajib menetapkan hari persidangan paling lambat setelah 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Sidang pemeriksaan kasasi paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung dan putusan harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung. Upaya hukum lain yang dapat dilakukan terhadap putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (incraht) yaitu dengan mengajukan peninajuan kembali ke Mahkamah Agung.
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanApakah Invoice Sudah Menjadi Bukti Adanya Utang Piutang?
Cara Pengajuan Kepailitan Untuk Bank
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.