Bedah Mayat/Autopsi Untuk Proses Pemeriksaan Tindak Pidana
Secara istilah autopsi diartikan sebagai pemeriksaan tubuh mayat dengan jalan pembedahan untuk mengetahui penyebab kematian atau penyakit dalam tubuh mayat. Autopsi merupakan pemeriksaan medis terhadap mayat dengan membuka rongga kepala, leher, dada, perut dan panggul serta bagian tubuh lain bila diperlukan, disertai dengan pemeriksaan jaringan dan organ tubuh didalamnya, baik secara fisik maupun dengan dukungan pemeriksaan laboratorium.[1]Autopsi ini biasanya dilakukan dalam proses pemeriksaan suatu tindak pidana untuk membuat terangnya suatu perbuatan pidana. Istilah autopsi tidak ditemukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, namun lebih dikenal dengan frasa bedah mayat klinis sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis Serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia (selanjutnya disebut PP Bedah Mayat). Pasal 1 huruf a PP Bedah Mayat menyatakan sebagai berikut :
“Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan”
Berdasarkan pengertian tersebut, maka autopsi dapat disama artikan dengan bedah mayat klinis sebagaimana ketentuan Pasal 1 huruf a PP Bedah Mayat.
Autopsi juga diakomodir dalam ketentuan Pasal 133 dan Pasal 134 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Pasal 133 KUHAP menyatakan sebagai berikut :
- Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya;
- Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat;
- Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Apabila keluarga keberatan, maka penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukannya pembedahan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 134 ayat (2) KUHAP. Pasal 134 ayat (3) KUHAP menyatakan jika dalam waktu 2 (dua) hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan yang dijelaskan dalam ketentuan Pasal 133 ayat (2) KUHAP. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 133 ayat (1) KUHAP, dalam hal dilakukan autopsi, maka yang berhak untuk memberikan keterangan yaitu seorang dokter. Pasal 121 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) menyatakan bahwa bedah mayat klinis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 1342/MENKES/SE/XII/2001 tentang Pelaksanaan Autopsi Forensik dinyatakan bahwa :
“Guna mengetahui sebab yang pasti atas kematian seseorang diperlukan bantuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran kehakiman yang disebut dengan Autopsi Forensik”
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka yang berhak dan memiliki kewenangan untuk melakukan autopsi yaitu Kedokteran Forensik.
Pembedahan mayat untuk keperluan pembuktian suatu tindak pidana, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban sebagaimana ketentuan Pasal 134 ayat (1) KUHAP. Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan yang bentuknya dapat berupa keterangan yang lazim disebut Visum et Repertum.[2] Visum et Repertum yang merupakan suatu keterangan dari seorang ahli atau dalam hal ini dokter termasuk sebagai alat bukti surat, sedangkan apabila ahli menyatakan keterangannya di sidang pengdilan, maka disebut sebagai keterangan ahli sebagaimana jenis-jenis alat bukti yang dipaparkan dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP.[3]
Kemudian, ketentuan Pasal 2 PP Bedah Mayat menerangkan keadaan-keadaan suatu mayat dapat dilakukan bedah mayat klinis, diantaranya yaitu :
- Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;
- Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya;
- Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila dalam jangka waktu 2×24 jam (dua kali dua puluh empat) jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah sakit.
Bedah mayat klinis hanya dapat dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang menyediakan keperluan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 3 PP Bedah Mayat. Pasal 4 PP Bedah Mayat menyatakan bahwa perawatan mayat sebelum, selama, dan sesudah bedah mayat klinis dilakukan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan diatur oleh Menteri Kesehatan. Apabila pelaksanaan bedah mayat klinis tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 4 PP Bedah Mayat, maka dapat dikenakan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif sebagaimana ketentuan Pasal 20 PP Bedah Mayat yang menyatakan sebagai berikut :
- Pelanggaran atas ketentuan dalam Bab II, Bab III, Bab V, Bab VI, Bab VII dan Bab VIII, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,00 (tijuh ribu lima ratus rupiah).
- Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat pula diambil tindakan administratif.
[1] Sampurna B, Samsu Z, “Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum” dalam Dedi Afandi, Otopsi Virtual, artikel ilmiah http://fk.unri.ac.id/wp-content/uploads/2017/11/Virtual-Autopsi-2009.pdf
[2] Koesparmono Irsan “Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana” hal. 245 dalam skripsi http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/68982/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y
[3] Abdul Mun’iem Idris “Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi Hukum” hal. 9 dalam skripsi http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/68982/Chapter%20II.pdf?sequence=3&isAllowed=y
Punya Pertanyaan Tentang Masalah Hukum?
Kirim pertanyaan apapun tentang hukum, tim kami akan dengan maksimal menjawab pertanyaan Anda.
Kirim PertanyaanMacam-Macam Kumulasi Pidana/Perbarengan/Concursus/Samenloop
Tindak Pidana Malpraktek
hukum expert
Hukumexpert.com adalah suatu platform yang memungkinkan penggunanya untuk berinteraksi dengan pengguna lainnya sehingga membuka wawasan dan pikiran bagi mereka yang menggunakannya.